Proyek Jembatan Mahakam II sudah sejak awal diakui sebagai proyek yang sulit.
Hal ini pernah disampaikan oleh Kepala Bidang Rencana dan Evaluasi Badan Pembinaan Konstruksi Dan Investasi (Bapekin) Departemen Kimpraswil, Ir Herry Vaza, M.Eng, Sc., dan Kepala Proyek Pembangunan Jembatan Mahakam II PT Hutama Karya, Ir Idwan Suhendra, pada Koferensi Regional Teknik Jalan VI di Denpasar Bali 18-19 Juli 2002.
Mereka mengatakan, pembangunan Jembatan Mahakam II adalah proyek berisiko dan berteknologi tinggi. Faktor ketidakpastian atas keberhasilan pelaksanaan proyek termasuk tinggi karena tingkat pengetahuan dan pengalaman atas konstruksi dan metode pelaksanaan yang rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jembatan Mahakam II bukanlah jembatan gantung pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah dibangun jembatan gantung Mamberamo di Papua sepanjang 235 meter dan Jembatan Barito sepanjang 230 meter.
Walaupun ketiganya merupakan jembatan gantung jenis suspension, tapi secara teknis ketiga jembatan tersebut mempunyai karakteristik struktur yang berbeda dan metoda pelaksanaan yang berbeda pula.
Perbedaan yang paling utama pada proses pembangunan Jembatan Mahakam II dibandingkan dengan pembangunan jembatan gantung lainnya. Jembatan Mahakam II mengandalkan peralatan standar yang umumnya tersedia di Indonesia.
Antara lain winch untuk mengangkat rangka jembatan dan penggunaan peluncur untuk pemasangan clamp yang biasanya menggunakan peralatan heavy duty lifting jack yang dikombinasikan dengan penggunaan ponton dan crawler crane.
Kabel menggunakan tendon yang pada masing-masing sisi jembatan terdiri dari 19 buah Galvanized Spiral Wire Strand berdiameter 57,9 0,1mm, dengan panjang 526 meter dan berat 10 ton per buah.
Dimensi kabel ditentukan demikian untuk memudahkan dalam pemasangannya, mengingat peralatan dengan kapasitas sebesar tersebut masih dapat ditemukan di Indonesia.
Klem dan Sadel menggunakan baja tuang yang diproduksi secara lokal. Untuk meminimalkan biaya, Tower yang terbuat dari struktur Baja dengan berat 146 ton per buah, difabrikasi dalam kondisi terurai, yaitu terdiri dalam 8 segmen. Hal ini dilakukan agar pemasangan tower dapat dilakukan tanpa harus menggunakan alat angkat berkapasitas besar.
Profesor Jamaludin, ahli fisika dan matematika dan Universitas Mulawarman, dulu sewaktu jembatan ini baru diresmikan, pernah memaparkan analisanya. Ia katakan, konstruksi jembatan ini tidak memperhatikan teori dasar perubahan frekwensi angin.
“Angin dapat berubah-ubah, dari frekwensi rendah ke tinggi. Konstruksi jembatan tidak memperhatian itu. Pertama kali dioperasikan saja sudah retak-retak. Tampaknya tidak bisa sampai sepuluh tahun umurnya,” ujar Jamaludin ketika itu.
Mirip Tacoma
Insiden ini mengulang insiden rubuhnya Jembatan Tacoma di Amerika Serikat pada tahun 1940 silam. Namun, penyebab rubuhnya Tacoma akibat beban angin yang terjadi pada konstruksi jembatan gantung tersebut.
Sedangkan penyebab rubuhnya Jembatang Kukar belum dapat diketahui pasti penyebabnya. Demikian dijelaskan Sekretaris Lembaga Penelitian Untag 1945 Samarinda, Dr Hendrik Sulistio kepada Koran Kaltim malam tadi.
“Kejadian rubuhnya Jembatan Gerbang Dayaku di Kukar ini persis dengan situasi yang menimpa Jembatan Tacoma Amerika yang disebabkan angin. Tapi untuk Jembatan Kukar ini tidak ada angin, apalagi gempa. Jadi banyak faktor penyebabnya,” jelas Hendrik juga mengajar di Fakultas Teknik Sipil Untag 1945 Samarinda dan Surabaya ini.
Bahkan, menurut sepengetahuannya. Jembatan Kukar ini sedang dalam proses rehabilitasi (perbaikan) dan sementara ditutup sebagian. Selain warga yang melintas menjadi korban, pekerja konstruksi di jembatan juga ikut menjadi korban dalam insiden tersebut.
“Kalau memang mau diketahui secara rinci soal penyebabnya, harus segera dibentuk tim agar penyelidikan yang dihasilkan benar-benar valid. Upaya itu lebih bijak, karena penyebabnya tak bisa dilakukan hanya dengan analisa dan pengamatan saja,” terang Hendrik juga selaku konsultan teknik ini.
Menurutnya, jembatan gantung di Kukar yang menggunakan kabel stayed itu terjadi pada bagian tengah jembatan. Kemudian disusul pada rubuhnya sisi kiri dan kanan di konstruksi jembatan yang ikut meleleh dan rubuh.
“Kondisi ini yang terjadi di Tacoma Bridge Amerika, bagian tengah jembatan ambruk dan di pinggir meleleh. Jadi runtuhan konstruksi beton di jembatan diawali pada bagian tengah. Kerugian ditaksir ratusan miliar rupiah diperparah ada korban meninggal dunia,” terangnya.
Terkait usia 10 tahun konstruksi Jembatan Kukar ditinjau dari kualitas konstruksi pilar, beton dan anker jembatan yang sebelumnya retak. Kondisi itu tak mungkin membuat jembatan ambruk dan terputus. Apalagi tak ada gempa yang menjadi penyebab rubuhnya jembatan ini.
“Penggantung vertikal jembatan sudah habis, kemudian bagian citylon juga mengalami pergeseran 20 cm dan mengancam akan rubuh dalam beberapa waktu kemudian. Sebab kondisinya sudah miring, sebaiknya dirubuhkan sekaligus agar tak membahayakan warga di sekitar yang menonton,” ungkapnya.
Adapun jika akan dilakukan pembangunan jembatan baru di kawasan tersebut, kondisi bangunan lama di jembatan yang rubuh harus dalam posisi nol (dari awal) pembangunan.
“Karena teknologi jembatan gantung, maka harus nol dulu. Sebab tidak bisa menggunakan sisa kontruksi jembatan yang rubuh,” tambahnya.
Untuk mengantisipasi kemacetan lalu lintas, pemerintah sebaiknya menyediakan kapal penyeberangan bagi warga sekitar. Sehingga warga tidak perlu menggunakan ruas jalan Loa Janan untuk menuju Tenggarong Kota.
Tacoma Narrows Bridge adalah jembatan dengan konstruksi yang sama dengan Jembatan Mahakam II, yakni dengan model cable stayed. Diresmikan pada 1 Juli 1940, jembatan ini terletak di Washington, menghubungkan Tacoma dan Peninsula. Jembatan ini membentang 1,6 km.
Empat bulan diresmikan, jembatan ini ambruk karena goncangan angin. Konstruksi dari jembatan tersebut tidak mampu meredam getaran akibat peristiwa resonansi yang terjadi antara jembatan dan angin di sekitar jembatan.
Sebelum terjadi peristiwa resonansi, mula-mula angin mempunyai kecepatan 32 mil/jam dengan amplitudo 1,5 kaki. Gerakan ini berlangsung selama 3 jam. Angin kemudian meningkat menjadi 42 mil per jam. Selain itu, kabel dukungan di tengah bentang membentak, sehingga kondisi pembebanan tak seimbang. Tak lama jembatan ini ambrol. (mor)
Oleh: Koran Kaltim
Sindikasi – Ahad, 27 November 2011 | 08:15 WIB
————–
Proyek Jembatan Kukar Beresiko Sejak Awal
Sejatinya, proyek jembatan Kukar (Mahakam II) yang ambruk Sabtu (26/11/2011) sudah sejak awal diakui sebagai proyek yang sulit. Hal itu pernah disampaikan oleh Kepala Bidang Rencana dan Evaluasi Badan Pembinaan Konstruksi Dan Investasi (Bapekin) Departemen Kimpraswil, Ir Herry Vaza, M.Eng, Sc., dan Kepala Proyek Pembangunan Jembatan Mahakam II PT Hutama Karya, Ir Idwan Suhendra, pada Koferensi Regional Teknik Jalan VI di Denpasar Bali 18-19 Juli 2002.
Mereka mengatakan, pembangunan Jembatan Mahakam II adalah proyek berisiko dan berteknologi tinggi. Faktor ketidakpastian atas keberhasilan pelaksanaan proyek termasuk tinggi karena tingkat pengetahuan dan pengalaman atas konstruksi dan metode pelaksanaan yang rendah.
Jembatan Mahakam II bukanlah jembatan gantung pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah dibangun jembatan gantung Mamberamo di Papua sepanjang 235 meter dan Jembatan Barito sepanjang 230 meter.
Walaupun ketiganya merupakan jembatan gantung jenis suspension, tapi secara teknis ketiga jembatan tersebut mempunyai karakteristik struktur yang berbeda dan metoda pelaksanaan yang berbeda pula. Perbedaan yang paling utama pada proses pembangunan Jembatan Mahakam II dibandingkan dengan pembangunan jembatan gantung lainnya.
Jembatan Mahakam II mengandalkan peralatan standar yang umumnya tersedia di Indonesia. Antara lain winch untuk mengangkat rangka jembatan dan penggunaan peluncur untuk pemasangan clamp yang biasanya menggunakan peralatan heavy duty lifting jack yang dikombinasikan dengan penggunaan ponton dan crawler crane.
Kabel menggunakan tendon yang pada masing-masing sisi jembatan terdiri dari 19 buah Galvanized Spiral Wire Strand berdiameter 57,9 0,1mm, dengan panjang 526 meter dan berat 10 ton per buah. Dimensi kabel ditentukan demikian untuk memudahkan dalam pemasangannya, mengingat peralatan dengan kapasitas sebesar tersebut masih dapat ditemukan di Indonesia. Klem dan Sadel menggunakan baja tuang yang diproduksi secara lokal.
Untuk meminimalkan biaya, Tower yang terbuat dari struktur Baja dengan berat 146 ton per buah, difabrikasi dalam kondisi terurai, yaitu terdiri dalam 8 segmen. Hal ini dilakukan agar pemasangan tower dapat dilakukan tanpa harus menggunakan alat angkat berkapasitas besar.
Sewaktu jembatan ini baru diresmikan, Profesor Jamaludin, ahli fisika dan matematika dan Universitas Mulawarman, pernah memaparkan analisanya. Menurutnya konstruksi jembatan ini tidak memperhatikan teori dasar perubahan frekwensi angin. “Angin dapat berubah-ubah, dari frekwensi rendah ke tinggi. Konstruksi jembatan tidak memperhatian itu. Pertama kali dioperasikan saja sudah retak-retak. Tampaknya tidak bisa sampai sepuluh tahun umurnya,” ujar Jamaludin ketika itu.
“Penyebab rubuhnya Jembatang Kukar belum dapat diketahui pasti penyebabnya,” kata Sekretaris Lembaga Penelitian Untag 1945 Samarinda, Dr Hendrik Sulistio kepada Koran Kaltim malam tadi.
“Kejadian rubuhnya Jembatan Gerbang Dayaku di Kukar ini persis dengan situasi yang menimpa Jembatan Tacoma Amerika yang disebabkan angin. Tapi untuk Jembatan Kukar ini tidak ada angin, apalagi gempa. Jadi banyak faktor penyebabnya,” jelas Hendrik yang juga mengajar di Fakultas Teknik Sipil Untag 1945 Samarinda dan Surabaya ini.
jika ingin diketahui secara rinci soal penyebabnya, kata hendrik, harus segera dibentuk tim agar penyelidikan yang dihasilkan benar-benar valid. “Upaya itu lebih bijak, karena penyebabnya tak bisa dilakukan hanya dengan analisa dan pengamatan saja,” tutur Hendrik juga selaku konsultan teknik ini.
Menurutnya, jembatan gantung di Kukar yang menggunakan kabel stayed itu terjadi pada bagian tengah jembatan. Kemudian disusul pada rubuhnya sisi kiri dan kanan di konstruksi jembatan yang ikut meleleh dan rubuh.
Terkait usia 10 tahun konstruksi Jembatan Kukar ditinjau dari kualitas konstruksi pilar, beton dan anker jembatan yang sebelumnya retak. Kondisi itu tak mungkin membuat jembatan ambruk dan terputus. Apalagi tak ada gempa yang menjadi penyebab rubuhnya jembatan ini.
“Penggantung vertikal jembatan sudah habis, kemudian bagian citylon juga mengalami pergeseran 20 cm dan mengancam akan rubuh dalam beberapa waktu kemudian. Sebab kondisinya sudah miring, sebaiknya dirubuhkan sekaligus agar tak membahayakan warga di sekitar yang menonton,” ungkapnya.
Adapun jika akan dilakukan pembangunan jembatan baru di kawasan tersebut, kondisi bangunan lama di jembatan yang rubuh harus dalam posisi nol (dari awal) pembangunan. “Karena teknologi jembatan gantung, maka harus nol dulu. Sebab tidak bisa menggunakan sisa kontruksi jembatan yang rubuh,” ujar hendrik. (HP)
Sumber: Gatra, Senin, 28 November 2011 07:09