Euforia industri digital mewarnai perjalanan industri teknologi informasi komunikasi di Indonesia sepanjang tahun 2015. Menuju akhir tahun, puncak euforia ditandai dengan kehadiran layanan komersial 4G LTE.
Dalam Ericsson Mobility Report yang dirilis awal Desember 2015 untuk kawasan Asia Tenggara dan Oseania, setidaknya bisa memberikan gambaran industri digital telah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat, bahkan sebelum 4G LTE dikomersialkan.
Untuk Indonesia, Ericsson menyebutkan bahwa Indonesia tetap menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan penjualan perangkat seluler global. Pada triwulan III-2015, pertumbuhan penggunaan internet termasuk 10 besar negara di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu lintas layanan data kian mengalami peningkatan. Kondisi ini dapat terlihat saat Lebaran 2015. Sebagai contoh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) mencatat, kenaikan trafik mencapai 140 persen ketimbang periode Idul Fitri 2014.
Secara regional, trafik data akan tumbuh 14 kali lipat dalam kurun waktu 2015-2021. Penetrasi pengguna ponsel pintar mendorong pemakaian data dalam kehidupan sehari-hari. Meski kontribusi utama trafik data didominasi pemanfaatan video, komunikasi pelanggan diperkirakan semakin fokus menggunakan aplikasi. Ini termasuk salah satunya aplikasi perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
Pada akhir 2014, nilai bisnis e-dagang Indonesia mencapai 12 miliar dollar AS. Adapun nilainya diprediksi naik menjadi sekitar 18 miliar dollar AS akhir 2015. Pertumbuhan nilai penjualan bisnis daring di Indonesia, sesuai data Ernst & Young, meningkat 40 persen per tahun dengan sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pemakai ponsel pintar.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan visi ingin menjadi pemain ekonomi digital utama di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi visi ini disampaikan berulang-ulang.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan, pemerintah serius untuk membangun ekosistem industri digital di Indonesia. Ekosistem yang dimaksud adalah perangkat, jaringan, dan aplikasi. Arah pengembangan ketiga bagian ekosistem ini adalah porsi besar bagi pemain lokal.
Ini bukan langkah mudah. Tarik menarik tetap terjadi. Dualisme perdebatan muncul, Indonesia menjadi target pasar atau sebaliknya.
Perangkat
Awal Juli 2015, Rudiantara menandatangani Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 27 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar LTE. Isinya mengatur persyaratan teknis tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada perangkat keras 4G LTE berbasis frequency-division duplex (FDE) minimal 30 persen dan berbasis time-division duplex (TDE) minimal 40 persen. Untuk perangkat keras berbasis FDE, perusahaan wajib menjalankannya mulai 1 Januari 2017. Adapun perangkat keras berbasis TDE berlaku 1 Januari 2019.
Dalam kurun waktu menjelang 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika akan mengeluarkan surat keputusan bersama menteri perindustrian dan menteri perdagangan guna menyinergikan peraturan TKDN.
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 27 Tahun 2015 membuat sejumlah produsen ponsel merek global, mau tidak mau, harus tunduk. Jika tidak, mereka terancam kehilangan pasar mereka di Indonesia.
Merasa bahwa investasi manufaktur dan perangkat keras kurang menguntungkan Indonesia jangka panjang, pemerintah menyuarakan perlunya TKDN perangkat lunak.
Finalisasi petunjuk teknis penghitungan tengah dilakukan di tingkat kementerian perindustrian. Usulan mencangkup lima skema untuk memperoleh TKDN, yakni 100 persen perangkat keras; 100 persen perangkat lunak; gabungan 75 persen perangkat keras dan 25 persen perangkat lunak; 50 persen perangkat keras dan 50 persen perangkat lunak; serta 25 persen perangkat keras dan 75 persen perangkat lunak.
Jaringan
Dalam survei PwC “18th Annual Global CEO Survey” menyebutkan, ekonomi digital juga memiliki karakteristik khusus di mana koneksi berbasis pita lebar dianggap oleh 28 persen responden sebagai pendorong penting.
Pencapaian Indonesia sekarang masih berkutat pada proses penataan ulang frekuensi. Terakhir penataan frekuensi spektrum 1.800 megahertz (MHz) yang selesai November. Untuk meningkatkan layanan jumlah pelanggan, frekuensi menjadi topik pembahasan hangat menuju awal 2016.
Permasalahan konektivitas secara merata ke seluruh Indonesia seakan tenggelam di tengah hiruk-pikuk komersialisasi 4G LTE dan kebutuhannya. Alih-alih membicarakan konsep baru modern pemberian lisensi, publik justru dikejutkan dengan penandatanganan kerja sama percobaan Google Loon dan tiga operator. Teknis kerja Google Loon dikabarkan mampu mengatasi hambatan pembangunan infrastruktur di daerah terpencil.
Konsep baru kontrak yang harus dimiliki oleh semua operator telekomunikasi seluler dan jaringan agar memperoleh izin penyelenggaraan jaringan bergerak seluler sudah lama diembuskan, tetapi implementasi belum berjalan.
Salah satu substansi penting konsep baru itu, yaitu ketentuan pembangunan infrastruktur jaringan ke seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, ketimpangan infrastruktur jaringan akses dan pita lebar dapat teratasi.
Aplikasi
Perjalanan industri TIK Indonesia 2015 diwarnai pula oleh desakan pelaku lokal untuk menata ulang bisnis konten (over-the-top/OTT) agar potensi tersebut tidak terus-menerus dikuasai asing. Dalam beberapa pertemuan, Komite Independen Telekomunikasi dan Penyiaran Indonesia (KITPI) serta Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sempat mengungkapkan kegelisahan tersebut.
Sekitar 90 persen lalu lintas data saat mengakses data internet diketahui menuju ke luar negeri. Pangsa pasar konten asing dengan porsi sekitar 60 persen. Akibatnya, Indonesia menyumbang pendapatan bagi pemain konten luar negeri, bukan sebaliknya menggarap potensi pajak. The Center for Welfare Studies menyebutkan, besarnya potensi pajak yang gagal digarap Indonesia Rp 10 triliun-Rp 15 triliun.(MEDIANA)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2015, di halaman 19 dengan judul “Menuju Kemandirian Ekonomi”.