EMPAT abad setelah Columbus menemukan Benua Amerika, Presiden ke-2 AS, Thomas Jefferson mengirim Lewis dan Clark untuk mengeksplorasi Amerika bagian barat yang masih asing.
Ekspedisi ini menjadi legenda, terutama karena terkuaknya keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa. Lalu, di kawasan yang masih liar itu, tumbuh kota-kota besar dan didirikan berbagai taman nasional yang termasyhur.
Kini, dua abad setelahnya, National Science Foundation (NSF) mencoba mengikuti jejak Lewis dan Clark dengan aktivitas yang lebih canggih, Earth Scope Project. Earth Scope merupakan eksplorasi ilmiah terhadap struktur dan evolusi Amerika Utara, terutama pencarian proses fisik yang mengontrol gempa bumi dan letusan gunung api.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudah menjadi bahan kajian umum bahwa ilmu geologi bisa menduga bagaimana benua terbentuk dan akan seperti apa kelanjutannya. Tetapi sejauh ini, perhitungan semua proses itu baru dilakukan dalam skala evolusi geologi, yaitu ribuan sampai jutaan tahun. Untungnya saat ini kemajuan teknologi memungkinkan para peneliti bergerak lebih jauh guna melihat proses tersebut dalam skala waktu manusia.
Proyek Raksasa
Sebagai salah satu penelitian geologi, ErathScope termasuk salah satu proyek ilmiah terbesar di planet ini. Sejak 2003, lebih dari 4 ribu instrumen, seperti seismometer, radar GPS sampai peralatan pengebor telah disebar di area seluas 9,5 juta km persegi dan menelan biaya konstruksi 197 juta dolar AS (1,7 triliun rupiah) serta biaya tahunan 25 juta dolar (215 miliar rupiah).
Earth Scope akan mengumpulkan informasi ilmiah terintegrasi yang diperoleh dari data geologi, seismologi, geodesi dan berbagai data dari ilmu pengukuran permukaan bumi lainnya. Rangkaian 400 seismometer yang membentuk jaring sensor geologi raksasa melintasi 48 negara bagian, termasuk Alaska ini, akan membuat citra struktur internal benua dan lapisan di bawahnya dari kerak ke inti bumi.
Jejaring peralatan sensitif yang ditanam ini akan mengukur perubahan tekanan sepanjang batas lempeng bagian barat Amerika dan Alaska. Sensor tersebut juga akan mengukur bagaimana pembentukan kerak bumi di Amerika bagian utara, bagaimana gempa bumi bermula dan bagaimana magma mengalir di bawah gunung api aktif.
Selain itu, jaring ini juga akan menginvestigasi gempa bumi, aktivitas gunung api, sampai pembentukan gunung api baru di Alaska dan Amerika bagian barat. Sedang di bagian timur, akan mempelajari perkembangan awal dan akar Benua Amerika, mencitrakan kedalaman bumi untuk menarik kesimpulan tentang asal medan magnet dan mekanisme pengendali pergeseran lempeng tektonik.
Serangkaian penerima GPS akan secara kontinu merekam perubahan bentuk permukaan bumi. Selama tujuh tahun, instrumen ini telah mengumpulkan 67 terabyte data dan bertambah 1 terabyte setiap 6-8 minggu sekali.
Multiagensi
Earth Scope bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk NASA dalam mengembangkan satelit yang sesuai dengan kebutuhannya dengan mengorbitkan satelit Synthetic Aperture Radar. Data dari satelit ini akan memetakan permukaan bumi sebelum dan setelah terjadinya gempa bumi besar atau letusan gunung api yang dahsyat.
Sebuah observatori, hasil kerja sama dengan Universitas Stanford dan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), ditempatkan sedalam 4 km ke dalam San Andreas Fault (lokasi pertemuan lempeng yang sangat dekat permukaan tanah hingga terlihat kasat mata). Observatori ini akan memberikan kesempatan pertama untuk menentukan secara langsung kondisi bawah tanah di mana gempa bumi terjadi, mengumpulkan bebatuan dan cairan perut bumi untuk studi laboratorium dan untuk memonitor secara kontinu zona subduksi yang aktif.
Komponen data dari semua proyek Earth Scope akan diintegrasikan untuk menghasilkan model struktur dan dinamika benua, dan untuk menentukan bagaimana struktur tersebut tersusun. Komponen yang ditaman jauh ke dalam tanah akan mengasilkan citra perut bumi yang lebih detail, sedang radar akan memantau perubahan struktur sepanjang waktu.
Semua data dari Earth Scope tersedia bagi publik dari waktu ke waktu untuk meningkatkan partisipasi dari komunitas ilmiah dan meneydiakan edukasi bagi pelajar di segala umur. Earth Scope menjadi trending topic bagi generasi Amerika saat ini, pengetahuan akan gaya dinamis yang membentuk benua akan sangat bermanfaat untuk usaha mengurangi risiko hancurnya kota-kota besar karena gempa bumi.
Situasi Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang terletak di pertemuan rangkaian gunung berapi sirkum Pasifik dan Mediterania dan juga pertemuan lempeng benua Asia dan Australia, Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas tektonik dan vulkanik yang jauh lebih tinggi dari Amerika. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pemerintah memikirkan suatu proyek geologi berskala besar di masa depan.
Tentu saja proyek itu tidak perlu sekaliber Earth Scope yang akan mengeruk APBN terlampau dalam, tetapi bisa dimulai dengan mendatangkan peralatan canggih yang di tempatkan di lokasi startegis dengan pengawasan tenaga ahli yang kompeten. Saat ini edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya mempunyai proyek peneliatian yang maju lebih memungkinkan, sebelum bergerak ke penelitian ilmiah yang sebenarnya.
Karena penelitian ilmiah seperti ini melibatkan masalah sosial juga seperti adanya pembebasan tanah sampai penempatan instrumen di lahan pribadi. Akan sangat sulit membayangkan proyek kolosal seperti ini berjalan mengingat alat deteksi tsunami saja masih dicuri orang. (24) oleh Arief Rahman
Sumber: Suara Merdeka, 15 Agustus 2011