DARI ruang recruitment pegawai/ karyawan, saya dan para sejawat yang “mengabdi” di bidang ke-SDM-an setidaknya menemukan tiga keterbatasan para sarjana (alumni perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta). Pertama, mereka —para sarjana— kurang memiliki kemampuan teoretik sekitar disiplin ilmunya. Kedua, tidak mempunyai kecakapan aplikatif. Dan ketiga, tidak memiliki kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Dalam kawasan teori, mereka bahkan tidak menguasai teori-teori dasar (grand theory) —yang semestinya berada di luar kepala. Dalam tataran aplikasi, umumnya, mereka tidak mampu membangun asosiasi antara pengetahuan (teoritikal) yang dimilikinya dengan jagat realitas (praktikal). Sementara itu, dalam hal bahasa asing, utamanya bahasa Inggris, kecuali mereka yang mengambil kuliah di jurusan bahasa Inggris, galibnya, hanya memiliki sejumlah perbendaharaan kata, sehingga praktis tidak mampu menggunakannya secara lisan maupun tulisan, pasif maupun aktif. Memang, ada yang agak menguasai, khususnya mereka yang mengambil privat bahasa Inggris, tapi jumlahnya relatif sedikit.
Semangat globalisasi
Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat globalisasi: yang mensyaratkan kualifikasi khusus (baca: keunggulan) dan penguasaan bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Dan tentu saja, bagi kita, itu merupakan rambu-rambu yang perlu kita jawab segera. Artinya, kalau kita sampai gagal mengantisipasi tiga keterbatasan itu, implikasinya akan sangat jauh, yakni terlempar dari anjungan era globalisasi. Kita bakal terus menjadi bangsa terbelakang, menjadi individu-individu yang termajinalkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu berarti, kita perlu, bahkan harus, segera merespons kecenderungan itu dengan sigap. Bukankah praksis itu sesungguhnya berangkat dari etiologi yang kita buat sendiri? Soal kemampuan berbahasa Inggris yang minim, misalnya, jelas berhubungan dengan jumlah jam ajar mata kuliah bahasa Inggris. Hampir untuk semua fakultas non-jurusan bahasa Inggris rata-rata hanya memiliki jam ajar 2 x 50 menit x 2 semester (32 kali pertemuan) atau setara dengan 3.200 menit (53,3 jam). Mungkinkah para calon sarjana, dapat menguasai bahasa Inggris dengan waktu yang relatif terbatas itu?
Sedangkan dalam hal kemampuan teoretik —yang juga minim— persoalannya tak jauh beda. Kurikulum yang berlaku di hampir semua fakultas terlalu banyak dibebani mata kuliah dasar umum (MKDU) dan mata kuliah pilihan (MKP) —yang kadang tak jelas relevansinya, sehingga waktu yang semestinya dapat dipergunakan untuk menguasai teori-teori dasar justru tereduksi. Untuk kasus MKDU, misalnya, dapat
kita sebut MK Kewiraan dan MK IAD (Ilmu Alamiah Dasar). MK Kewiraan sesungguhnya dapat diintegrasikan dengan MK Pancasila atau bahkan Penataran P4. Sedangkan MK IAD, selain terkesan kurang relevan untuk bidang studi kelompok ilmu-ilmu sosial, juga notabene sudah dipelajari di bangku SMU. Jadi, untuk apa?!
Kemudian, soal kecakapan aplikatif yang sangat terbatas, agaknya lebih terkait dengan terbatasnya sarana praktikum (laboratorium) dan jam pelajaran yang dialokasikan khusus untuk keperluan itu.
Dengan gambaran sekilas ini sesungguhnya sudah dapat kita “baca” betapa kecenderungan tersebut sebenarnya amat mungkin untuk kita antisipasi. Artinya, lewat penambahan jam kuliah bahasa Inggris, penambahan sarana dan jam praktikum, serta pengurangan atas MKDU dan MKP —yang terasa kurang relevan, problema atau beban studi para calon sarjana yang konon dapat mengganggu pencapaian kualitas kesarjanaannya sedikit dapat terkurangi. Persoalannya, maukah kita lebih efisien memberlakukan kurikulum, yang jumlah mata ajarannya tak terlampau banyak tetapi tegas garis-garis relevansinya? Dengan kata lain, maukah kita bergerak ke arah proses pembelajaran yang lebih spesifik?
Kemauan akan hal itu ipenting ditekankan, karena kalau tidak, kita —seperti yang sudah-sudah— akan terus berebut kapling kurikulum untuk diisi bidang-bidang studi yang sesuai dengan selera atau egosentrisme kita. Sedangkan fakta jelas-jelas menunjukkan bahwa bertumpuknya mata ajaran, terlebih yang kurang relevan, seringkali tidak memberikan kontribusi positif bagi penguasaan disiplin ilmu tertentu.
Sarjana plus
Lebih dari itu, yang sesungguhnya kita harapkan dan butuhkan dalam menghadapi era global adalah lahirnya “sarjana plus”; yakni sarjana-sarjana yang mempunyai nilai tambah khusus. “Sarjana plus” adalah sarjana yang sekurang-kurangnya memiliki empat kecakapan, yakni: menguasai bidang studi (ilmu) yang ditekuninya secara teori dan praktek serta mampu berbahasa Inggris (secara lisan maupun tulisan) dan dapat mengoperasikan komputer.
Sarjana dengan grade demikian, meski sangat “mungkin diwujudkan, prosesinya butuh waktu, perhatian, biaya, keberanian dan tekad. Ia setidaknya memerlukan kesigapan institusi pendidikan tinggi dan komitmen belajar calon sarjana sendiri.
Dalam hal proses belajar mengajar yang memungkinkan keberhasilan ke arah itu, misalnya, institusi pendidikan tinggi harus memiliki: (1) staf pengajar yang qualified dengan rasio mahasiswa-dosen yang wajar, (2) perpustakaan dengan koleksi-koleksi terpilih dan lengkap, (3) laboratorium yang memadai, dan (4) administrasi penyelenggaraan yang profesional. Sementara itu, sayangnya, rata-rata institusi pendidikan tinggi kita tidak memiliki sarana pendukung seperti itu. Staf pengajar kita, umpamanya, kebanyakan belum memiliki kualifikasi dan rasio yang ideal (masih banyak dosen berlatar belakang S-1 mengajar mahasiswa S-1, dan seorang dosen mengajar lebih dari 60 mahasiswa dalam satu kelas). Sehingga, sukar diharapkan, setidaknya dalam waktu sepuluh tahun mendatang, institusi-institusi pendidikan tinggi kita dapat mendukung penuh kurikulum yang diberlakukan.
Itu berarti, dalam kurun waktu yang sama, prosesi penciptaan ” sarjana plus” akan lebih bertumpu pada komitmen belajar para calon sarjana. Komitmen tersebut bertalian erat dengan minat, motivasi, kesiapan, dan kesadaran situasional.
Minat memang menentukan tingkat keseriusan para calon sarjana dalam mempelajari bidang-bidang studi tertentu. Calon sarjana yang memiliki minat besar pada bidang studi yang di-tekuninya akan cenderung serius dalam mengikuti proses belajar mengajar. Sebaliknya, calon sarjana yang kurang menaruh minat terhadap bidang studinya (termasuk dalam rumpun ini adalah calon sarjana yang kuliah karena menuruti kemauan/pilihan pihak lain) akan cenderung malas-malasan.
Motivasi berperan sebagai pengobar semangat belajar, dan umumnya bersumber dari motif-motif dasar yang melatarbelakangi individu menekuni/ mengikuti kuliah. Motivasi umumnya bertalian dengan keinginan-keinginan, harapan-harapan atau bahkan obsesi. Misalnya, ingin tenar, ingin kaya, ingin mendapat status sosial yang terhormat, ingin mendapat kedudukan yang tinggi, dan seterusnya.
Kesiapan bermuara dari kesiagaan fisik dan mental calon sarjana untuk melakukan kegiatan belajar. Menurut law of readiness dari Thorndike, proses belajar akan berlangsung baik dan dengan hasil yang relatif memuaskan jika pada pihak si terdidik ada kesiapan untuk melakukan aktivitas belajar dan pada pihak lain ada medan belajar bagi aktivitas belajar.
Kesadaran situasional diperlukan terutama untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan kontemporer yang terjadi. Dalam keadaan emergency, di mana misalnya perpustakaan universitas . tidak memiliki koleksi yang memadai, ku-rikulum tidak memberikan kesempatan yang cukup untuk menguasai bahasa Inggris dan universitas tidak menawarkan mata kuliah aplikasi komputer, calon sarjana secara sadar dan mandiri harus berusaha mencari solusi di luar universitas. Umpamanya, memanfaatkan perpustakaan-perpustakaan umum, mengikuti privat bahasa Inggris dan kursus aplikasi komputer. Singkat kata, calon sarjana harus piawai membaca sikon (situasi-kondisi) kontemporer dan trend yang sedang dan akan berlangsung.
Kepiawaian membaca sikon ini, konon, akan menentukan derajat ke-plus-annya. Maka itu, demi ke-plus-annya, calon sarjana perlu membaca melebihi porsi kebutuhan kuliannya, rajin mengikuti seminar, diskusi, pelatihan, studi banding dan lain-lain tuntutan ekstra yang dibutuhkan peradaban globalissi.
Widodo, pengamat psikososial, Ketua Yayasan Lembaga Studi Bina Bangsa (YLSB2) Jakarta.
Sumber: KOMPAS, JUMAT, 31 OKTOBER 1997