Sebagai negara kepulauan terbesar yang dikelilingi lautan luas dan garis pantai yang panjang, perairan Indonesia sangat rentan. Laut menjadi gerbang dan arena yang memungkinkan terjadi berbagai tindakan ilegal yang mengancam pertahanan dan ketahanan negara. Karena itu, sistem pengamanan laut sesuai karakter wilayah Indonesia mutlak diperlukan.
Luas laut Indonesia sekitar 75 persen dari total luas wilayahnya, terdiri dari 3,1 juta kilometer (km) persegi laut teritorial dan 2,7 juta km persegi laut Zona Ekonomi Eksklusif. Sementara luas daratan 1,9 juta km persegi berupa lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantai lebih dari 81.000 km.
Wilayah itu terentang sepanjang 6.400 km dari barat ke timur, hampir seperenam keliling khatulistiwa Bumi, atau dari London, Inggris, hingga Siberia di timur Rusia. Dari utara ke selatan, wilayah Indonesia terbentang sejauh 2.500 km.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laut Nusantara juga terbuka, berhadapan dengan Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Laut Tiongkok Selatan. Dengan tiga alur laut kepulauan, Indonesia menjadi pelintasan pelayaran antarbenua. Belum lagi, Selat Malaka menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia.
Kondisi itu membuat perairan Indonesia rentan. Tak hanya dari pencurian ikan dan sumber daya kelautan lain, tapi juga melintasnya kapal-kapal ilegal, baik kapal penyelundup, perompak, pembawa narkotika, pengangkut pencari suaka, maupun korban perdagangan manusia.
Karena itu, pengamanan laut Indonesia tak cukup dengan memakai wahana berbasis perairan, seperti kapal perang ataupun kapal selam, tapi harus dilakukan dari udara lewat pengintaian maritim. Upaya pencarian, penghalangan, penyelidikan, dan penjejakan obyek di atas ataupun di bawah muka laut dari udara itu tak bisa mengandalkan satu jenis pesawat.
“Jenis pesawat pengintaian maritim harus disesuaikan dengan misi dan karakteristik wilayah atau medan operasi,” kata Komandan Pusat Penerbangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) Laksamana Pertama Sigit Setiyanta, di Jakarta, Kamis (26/11).
Pilihan pesawat
Awal November lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengikuti uji terbang pesawat Boeing Maritime Surveillance Aircraft (MSA) N614BA. Pesawat itu diklaim punya peralatan canggih pemantau perairan Indonesia.
Selain pesawat ukuran besar seperti Boeing MSA, banyak pesawat patroli maritim berukuran menengah dan kecil, seperti pesawat CN235-220 Maritime Patrol Aircraft (MPA) dan pesawat NC212i buatan industri pesawat dalam negeri PT Dirgantara Indonesia (DI). Ada pula C295 buatan Airbus Defence and Space (ADS) sebagai pengembangan CN235.
Direktur Teknologi PT DI Andi Alisjahbana mengatakan, semua jenis pesawat surveilans atau patroli maritim merupakan pesawat militer atau sipil yang dimodifikasi sesuai kebutuhan. Kecanggihan alat untuk pengawasan sesuai kebutuhan misi, bukan ditentukan jenis pesawat.
Peralatan misi canggih itu bisa dipasang dalam pesawat patroli maritim apa pun, baik Boeing MSA maupun pesawat CN235 dan NC212i. Peralatan misi pengintaian maritim yang biasa dipakai antara lain radar, kamera termal (FLIR), alat pengintaian malam (goggle night vision), prosesor akustik, dan pendeteksi ancaman (ESM).
Selain peralatan misi, pesawat pengintai dilengkapi alat operasi, seperti radar cuaca, sistem navigasi arah (ADF), sistem pengukur jarak (DME), sonar pendeteksi benda di bawah permukaan air, dan sistem manajemen penerbangan (FMS).
Jenis pesawat menentukan luasan jangkauan, kecepatan, dan kemampuan manuver. Berbagai kebutuhan itu bergantung pada luas dan kondisi geografis wilayah yang diawasi.
Plus minus
Menurut kondisi geografis Indonesia dan pengalaman PT DI puluhan tahun, Andi menilai pesawat yang cocok untuk mengawasi perairan Indonesia adalah pesawat berbasis propeler atau baling-baling, seperti CN235 atau NC212i. Dua pesawat itu bisa terbang rendah mendekati obyek yang dicurigai sehingga lebih optimal menggunakan kamera pengintaian dan biaya operasi jadi lebih rendah.
“Pesawat berbasis propeler tak butuh landasan terlalu panjang untuk lepas landas dan pendaratan,” ujarnya. Jadi pesawat bisa mendarat di lapangan terbang kecil yang banyak terdapat di Indonesia.
Fleksibilitas tinggi CN235 itu diakui Sigit. Pesawat kelas menengah yang diproduksi sejak 1990-an itu juga punya keakuratan pengindraan tinggi. Pesawat berkemampuan jelajah 496 mil laut atau 920 km itu bisa terbang 9 jam di ketinggian 25.000 kaki atau 7,6 km.
Sebagai pesawat pengintaian, pengawasan, dan intelijen, CN235 dilengkapi sejumlah peralatan misi dan operasi canggih untuk berbagai misi di masa damai ataupun perang. Sejumlah negara telah melengkapi pesawat yang dibelinya dengan berbagai senjata, seperti rudal, torpedo, bom laut, dan meriam.
“Untuk mengawasi seluruh laut yurisdiksi nasional, TNI AL butuh 30 pesawat intai maritim CN235,” kata Sigit.
Hingga Agustus 2015, ADS menyebut, 235 pesawat CN235 beroperasi, 279 pesawat dalam pengiriman, dan 283 pesawat dalam pemesanan. Penggunanya tersebar di lima benua. Adapun C295 yang merupakan pengembangan dari CN235 juga diminati banyak negara. Pesawat itu, menurut rencana, diproduksi PT DI sehingga dinamai CN295.
Sementara sejumlah negara memilih NC212i sebagai pesawat patroli maritim. Namun, TNI AL baru mengoperasikan pesawat kecil itu sebagai pesawat angkut. Untuk jadi pesawat pengintai maritim, perlu sejumlah modifikasi.
Selain TNI AL, TNI Angkatan Udara (AU) mengoperasikan sejumlah CN235. Selain itu, TNI AU mengoperasikan pesawat berbadan lebar Boeing 737-200 sebagai pesawat intai.
Sigit mengatakan, TNI AL juga butuh pesawat intai atau patroli maritim berbasis jet, terutama untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia, termasuk ZEE. Operasi udara dengan pesawat jet saatnya dikembangkan karena punya kemampuan terbang hingga 10 jam dengan jangkauan jelajah hingga 1.500 mil laut atau 2.750 km.
Namun, pengoperasian pesawat intai berbasis jet harus dilengkapi aneka perlengkapan misi terintegrasi dengan semua kekuatan TNI, baik AL, AU, maupun angkatan darat. Karena itu, pesawat jenis itu cocok jadi pengendali operasi.
Meski tiap pesawat punya keunggulan, sistem penindakan di laut perlu dibangun agar pengintaian bermanfaat optimal. Pada tahun 1960-an, TNI AL pernah mengoperasikan pesawat amfibi yang bisa mendarat di air sebagai pesawat pengintai sekaligus penindakan. Kini, sistem penindakan kapal ilegal yang sesuai perlu dikaji dengan memperhatikan keselamatan awak dan aparat penegak hukum.
M ZAID WAHYUDI, B JOSIE SUSILO HARDIANTO, DAN YUNI IKAWATI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Menjaga Lautan Nusantara dari Udara”.