Di Serang, Banten, warga petambak udang dalam 20 tahun terakhir menjadi saksi menurunnya kualitas air seiring dengan pembangunan pabrik tekstil di dekat daerah tersebut. Di Thailand, pada 2012 terjadi ledakan di pabrik Bangkok Synthetics yang menewaskan 11 orang dan melukai 129 orang. Disusul dengan bocornya limbah kimia di pabrik Aditya Birla Chemicals, 138 orang masuk rumah sakit. Pemerintah tidak memberi informasi apakah warga harus tinggal atau mengungsi.
Kasus lain, warga Desa Khoroo Nomor 13 di luar Ulaanbaatar, Mongolia, yang berkemah di daerah ini pada musim panas dan musim dingin kehilangan lima mata air dan harus mengebor air untuk mendapat air bersih. Sungai telah berubah berwarna abu-abu dan bau. Warga bergantung pada ternak dan berkebun sayur serta buah. Air bersih adalah segalanya.
Potret-potret tentang pencemaran dan ancamannya itu tertulis dalam laporan organisasi riset World Resources Institute (WRI) pada Agustus 2017 yang bertajuk ”Thirsting for Justice, Transparency and Poor People’s Struggle for Clean Water in Indonesia, Mongolia, and Thailand”.Di negara-negara itu, warga miskin di sepanjang aliran sungai menggunakan air sungai untuk mandi, memasak, mandi, serta keperluan peternakan dan bertani. Kondisi serupa di sepanjang DAS Citarum (Kompas, 4/1). Dalam penelitian itu, WRI menggandeng The Indonesian Center for Environmental Law, Walhi/Friends of The Earth Indonesia, dan MediaLink.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Pasukan oranye membersihkan sampah di Kali Item, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (26/9/2017). Sebagian besar usaha rumahan masih membuang langsung limbah cairnya ke kali. Hampir 90 persen air tanah Jakarta tercemar bakteri Escherichia coli.
Perairan global setiap tahun tercemar limbah industri sebanyak 300 juta-400 juta ton berupa logam berat, cairan pelarut kimia, limbah lumpur, dan beragam limbah lain. Lebih dari 80 persen limbah cair di dunia dialirkan kembali ke lingkungan tanpa diolah (UN Water, 2013). Beberapa studi menyebutkan, tahun 2025, tingkat pencemaran air oleh industri bakal menjadi dua kali lipat dari tahun 2007 jika praktik yang ada tidak juga berubah (business as usual).
Lebih dari 2 miliar orang di dunia menggunakan air yang terkontaminasi untuk kepentingan rumah tangga dan aktivitas terkait pekerjaan (Bank Dunia, 2012). Kerugian ekonomi akibat rusaknya lingkungan karena polusi setara dengan 2-4 persen produk domestik bruto dari kematian dan penyakit yang diderita masyarakat (Bank Dunia, 2012).
Seakan menolak fakta, sejumlah negara maju dan badan internasional dipandang lamban menciptakan momentum mengatasi pencemaran sebagai prioritas bagi aksi nasional dan global. Penelitian itu menegaskan dugaan yang selama ini mengambang: peraturan yang bagus dan menyeluruh tak menjamin keterbukaan informasi tentang lingkungan. Persoalan lebih terletak pada implementasi yang buruk di lapangan dan mekanisme yang amat kompleks hingga memupus akses bagi warga miskin. Dari penelitian itu terungkap, pokok persoalan bukan pada regulasi. Di tiga negara telah tersedia regulasi dan hukum yang memberi mandat kepada pemerintah untuk memberikan informasi tentang lingkungan. Namun, dalam praktiknya, pengawasan terhadap pelaku industri amat lemah dan mekanisme mendapatkan data demikian kompleks sehingga menyulitkan untuk didapatkan.
Informasi yang diinginkan masyarakat antara lain: informasi tentang pabrik/industri, dokumen izin, kualitas air dan zat pencemar, dampak terhadap kesehatan, upaya pembersihan limbah, dampak terhadap kehidupan warga dan dampak terhadap ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan, hukum pada umumnya bagus, tetapi di Indonesia informasi tentang jenis pencemar menjadi informasi yang paling sulit didapatkan, juga informasi tentang dampak pada kesehatan dan ekosistem.
Laporan itu merekomendasikan beberapa perbaikan pada praktik pemerintah pusat dan daerah, kelengkapan data, ketersediaan secara online dan offline yang mudah diakses, serta pemberdayaan masyarakat. Yang menjadi masalah, aspek politik yang sering kali memengaruhi kebijakan lingkungan tidak mendapat sorotan dalam laporan ini. Ketika banyak kepentingan terlibat dalam aktivitas pemberian izin oleh pemerintah, ketika itu pula persoalan praktis-teknis menjadi persoalan yang seolah tak bisa diatasi. Maka, warga pun menjadi massa yang ”tak terdengar”…. (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber: Kompas, 12 Januari 2018