Banjir merupakan bencana paling sering terjadi di Indonesia. Namun, selama 2014-2017, longsor menjadi bencana paling mematikan karena banyak korban meninggal dan luka. Meski jutaan orang tinggal di daerah rawan longsor, kemampuan mitigasi yang dimiliki belum memadai.
Salah satu upaya mitigasi longsor yang dikembangkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ialah teknologi deteksi dini longsor, Wiseland, dan pengurang tinggi muka air tanah, The Greatest. Meski hasil uji kedua teknologi itu menjanjikan, pemanfaatannya menghadapi banyak kendala.
”Kedua teknologi bisa diintegrasikan,” kata Kepala Tim Kegiatan Unggulan LIPI Bidang Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim 2015-2017 yang juga peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari di Jakarta, Selasa (13/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wiseland
Teknologi Wiseland (Wireless Sensor Network for Landslide Hazard and Structural Health Monitoring) atau Jaringan Sensor Nirkabel untuk Pemantauan Bahaya Longsor dan Kesehatan Struktur merupakan teknologi deteksi dan peringatan dini longsor. Selain memantau longsor, teknologi ini bisa untuk memantau kondisi bangunan, seperti jembatan.
Teknologi Wiseland terdiri dari tiga perangkat, yakni seperangkat sensor pendeteksi parameter longsor, sistem gateway atau pengumpul informasi dari berbagai sensor dan dikirim ke pusat data (server), serta aplikasi berbasis web untuk memantau parameter sensor jarak jauh.
Semua sensor dan gateway memakai catu daya mandiri memakai panel surya dan baterai kering atau lithium. Sensor yang ada digunakan untuk mendeteksi gerakan tanah (ekstensometer), kemiringan tanah (tiltmeter), pengukur kadar air, dan tinggi muka air tanah (sensor modul). Sensor diletakkan di daerah rawan longsor, seperti lereng, dan jumlahnya bergantung luas area pantauan.
”Data sensor dikirim secara nirkabel ke gateway,” kata peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI Suryadi. Gateway yang dilengkapi alarm peringatan dini dan pengukur curah hujan itu ditempatkan di daerah padat penduduk untuk memudahkan pemantauan. Namun, dengan aplikasi web, pemantauan bisa dilakukan di mana saja sepanjang terhubung internet.
Saat alarm berbunyi, berarti sensor berubah atau mendeteksi perubahan parameter longsor yang mendekati ambang batas. Namun, masyarakat tak perlu panik karena bunyi alarm itu harus diverifikasi dulu oleh pihak berwenang, misalnya dari petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Verifikasi itu jadi prosedur standar peringatan dini bencana apa pun dan di mana pun untuk memastikan bencana yang dideteksi memang terjadi. Jika alarm berbunyi karena ada indikasi longsor, ada waktu untuk mengungsi. ”Bisa saja alarm berbunyi karena rangkaian sensor tertabrak orang atau hewan atau tertimpa pohon,” katanya.
Dari sejumlah uji di beberapa daerah rawan dan pernah longsor atau di Jembatan Cisomang, Tol Cipularang, Wiseland mampu menghasilkan data pergerakan tanah dengan akurat.
Tantangan justru muncul akibat sering hilangnya baterai yang digunakan meski sensor diletakkan di tempat sulit dijangkau. Tingginya frekuensi baterai hilang memunculkan candaan di kalangan peneliti bahwa memikirkan cara baterai agar tak dicuri sama beratnya dengan memikirkan risetnya.
Di sisi lain, edukasi warga perlu terus dilakukan, khususnya membiasakan dengan sistem kerja terknologi itu. ”Seringnya alarm berbunyi bisa memunculkan resistensi warga hingga tak peka pada tanda peringatan bahaya,” kata Suryadi.
The Greatest
Jika teknologi Wiseland cocok digunakan sebelum tanda-tanda longsor terjadi, maka teknologi pengurang risiko longsor LIPI lain, The Greatest, cocok digunakan jika terjadi pergerakan tanah lambat alias tahap awal longsor mulai terjadi.
The Greatest atau Tenologi Gravitasi Ekstraksi Air Tanah untuk Kestabilan Lereng digunakan untuk menurunkan tinggi muka air tanah sehingga lereng stabil atau tak terjadi longsor. Kenaikan muka air tanah itu biasa terjadi saat musim hujan.
Untuk mengatasi kenaikan muka air tanah, cara yang bisa dilakukan ialah, menguras atau mengeluarkan isi air tanah di lereng. Pengurangan air dilakukan hingga permukaan air tanah berada di bawah bidang gelincir atau zona lemah di lapisan tanah, tempat longsor terjadi.
Untuk menyedot air tanah, Adrin memakai metode sifon, yaitu memindahkan cairan dari wadah yang tak bisa direbahkan. Prinisp kerja metode sifon adalah mengisap air tanah berdasarkan perbedaan ketinggian muka atau tekanan air tanah. Metode itu mirip dengan cara menuangkan bensin dari tangki motor ke jeriken.
Karena metode ini memanfaatkan gaya gravitasi, tidak memakai mesin pompa listrik, maka cara ini murah dan efisien.
Secara sederhana, penurunan tinggi air tanah dilakukan dengan membuat sumur sifon. Selanjutnya, air sumur disedot memakai selang sifon. Selang sifon itu ditarik hingga ke dasar lereng tempat unit pembilas (flushing unit) diletakkan.
”Unit pembilas menyedot air sumur sifon di atas lereng dan mengeluarkannya di dasar lereng hingga jadi sumber air baku warga sekitar,” ujar Adrin. Satu unit pembilas hanya bisa dipakai bagi satu sumur sifon.
Unit pembilas itu jadi inovasi Adrin. Alat penyedot dan pemancar air ini berupa tabung dilengkapi pipa berbentuk U di bagian atas dan tabung untuk jalan masuk dan keluar air yang diisap.
Dari uji yang dilakukan, satu unit pembilas bisa mengeluarkan air sampai 150 liter per jam. Besarnya permukaan air tanah yang bisa diturunkan bergantung pada jumlah dan posisi sumur sifon.
Makin banyak jumlah sumur dan kian tinggi posisi sumur sifon di lereng, makin banyak jumlah air tanah bisa dikurangi dan makin rendah permukaan air tanah yang didapat, serta zona rembesan air tanah mengecil. ”Konsekuensinya, lereng makin stabil dan kian rendah potensi terjadi longsor,” ujarnya.
Kendala dari teknologi ini adalah, jika air tanah mengandung mineral tinggi, maka mudah muncul kerak di selang sifon hingga menghambat aliran air. Itu bisa dibersihkan memakai air dan kapas tidak padat yang dipompakan pada selang sifon yang sudah dilepas dari unit pembilasnya.
Batasan lain yang muncul adalah metode ini hanya bisa untuk menurunkan muka air tanah hingga kedalaman 10 meter dari permukaan tanah. Itu artinya metode ini hanya efektif jika bidang gelincir tanah tak lebih dalam dari 10 meter.
”Jika lebih dalam dari itu, metode sifon tak bisa dipakai karena tekanan udara meningkat sehingga air tak bisa diisap,” kata Adrin. Itu bisa diatasi dengan pompa vakum atau pompa listrik untuk menyedot dan mengeluarkan air.
Pilihan
Teknologi Wiseland dan The Greatest memang bisa dipadukan. Dua teknologi itu hanya cocok dipakai bagi jenis longsor dan kondisi tanah tertentu.
Menurut Adrin, The Greatest hanya cocok dipakai untuk jenis longsor nendatan. Longsor ini ditandai dengan pergerakan tanah lambat sehingga memunculkan retakan tanah atau mata air dan tiang listrik miring. Longsor nendatan dipicu kenaikan permukaan air tanah akibat intensitas hujan tinggi. Sumber longsor nendatan umumnya dalam, hingga puluhan meter dan mencakup wilayah luas.
”Untuk jenis longsor luncuran yang tanahnya bergerak cepat atau longsor aliran yang gerakan tanahnya amat cepat, teknologi Wiseland lebih cocok digunakan dibandingkan The Greatest,” katanya.
Longsor luncuran dan aliran dipicu meningkatnya kejenuhan tanah akibat pori-pori tanah dipenuhi air akibat curah hujan tinggi. Sumber longsor jenis ini biasanya dangkal atau melipatkan permukaan tanah, tak sampai ke permukaan batuan sehingga gerak tanahnya cepat.
Meski teknologi Wiseland dan The Greatest menunjukkan manfaatnya, keduanya belum dimanfaatkan secara ekonomi atau masih sebatas riset.
Teknologi sejenis Wiseland banyak dikembangkan lembaga riset maupuan perusahaan swasta lain. Namun, Wiseland diklaim lebih unggul karena dilengkapi aplikasi web yang memudahkan pemantauan. Sementara The Greatest diminati sejumlah perusahaan. Agar bisa dikerjasamakan dengan swasta, perlu dikaji skala ekonominya lebih dulu. (DD04/INK/MZW)
Sumber: Kompas, 19 Februari 2018