Menangkap ikan tidak lagi menjadi mata pencarian utama warga di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Setelah terjadi eksploitasi penangkapan ikan dengan cara merusak, kini warga memilih memperbaiki terumbu karang yang rusak dan mengantar turis menyaksikan keindahan panorama bawah laut.
“Pendapatan memang tidak sebesar dahulu, tetapi sekarang kami lebih tenang karena tahu bahwa ini akan berlangsung lebih lama. Dahulu, hampir semua nelayan menggunakan bom dan potasium sianida untuk menangkap ikan,” kata Umar Dani, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Deep Blue Sea, di Sekotong, pada 9 Agustus, dalam kunjungan media yang diadakan The Nature Conservancy.
Saat menggunakan bom dan potasium sianida, kata Umar, ikan yang didapat sangat banyak dan memberikan hasil melimpah. Namun, kondisi itu hanya bertahan hingga 2012 ketika terumbu karang rusak dan jumlah tangkapan pun menurun. Ukuran ikan, terutama ikan karang yang menjadi andalan untuk diekspor, semakin kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lingkungan pantai ini juga sangat tak terawat, sampah berserakan. Hingga suatu saat saya diminta mengantar tamu ke gili (pulau). Di sana, tamu asing itu malah memunguti sampah, mengumpulkannya, dan kemudian membuangnya saat tiba kembali di daratan. Di sana saya mulai merasa malu,” ungkap Umar.
Jauh sebelum itu, Heriyanto, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Bay Watch, yang menginisiasi perbaikan lingkungan di kawasan itu. Ia, yang sudah terlebih dahulu berhenti menjadi nelayan dan pemandu selam, mengajak rekan-rekannya yang berprofesi sebagai nelayan untuk berhenti menggunakan cara-cara yang merusak.
Meski di awal banyak mendapat tentangan, akhirnya sebagian besar nelayan memilih tidak lagi menggunakan cara-cara yang merusak. Mereka pun memulai transplantasi terumbu karang yang kondisinya rata-rata hanya tersisa 30 persen.
Kini, kawasan itu telah masuk dalam pencadangan kawasan konservasi perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil (K2P3K) Gita Nada, yang mencakup Gili Tangko, Gili Nanggu, dan Gili Sudak di areal seluas 21.556 hektar. Zona-zona telah ditetapkan, di antaranya zona inti yang tidak boleh ada aktivitas apa pun selain penelitian hingga zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan. Selama dua tahun terakhir, Wildlife Conservation Society (WCS) hadir untuk mendampingi warga.
“Sekarang nelayan sudah tahu tempat di mana tidak boleh menangkap ikan dan di mana bisa mencari ikan. Setelah transplantasi karang, hasilnya kini sudah terlihat,” kata Heriyanto.
Pariwisata
Para wisatawan biasanya datang untuk wisata mengelilingi pulau, kemudian menyelam atau snorkeling, salah satunya di Gili Nanggu. Di pulau itu terdapat resor, juga penangkaran penyu. Di bawah permukaan laut, di kedalaman 5-6 meter, terumbu karang mulai mengisi jaring-jaring besi. Sebagian sudah terlihat sangat rapat.
Heriyanto menunjukkan lokasi tempat ikan badut (clown fish) berada. Ia biasa membawa wisatawan yang ber-snorkeling ke lokasi itu untuk melihat ikan badut yang dikenal luas melalui film Nemo (Finding Nemo). Pengunjung bisa merasakan pengalaman melihat ikan-ikan berwarna-warni di antara terumbu karang, bahkan memberi makan ikan-ikan yang lebih besar dengan roti yang dibawa pemandu.
Wisata semacam ini yang sekarang menjadi andalan warga. Heriyanto mengatakan, warga sudah menyadari bahwa lingkungan yang terjaga baik akan mendatangkan rezeki. Selalu ada saja wisatawan mancanegara dan lokal yang datang ke tempat itu. Di musim liburan akhir tahun dan hari raya, pengunjung bahkan membeludak.
“Tetapi, tantangan memang selalu ada. Sekarang ini masih saja kami temui ada yang masih menggunakan bom atau potasium, terutama mereka yang berasal dari luar tempat ini. Lalu, semakin banyak limbah dan sampah yang dibuang ke sungai dan akhirnya laut yang terkena dampaknya,” ungkapnya.
Saat ini mencari ikan bagi warga adalah pilihan kedua setelah mengantar wisatawan berkeliling pulau. Nelayan kembali menggunakan cara-cara tradisional saat mencari ikan, yaitu menggunakan jaring atau pancing. “Walaupun penghasilan menangkap ikan tidak sebanyak dahulu, tidak masalah karena kami tahu, ikan-ikan tidak akan habis karena lingkungan lebih terjaga,” tutur Umar.
Taman Wisata Perairan (TWP) Gita Nada merupakan satu dari 12 kawasan perairan dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Barat seluas total 241.109 hektar yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur NTB Nomor 523-505 Tahun 2016 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Provinsi NTB. Dari 12 kawasan, tiga di antaranya telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan, yaitu TWP Gili Meno, Air dan Trawangan, Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Moyo di Sumbawa, dan TWA Laut Pulau Satonda di Dompu.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB Lalu Hamdi menyebutkan, pihaknya telah menyusun dokumen rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu sejak 2015. Setelah ditetapkan dalam SK Gubernur, kini NTB tengah membahas penyusunan perda terkait hal tersebut.
“Saat ini dari 241.000 hektar itu, 11.554 hektar telah dikelola pemerintah pusat. Kami mengelola yang lainnya. Namun, karena ada peralihan wewenang dari kabupaten/kota ke provinsi, saat ini memang masih proses karena peralihan wewenang ini tidak diikuti dengan perpindahan sumber daya manusia,” ungkap Hamdi.
Saat ini telah dibentuk tiga unit pengelola dalam bentuk unit pengelola teknis daerah (UPTD), yaitu UPTD Bima, Sumbawa, dan Lombok. Selain itu, rencana pengelolaan kawasan konservasi juga tengah dibuat sebagai panduan pengelolaan dan pengawasan. Warga setempat dilibatkan dalam bentuk pokmaswas yang kini sudah 145 kelompok di NTB. Hamdi menargetkan perda tentang K2P3K bisa disahkan pada tahun ini.
Untuk mengoptimalkan pengawasan, DKP NTB telah menandatangani nota kesepahaman bersama kepolisian, kejaksaan, dan TNI Angkatan Laut untuk upaya pembinaan, pencegahan, dan penindakan. Hamdi mengakui masih ditemukan pelanggaran seperti penggunaan bom dan potasium. Tetapi, penindakan sulit dilakukan karena kesulitan membuktikannya.
Sukmaraharja Tarigan, peneliti dari WCS, menyampaikan, hasil survei WCS menemukan, telah terjadi eksploitasi berlebihan terhadap beberapa jenis ikan karang di perairan teluk Saleh, Sumbawa, yaitu ikan kerapu sunu (Plectropomus areolatus), kerapu merah (Cephalopolis miniata), dan kerapu macan epinephelus (Epinephelus fuscogugattus). Indikatornya, pada jenis-jenis ikan itu, pengambilan oleh nelayan melebihi batas maksimal, yaitu 7 per 10 ikan dalam satu populasi ikan karang. Banyak ikan ditangkap sebelum memijah sehingga jumlahnya makin berkurang.(AMANDA PUTRI)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 13 dengan judul “Menjaga Laut, Menjaga Masa Depan”.