Mengenang Prof Soetandyo

- Editor

Minggu, 8 September 2013

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Judul obituari Kompas (3/9), ”Pembela Wong Cilik, Soetandyo Berpulang” menggambarkan secara tepat sosok Prof Soetandyo Wignjosoebroto yang wafat Senin (2/9).

Sebagai anggota Komnas HAM (1993-2002), guru besar tamu di beberapa universitas, narasumber sejumlah seminar dan lokakarya, penerima Yap Thiam Hien Award, Pak Tandyo memang berdedikasi, konsisten sebagai tokoh nasional dan guru yang memperjuangkan HAM.

Kami di FISIP Unair menganggap Pak Tandyo tak bisa dipisahkan dari FISIP Unair. Metaforanya: FISIP Unair adalah Pak Tandyo, Pak Tandyo adalah FISIP Unair. Dalam beberapa rapat saya mengatakan Dekan FISIP Unair (sampai saat ini) adalah Pak Tandyo, saya (dan dekan- dekan lain) adalah penggantinya. Kami beruntung karena punya waktu lebih leluasa berinteraksi dan bekerja bersama dengan ”Pembela Wong Cilik” itu.

Bagi kami, Pak Tandyo pribadi menyenangkan. Dengan kami, dan teman-temannya yang lain, Pak Tandyo selalu bisa bercanda. Dari canda itu kami saling mengkritik, mengingatkan, dan belajar. Selama lebih dari tiga dasawarsa bersama Pak Tandyo, kami mengetahui Pak Tandyo tak hanya pembela wong cilik, tetapi juga humoris, rendah-hati, tak protokoler, benar-benar profesor, technology-savvy, lintas-generasi, pro-poor, pejuang pluralisme.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sifat humoris dan low profile bisa dilihat dari contoh berikut. Suatu hari Pak Tandyo menunjukkan puluhan name tag dari berbagai seminar atau kepanitiaan, di dinding kamarnya. Lucunya, tak satu pun name tag itu benar mengeja nama atau gelarnya. Sambil ketawa Pak Tandyo menunjukkan itu sebagai hal yang lucu. Tak perlu dianggap serius. Pak Tandyo hampir tak pernah menuliskan sendiri sebutan Profesor atau Prof di depan namanya. Selalu hanya dua kata: Soetandyo Wignjosoebroto.

Pak Tandyo adalah profesor dalam arti profess sebagai guru besar dalam mendidik murid- muridnya. Pak Tandyo menghargai pendapat orang lain, termasuk kolega dan mahasiswanya. Hubungan dengan mahasiswa dibuat asimetris. Selain mengajar, Pak Tandyo sangat produktif menulis handouts dan buku. Pak Tandyo selalu memberi tahu mahasiswanya kalau tak bisa menepati janjinya karena ada tugas mendadak. Kendati sudah profesor, Pak Tandyo tak segan-segan menyatakan ia mendapat banyak masukan dan perspektif dari orang-orang sekelilingnya.

Pak Tandyo mengakui sendiri kearifan-kearifan justru sering dipelajari dari wacana, diskusi, tukar-menukar pikiran atau bahkan bantah-membantah dengan guru-gurunya, teman-temannya, dan mahasiswa-mahasiswanya. Pak Tandyo paling suka mengutip salah satu frase dari puisi The King and I yang berbunyi: ”… if you become a teacher, by the students you will be taught”.

Dedikasinya dalam mengajar dan mendidik secara konsisten tak terbatasi urusan birokrasi. Pak Tandyo orangnya fungsional, tak suka protokoler dan juga tak biasa jaim. Misalnya, menjelang berusia 65 tahun, kami membujuk Pak Tandyo supaya mengajukan permohonan perpanjangan usia pensiun. Sebagai guru besar, Pak Tandyo berhak dapat perpanjangan itu. Bujukan kami gagal karena Pak Tandyo tak bersedia menulis surat permohonan kepada menteri. Kami pun usul bagaimana kalau kami yang menuliskan, Pak Tandyo tinggal tanda tangan. Pak Tandyo malah tak mengejek kami, sambil berseloroh, ”Yang pensiun hanya pegawai negeri sipilnya bukan? Tugas keilmuan dan mengajar saya tak akan pernah mengenai pensiun.” Akhirnya, kami menyerah dan mengadakan acara bertajuk ”Pak Tandyo Copot Seragam”.

Memihak ke yang lemah
Keilmuan Pak Tandyo diabdikan jelas kepada pemihakan kepada yang miskin dan lemah. Kiprahnya sebagai tokoh nasional pembela wong cilik pernah dinyatakan pada pidato saat ”copot seragam” (pensiun) pada 1997. Ia menegaskan persoalan kearifan bukan persoalan pengetahuan, melainkan juga refleksi pemihakan aksiolofi kita, pemihakan intelektual kita. Kemampuan dan kearifan kita itu termanfaatkan untuk siapa? Katanya, pemihakan itu adalah kepada mereka yang terpuruk di lapis bawah. Untuk memperkuat kemampuan dan mempertajam kearifan itu, kita mesti tak terkotak-kotak dalam disiplin ilmu.

Soal perlunya multi- dan interdisiplin tampak ketika jadi dekan awal 1980-an, Pak Tandyo menempatkan ruang dosen tidak atas dasar keilmuan, tetapi atas sekumpulan disiplin ilmu. Dalam satu ruangan ada sarjana sosiologi, ilmu politik, hubungan internasional, antropologi, komunikasi, psikologi, hukum dan administrasi negara. Perspektif holistik dan pendekatan multidisiplin selalu ditekankan.

Kesadaran inter- dan multidisiplin ilmu itu bisa dipahami karena keilmuan dan karier Pak Tandyo juga tak monodisiplin. Pak Tandyo berlatar belakang ilmu hukum, tetapi sejak 1963 mempelajari administrasi negara saat mendapat beasiswa Fulbright-Hays di University of Michigan. Sepulang dari belajar di AS, Pak Tandyo malah mengembangkan sosiologi hukum yang waktu itu masih dianggap ”ilmu merah” oleh kebanyakan sarjana hukum. Pengalaman dirinya itu memperkuat keyakinannya akan keharusan perspektif holistik dan pendekatan multi- dan interdisiplin untuk menganalisis problem-problem sosial-politik.

Pak Tandyo bisa terbilang technology-savvy. Selalu cepat tanggap dan memanfaatkan setiap kemajuan teknologi. Sejak 1985, Pak Tandyo sudah pakai komputer Textwriter. Penelitian- penelitian yang kami lakukan sudah menggunakan Textwriter dengan floppy disks yang untuk mencetaknya dikoneksikan pada mesin ketik listrik. Ketika muncul komputer pribadi dengan program WS, Pak Tandyo selalu paling awal memiliki. Juga pager, ponsel, notebook, atau laptop.

Di usia 80-an tahun, Pak Tandyo masih aktif dengan Twitter, Facebook, dan blog sehingga punya banyak teman dan penggemar dari media sosial. Petuah dan kritik sosialnya muncul dari tangannya lewat media sosial itu. Dengan media sosial, Pak Tandyo berkomunikasi dan berdialog dengan teman lintas-generasi, selain karena sikap dasarnya yang mau belajar dari siapa saja dan dari mana saja. Teknologi modern itu, katanya, dijadikan line of action atau sarana dan bagian dari proses saling mendidik dan saling belajar terus-menerus.

(I Basis Susilo, Dekan FISIP Universitas Airlangga)

Sumber: Kompas, 4 September 2013

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB