Menggempur PCB Senyawa Kimia Pemicu Kanker

- Editor

Senin, 14 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Beberapa senyawa kimia diketahui berpotensi memicu kanker. Teknik identifikasi dan cara pemusnahannya yang ramah lingkungan dikembangkan untuk meredam kasus penyakit mematikan ini.

Berbagai jenis senyawa kimia yang memiliki sifat unggul berhasil dibuat agar sesuai dengan kebutuhan bahan baku produk komersial yang diproduksi. Di antara senyawa kimia itu ada yang tergolong bahan berbahaya dan beracun, bersifat karsinogenik dan persisten atau sulit terurai di alam.

Kelompok senyawa kimia dengan karakteristik tersebut disebut polutan organik yang persisten (POP). Bahan kimia yang termasuk POP ada tiga kategori, yaitu pestisida antara lain dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT), bahan kimia industri berupa polychlorinated biphenyl (PCB) dan hexachlorobenzene (HCB), serta produk samping, yaitu dioksin dan furan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

PUSAT TEKNOLOGI LINGKUNGAN BPPT–Lab Uji PCB

Keberadaannya tentu menjadi perhatian negara-negara di dunia karena POP tidak hanya mengendap di tanah, tetapi juga dapat menyebar terbawa angin dan jatuh ke permukaan dan perairan oleh hujan. Dalam hal ini, laut juga menjadi tempat penumpukan PCB . Senyawa B3 ini terakumulasi dalam tubuh berbagai spesies satwa, termasuk yang bermigrasi melintasi batas negara dan lintas benua. Kontaminasi PCB di lingkungan bersumber dari industri, kebocoran saat transportasi, pembuangan limbah, dan pembakaran produk mengandung PCB.

Melihat sifat dan pola penyebarannya itu, maka keberadaan POP sebagai limbah lebih diwaspadai, terutama dampak negatif ketika POP masuk dalam rantai makanan dan dikonsumsi manusia. Salah satunya adalah PCB bersifat karsinogenik. Ketika masuk tubuh, senyawa kimia ini dapat menyebabkan kelainan sel, menimbulkan kanker dan menurunkan tingkat kecerdasan.

Senyawa ini menjadi perhatian dunia sejak terjadi sindrom Yusho di Jepang pada tahun 1968, yaitu kasus keracunan akibat mengonsumsi beras yang mengandung PCB. Setahun kemudian terjadi kasus yang sama di Taiwan disebut ”Taiwanese Yusho”.

Sementara TW Duke, peneliti toksikologi dari Amerika Serikat, dalam risetnya menemukan tingkat kematian anak udang Panaeus duorarum hingga 72 persen populasi akibat akumulasi PCB . Adapun Larry G Hansen dari Departemen Veterinary Bioscience Universitas Illinois, AS, menemukan bioakumulasi PCB dalam ikan Lagondon rhomboids dengan konsentrasi 10.000-50.000 kali lebih besar dibandingkan kadarnya dalam air.

Kasus dan hasil penelitian ini mendorong pemerintah dari 152 negara menandatangani Konvensi Stockholm pada 2001 untuk membatasi penggunaan hingga melarang produksi POP. Konvensi ini berlaku efektif tahun 2004. Sebagai tindak lanjut kesepakatan itu, Pemerintah RI meratifikasi Konvensi Stockholm, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009.

Keluarnya undang-undang ratifikasi itu mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan produksi, pembatasan penggunaan, pemusnahan limbah yang mengandung POP serta memulihkan lingkungan yang terkontaminasi senyawa ini. Salah satu jenis POP yang diatur dalam Stockholm Convention adalah PCB.

Laboratorium uji
Penggunaan PCB yang meluas pada berbagai produk komersial, termasuk juga cat dan plastik, berdampak tingginya kontaminasi senyawa berbahaya ini. Menurut data dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, kontaminasi PCB di seluruh Indonesia mencapai sekitar 23.000 ton, yaitu ditemukan pada minyak trafo.

Melihat potensi bahayanya bagi kesehatan, diperlukan upaya pencegahan kontaminasi PCB pada rantai makanan, yaitu melalui proses identifikasi zat pencemar di lingkungan pertanian dan permukiman. Proses itu dilakukan dengan memeriksa sampel dari lokasi tercemar di Laboratorium Uji PCB.

Laboratorium ini di bawah Pusat Teknologi Lingkungan BPPT berada di Gedung Geostech, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan. Fasilitas ini diresmikan pengoperasiannya oleh Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Hammam Riza, Kamis (10/01/2019).

Lab uji PCB merupakan laboratorium pertama di Indonesia yang dapat menguji dan menganalisis senyawa tersebut. Pembangunan dan pengoperasiannya oleh BPPT bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan bantuan teknis dan peralatan dari United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). ”Untuk mengetahui wilayah yang terkontaminasi, dilakukan pengujian menggunakan gas kromatografi berteknologi Jerman. Sarana ini hibah dari UNIDO,” kata Hammam.

Laboratorium ini merupakan langkah pemerintah yang telah meratifikasi Konvensi Stockholm pada tahun 2009. Dengan meratifikasi konvensi itu, pemerintah wajib melakukan pelarangan produksi, pembatasan penggunaan, pemusnahan bahan atau limbah yang mengandung POP, serta pemulihan lingkungan yang terkontaminasi bahan berbahaya ini.

Dalam program ini disediakan perangkat instrumentasi untuk analisis PCB berupa satu Gas Chromatograph yang dilengkapi electron capture detector (GC-ECD). ”Perangkat GC-ECD tersebut akan memperkuat kompetensi Laboratorium Lingkungan PTL di bidang pengujian PCB serta POP dari jenis yang lain,” kata Rudi Nugroho, Kepala Pusat Teknologi Lingkungan BPPT.

”Unit GC-ECD digunakan untuk mengukur PCB dalam sampel minyak transformer dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan sarana itu dapat teridentifikasi wilayah yang tercemar. Selanjutnya ditempuh langkah untuk mengatasi bahan polutan ini,” ungkapnya.

Identifikasi PCB di lab uji dilakukan dengan mengambil sampel. Sebelum diteliti, sampel harus diekstraksi dan dievaporasi untuk menjadi bahan yang pekat. Sampel lalu diinjeksikan ke kolom gas khromatografi untuk mendeteksi kandungan PCB-nya. Hasil analisis yang ditampilkan berupa grafik khromatogram. Perhitungan dilakukan menggunakan komputer untuk mengetahui konsentrasi PCB pada sampel.

Penanganan PCB
Beberapa metode penanganan PCB dilakukan perekayasa di PTL BPPT, yaitu dengan teknik bioremediasi—pemulihan atau pembersihan lahan terkontaminasi POPs dengan zat pembersih atau stimulan hayati, seperti mikroorganisme (jamur dan bakteri)—dengan teknik fitoremediasi dengan memanfaatkan tanaman tertentu. Teknik penyerapan atau absorpsi juga dikembangkan. Peneliti menemukan fly ash atau abu terbang dapat menjadi absorben untuk menyerap polutan ini.

Upaya lain yang baru dilakukan perekayasa BPPT adalah memusnahkan atau mendestruksi PCB dengan teknologi hybrid basecatalysed decomposition (hybrid-BCD) . Metode ini disebut ”dehalogenasi”, yaitu mereaksikan sampel yang mengandung PCB dengan kalsium hidroksida dibantu katalis dari unsur seng. Prosesnya ini masih dalam skala laboratorium. ”Apabila nantinya berhasil dikembangkan ke skala industri, akan dipatenkan,” kata Rudi.

”Desain teknik detail (DED) untuk metode baru itu telah disusun,” kata Fuzi Suciati, Ketua Tim PCB dari PTL-BPPT. Desain dan rancang bangun sistem destruksi PCB ini dibuat tim PCB bersama perekayasa dari unit lain di BPPT, yaitu Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi serta Balai Besar Teknologi Konversi Energi.

Cara konvensional penghancuran PCB, lanjut Fuzi, memakai reaksi kimia dan biokimia serta proses pembakaran. Proses ini sulit dan berbahaya bagi lingkungan karena oksidasi parsial bisa membentuk senyawa dioksin (dibenzodioxins) dan furan (dibenzofurans) yang sangat beracun.

Teknik karya inovasi perekayasa BPPT, kata Fuzi, tidak menggunakan cara destruksi secara termal sehingga cemaran udaranya minimal dan tidak bertentangan dengan Kyoto Protocol. Selain itu, prosesnya juga aman bagi lingkungan karena reaksinya tidak bersifat toksik. ”Proses penghilangan klor dari cincin bifenil (PCB) menggunakan paduan tenaga surya,” katanya.

Selain teknologi pemusnahan PCB, inovasi teknologi diharapkan dapat dicapai dalam pencarian bahan pengganti PSB yang fungsinya sama, bahkan lebih baik. Tujuannya untuk lebih menekan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. ”Pengembangan dan pemanfaatan teknologi ini akan ditempuh BPPT dengan menggalang kolaborasi dengan instansi lain, pihak swasta bahkan lembaga internasional,” kata Hammam.–YUNI IKAWATI

Sumber: Kompas, 14 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 14 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB