Jangan sampai negeri kita direndahkan lagi martabatnya gara-gara mengirim gelar doktor HC kepada raja Arab Saudi.
UNIVERSITAS Indonesia (UI) memberi gelar doktor honoris causa (HC) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz. Alasannya, raja Saudi dianggap banyak berjasa terhadap pembangunan Islam di Indonesia, pernah membantu menyelesaikan pembangunan masjid di Salemba, membantu korban tsunami Aceh (sebagai donatur terbesar), dan aktif dalam misi perdamaian di Palestina.
Keputusan akademis itu mengundang kontroversi karena pemerintah Indonesia baru saja memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Saudi. Raja Saudi, kata Koordinator Migrant Care Wahyu Susilo, tak pantas mendapat gelar itu karena tidak pernah melindungi hak asasi manusia. Penghargaan tersebut dinilainya melukai hati TKI. Kecaman senada dilontarkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Ashar. Bahkan Kementerian Pendidikan ikut menyesali pemberian gelar tersebut. (SM, 03/09/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itulah yang menggelitik karena persoalan pemberian gelar akademis dikait-kaitkan dengan masalah TKI. Benarkah para TKI sakit hati gara-gara raja Saudi diberi gelar doctor kehormatan? Jika benar, di manakah titik urgensi sakit hatinya? Pertanyaan ini perlu dijawab secara logis karena pemberian gelar sesungguhnya merupakan persoalan akademis yang berdiri sendiri dan tidak memiliki korelasi langsung dengan masalah TKI.
Hubungan Indonesia-Arab Saudi selama ini kelihatan akrab meskipun sedikit terganjal persoalan TKI yang belum tuntas. Bagi bangsa kita, Saudi bukanlah negeri asing. Sayang, selama ini hanya bangsa kita yang aktif bergerak dan mengunjungi Saudi atas nama jamaah haji ataupun pekerja migran. Termasuk saat pemberian gelar HC, ironisnya justru pihak perguruan tinggi kita yang mendatangi raja Saudi.
Menghitung jasa seorang pemimpin negara kemudian memberikan gelar (penghargaan) kepadanya adalah sah-sah saja sepanjang bisa diterima secara nalar akademis. Sikap menghargai itu sangat manusiawi, apalagi ditujukan kepada seorang raja. Memberi gelar kepada seorang raja bisa bermakna lugas, benar-benar menghargai secara tulus dan menghormati dengan kesungguhan hati tanpa tendensi apapun. Penghargaan semacam ini muncul setelah melihat fakta bahwa ia berjasa besar.
Posisi Tawar
Di sisi lain, pemberian gelar bisa dianggap sia-sia, seperti peribahasa menggarami lautan. Pemberian gelar doctor HC kepada raja Saudi juga bisa dimaknai sebagai bentuk ungkapan halus (eufemisme). Melalui sindiran itu, siapa tahu sang Raja bisa berubah sikap menjadi lebih bijak.
Misalnya mendorong pemerintah Saudi bersikap lebih adil, bukan hanya menghukum warga negara asing/ TKI yang melanggar hukum melainkan juga menghukum warganya sendiri (para majikan) yang menjahili TKW Indonesia. Lebih baik lagi kalau Saudi yang superkaya berkenan membantu negara-negara miskin yang membutuhkan uluran tangan.
Apa yang diberikan Saudi kepada Indonesia mungkin lebih sedikit dibandingkan jasa TKI dan jamaah haji yang secara rutin menyumbang devisa dan tenaga untuk negeri tersebut. Devisa yang diperoleh Saudi dari jamaah haji kita (sebagai jamaah haji terbesar di dunia) tidak sedikit nilainya. Demikian pula sumbangan tenaga TKI, meskipun mereka digaji, jasanya sangat luar biasa terhadap masyarakat Saudi.
Jasa besar itulah yang selama ini luput dari perhitungan sehingga daya tawar Indonesia menjadi rendah di mata pemerintah Saudi. Kita dapat membayangkan kalang-kabutnya majikan di Saudi jika semua TKI kita di sana yang jumlahnya diperkirakan 1,2 juta orang ditarik ke Indonesia. Para TKW yang pernah bekerja di Saudi paham bahwa budaya masyarakat Saudi cenderung elitis, tidak terbiasa mengerjakan tugas domestik seperti kebersihan dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Tugas-tugas tersebut biasa dibebankan kepada pembantu.
Maka kiriman gelar doktor HC kepada raja Saudi mudah-mudahan bisa memperbaiki hubungan diplomatik yang belakangan mengalami keretakan. Selama ini martabat Indonesia di mata Saudi dipandang rendah karena kasus korupsi dan kita menjadi negara pengekspor TKI. Maka jangan sampai negeri kita direndahkan lagi martabatnya gara-gara mengirim gelar doktor HC kepada raja Saudi. (10)
Nur Khasanah, guru TK, mantan TKW
Sumber: Suara Merdeka, 6 September 2011