Produksi Terus Meningkat
Logam berat merkuri di Indonesia semakin mudah diperoleh di pasaran seiring dengan maraknya produksi di dalam negeri. Hal ini menyebabkan tingginya cemaran merkuri sehingga berpotensi memicu bencana ekologi, terutama di daerah pengolahan bijih sinambar, bahan baku merkuri.
Merkuri produksi dalam negeri antara lain untuk memenuhi kebutuhan penambangan emas rakyat yang marak di dalam negeri. Permintaan merkuri dari para petambang anggota Asosiasi Petambang Rakyat Indonesia mencapai 3.500 ton per tahun.
Merkuri produksi dalam negeri juga dijual ke luar negeri. Berdasarkan data dari United Nations International Trade Statistics Database (UN Comtrade) yang dikumpulkan BaliFokus, pada 2015 ekspor merkuri dari Indonesia ke sejumlah negara mencapai 567,53 ton dan pada 2016 mencapai 1.300 ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Data tersebut berdasarkan laporan Bea dan Cukai yang dikumpulkan dari pelabuhan sejumlah negara penerima,” kata Toxic Program Manager BaliFokus Krishna Zaki, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/5). BaliFokus merupakan LSM yang banyak mengkaji dampak peredaran zat kimia berbahaya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan kepada Kompas mengatakan, Kementerian Perdagangan tidak memiliki data ekspor merkuri karena tata niaga ekspornya belum diatur. Merkuri diekspor secara bebas dengan hanya sepengetahuan Bea dan Cukai.
Hingga 2014, kata Yuyun Ismawati, Penasihat Senior BaliFokus, Indonesia masih mengimpor merkuri, tertinggi terjadi pada 2012 sebanyak 390 ton. Indonesia mulai mengekspor merkuri pada 2015 sebanyak 160 ton, pada 2016 menjadi 1.300 ton.
Beracun
Bahan baku merkuri berasal dari penambangan batuan sinabar (cinnabar) atau merkuri sulfida dari Pulau Seram, Kalimantan Barat, dan Aceh. Batuan atau bijih sinabar, yang merupakan mineral sangat beracun, sebagian besar diolah di Sukabumi, Bekasi, dan Jawa Timur. Tidak ada data produksi merkuri, tetapi diperkirakan terus meningkat. Di Kecamatan Parakansalak, Sukabumi, saja terdapat sekitar 30 lokasi pengolahan batuan sinabar yang memproduksi 36 ton merkuri per hari.
Produksi merkuri ini berpotensi memicu bencana ekologi di sekitar lokasi pengolahan merkuri. Berdasarkan pengukuran konsentrasi merkuri di udara di beberapa desa di Sukabumi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rata-rata hasilnya 102,07 mikrogram per meter kubik. Padahal, ambang baku mutu merkuri di udara 100 mikrogram per meter kubik.
Jika dibiarkan, Yuyun mengkhawatirkan dampak lingkungan dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat. Merkuri termasuk polutan yang persisten (bertahan di lingkungan) dan bisa terbawa sangat jauh begitu terlepas di aliran air atau udara. Cemaran merkuri bisa memicu kanker dan berbagai persoalan kesehatan lainnya.
Kajian BaliFokus di penambangan emas di Sekotong, Lombok; Kasepuhan Cisitu, Banten; dan Bombana, Sulawesi Tenggara, menunjukkan sejumlah warga yang dicurigai terpapar merkuri telah meninggal. (AIK/HEN)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2017, di halaman 18 dengan judul “Merkuri Picu Bencana”.