Akhir-akhir ini muncul persepsi bahwa jurnalisme tengah mengalami ancaman serius. Namun, pada kenyataannya, jurnalisme selalu dibutuhkan dalam berbagai macam bentuknya. Agar bertahan, media mesti menyesuaikan diri dengan target audiens.
Lebih dari 20 tahun, para jurnalis media daring Malaysia, Malaysiakini.com dilecehkan, ditangkap, dan dituntut oleh rezim otoriter. Kantor mereka digerebek lima kali dan komputer-komputer mereka disita.
Sungguh ironis bahwa Mahathir Mohamad yang pernah menyebut media ini pengkhianat dan mencoba untuk menutup Malaysiakini.com justru sekarang kembali memimpin Malaysia. Dengan sejarah baru ini, Malaysiakini.com mungkin merupakan satu-satunya organisasi media yang dapat mengklaim telah menjatuhkan Perdana Menteri, tetapi sekaligus membawanya kembali berkuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam situasi berat itu, Malaysiakini.com juga ditantang untuk mampu menemukan bisnis model yang mampu bertahan di tengah kediktatoran kapitalisme. Sejak saat itulah, mereka mengembangkan satu prinsip: media independen butuh sokongan finansial yang independen pula.
“Syukurlah, kami berupaya menghidupi prinsip itu sekitar dua dekade terakhir. Kami mengumpulkan dana dari pembaca melalui langganan berbayar sejak 15 tahun yang lalu, jauh sebelum perusahaan-perusahaan media percaya bahwa ada orang yang ternyata bersedia mengeluarkan uang untuk membeli konten-konten berita daring,” ucap Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com Steven Gan dalam Konferensi Regional ”Tantangan Jurnalisme di Era Digital” peringatan 25 tahun HUT Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy memaparkan presentasi dalam sesi 2 Konferensi Nasional “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” dalam rangka 25 tahun HUT Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, Selasa (6/8/2019). Tampil juga sebagai pembicara pada sesi 2 ini, pemenang call paper Rana Akbari Fitriawan dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post sekaligus mantan anggota Dewan Pers, Nezar Patria dengan moderator Mawa Krena dari AJI Indonesia.
Mempertahankan jurnalisme
Steven meyakini bahwa siapapun membutuhkan jurnalisme dalam berbagai macam bentuknya. Sebab, demokrasi adalah tentang pemilih-pemilih yang menentukan calon-calon pemimpin berdasarkan informasi. Dan, munculnya pemimpin politik yang berkualitas hanya bisa terjadi jika publik mendapatkan asupan sumber-sumber berita yang kredibel dengan informasi-informasi yang faktual, dapat dipercaya, dan akurat.
“Kita harus membela jurnalisme. Kita harus memastikan bahwa peran jurnalis dalam merekam peristiwa, menyajikan fakta, dan membangun opini tetap dipertahankan. Kita membutuhkan jurnalisme dalam bentuk apapun. Percayalah, jurnalisme mampu memberdayakan, membawa perubahan, dan meningkatkan kehidupan,” tegasnya.
Menurut anggota Dewan Pers, Asep Setiawan, di tengah era digital muncul peluang-peluang baru bagi orang-orang di luar jurnalis untuk memproduksi informasi dan opini. Berita-berita terkini tentang bencana alam sekarang justru pertama kali disuplai oleh masyarakat awam daripada wartawan. Kemajuan teknologi memungkinkan siapapun bergerak cepat menjadi yang pertama melaporkan.
“Media perlu berpikir jauh ke depan dalam mengembangkan profesionalitas mereka,” kata dia.
Mengutip omongan pimpinan The Guardian Media Group Andrew Miller, perusahaan media hanya akan bisa bertahan jika mereka bisa beradaptasi dengan waktu dan mau merangkul kemajuan teknologi yang sedang terjadi. Miller juga menekankan perlunya media menciptakan jurnalisme yang berkualitas bagi pembaca yang berkualitas untuk tetap mempertahankan jumlah pembaca.
Terkait konten jurnalisme yang menarik ke depan, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria meyakini bahwa metode pemberitaan bertutur masih berjaya. Media-media besar, seperti The New York Times, kini tak lagi mengangkat berita-berita pendek dan singkat, tetapi mulai mengangkat isu-isu yang tidak ”pasaran” atau umum.
”Liputan dokumenter KBR 68H tentang seorang anak pelaku bom di Surabaya menarik sekali. Ini kisah seorang anak yang lolos dari bom bunuh diri tetapi ditolak masyarakat. Ia dirawat pemerintah dan saat akan dipulangkan ke kampung halaman, warga setempat sulit menerima anak itu. Kisah ini tak banyak diangkat media. Konten-konten seperti ini bertahan panjang ke depan, sedangkan berita bombastis hanya bertahan dua tiga kali lalu berhenti,” katanya.
Banyak media yang kini masih mencari bentuk dan terus mengubah diri. Agar tetap berjalan, arah ke depan media mesti menyesuaikan diri dengan target audiens yang dituju. Masing-masing media memiliki kekhasan cara dan audiens.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2019