Plastik bermasalah bukan karena keberadaannya, melainkan pengelolaan sampahnya belum baik. Seorang anak muda mencoba memutus rantai sampah plastik agar tidak terbuang dan menimbulkan masalah. Dia membuat mesin yang bisa mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar.
Dimas Bagus Wijanarko (41) gelisah saat melihat banyak sampah plastik yang ditinggalkan pendaki tak bertanggung jawab di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Dalam sebuah perbincangan santai dengan sahabatnya, pada medio 2014, kegelisahannya itu sedikit menemui titik terang.
KOMPAS/SUCIPTO–Dimas Bagus Wijanarko (41) berpose dengan mesin pengolah sampah plastik menjadi solar di Jakarta, Rabu (3/4/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jalaludin Rumi, sahabat Dimas, kala itu memberi referensi jurnal dan bahan bacaan terkait pengolahan sampah plastik. Setelah membaca banyak referensi, Dimas akhirnya mengerti plastik diproduksi dari bahan kimia primer yang umumnya berasal dari minyak, gas alam, atau batubara.
Dengan berbagai referensi tersebut, pria lulusan STM Kristen Petra Surabaya itu mulai membuat mesin sederhana pada tahun 2015. Saat itu, mesin yang ia buat masih sangat panjang dan butuh tempat yang cukup luas.
”Saya berbekal pengetahuan awal saja. Saat itu, tujuan awalnya, yang penting bagaimana plastik itu bisa jadi minyak,” kata Dimas saat ditemui di Pengadegan Timur, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (3/4/2019).
Alat itu terbuat dari rangkaian tabung pemanas, aluminium, dan pipa. Berbagai macam sampah plastik bisa diolah menjadi bahan bakar, seperti kantong plastik, botol plastik, gelas plastik, dan kemasan makanan ringan.
Sampah plastik dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Plastik itu dipanaskan antara 200-250 derajat celsius di dalam tabung reaksi. Plastik yang dimasukkan akan meleleh dan menjadi cair. Di dalam tabung, lelehan plastik menciptakan gelembung-gelembung dan akhirnya menguap. Uap itu yang kemudian mengalir ke rangkaian pipa dan berubah jadi cair menjadi bahan bakar minyak.
KOMPAS/SUCIPTO–Dimas Bagus Wijanarko (41) menunjukkan solar hasil olahan dari limbah plastik di Jakarta, Rabu (3/4/2019).
Sebanyak 1 kilogram sampah plastik bisa menghasilkan 1 liter bahan bakar. Sekitar 5-10 menit, bahan bakar sudah keluar. Kurang dari satu jam, 1 liter bahan bakar sudah bisa digunakan.
Saat ini, alat itu sudah delapan kali dimutakhirkan. Bahan bakar minyak yang dihasilkan dari proses itu adalah solar. Dimas sudah menguji solar itu ke laboratorium Sucofindo pada 2017. Hasilnya, solar yang diproduksi memenuhi standar Euro 4, dengan kadar sulfur di bawah 50 ppm. Itu sudah memenuhi standar emisi gas buang bagi kendaraan bermotor ramah lingkungan di Indonesia.
Kampanye
Tahun 2016, Dimas membentuk organisasi tarik plastik Get Plastic bersama tujuh orang kawannya. Tahun 2018, organisasi itu resmi berbadan hukum. Setelah itu, Dimas, atas nama Get Plastic, memutuskan untuk berkampanye dengan keliling ke 15 kota.
Ia berkendara dengan Vespa yang berbahan bakar solar hasil olahan dari sampah plastik. Ia membawa serta mesin pengolah sampah plastik yang diberi nama get plastic machine (GPM). Ia menempuh jarak sekitar 1.200 kilometer. Atas perjalanan itu, organisasi Get Plastic mendapat penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) atas rekor perjalanan terjauh menggunakan bahan bakar dari plastik.
Di tempat-tempat yang dikunjungi, Dimas mengampanyekan untuk bijak mengolah sampah plastik. Selain itu, ia juga membuat lokakarya mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar dengan GPM yang ia bawa.
Empat tempat yang telah dikunjungi sudah menggunakan mesin pengolah sampah plastik itu. Masyarakat di desa menggunakannya untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Desa yang sudah menggunakan alat itu antara lain di Bandung, Blitar, Banyuwangi, dan Bali.
”Yang menggunakan itu komunitas-komunitas di desa. Sampah plastik dikumpulkan kemudian diolah menjadi solar. Warga yang menyetor sampah plastik bisa lebih murah membeli solarnya. Harapannya, rantai sampah plastik dipotong sehingga bisa digunakan masyarakat,” kata Dimas.
KOMPAS/SUCIPTO–Mesin pengolah limbah plastik menjadi solar diperagakan saat organisasi Get Plastic melakukan pemberdayaan di SDN 02 Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi, Selasa (2/10/2018).
Plastik yang diolah menjadi solar itu menyisakan residu berupa karbon hitam. Bahan itu bisa digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah. Setiap 1 kilogram sampah plastik bisa menghasilkan 1 liter solar. Hasil pengolahan itu menyisakan sekitar 5 persen residu.
Residu itu berbentuk bubuk hitam. Pemanfaatan residu untuk penyubur tanah menjadi solusi bahwa sampah plastik bisa diolah oleh masyarakat sendiri. Olahan sampah plastik bisa digunakan sebagai bahan bakar, residunya bisa digunakan untuk bercocok tanam.
”Kalau setiap desa bisa mengolah sampah plastik masing-masing, persoalan sampah plastik bisa berkurang karena masyarakat bisa mandiri mengelola sampahnya masing-masing,” kata Dimas.
KOMPAS/SUCIPTO–Residu hasil pengolahan limbah plastik berupa black carbon.
Sesuai data KLHK, dari total timbunan sampah, hanya 63 persen yang masuk ke TPA dan hanya sekitar 10 persen yang didaur ulang. Sisanya, terbuang ke alam termasuk ke laut. Dalam catatan Kementerian Koordinator Kemaritiman, penambahan sampah mencapai 38 juta ton per tahun, dan terdapat 1,29 juta ton sampah plastik yang terbuang ke laut (Kompas, 21/2/2019).
Bijak dalam mengelola sampah diperlukan sebab berbagai jenis sampah baru bisa terurai ke tanah selama ratusan tahun. Botol plastik baru bisa terurai sekitar 450 tahun. Kantong plastik baru bisa terurai antara 10 sampai 20 tahun. Kaleng aluminium baru bisa terurai hingga 200 tahun.–SUCIPTO
Editor ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas, 3 April 2019