Problem belajar bukanlah problem skolastik dan tidak terbatas pada ruang lingkup kehidupan sekolah, kata Dra Yaumil Agoes Achir, psikolog. Banyak faktor yang dapat mengganggu kelancaran studi seorang anak. Dengan lebih dulu mengesampingkan faktor kecerdasan, dia menganalisa kenyataan anak berkecerdasan normal tetapi tidak berprestasi.
Mengacu kepada pendapat Kessler (1966), penyebab problem belajar dibedakan atas aspek luar dan aspek dalam. Dari segi aspek dalam diri anak, mengutip Martens (1944), ternyata ditemukan lebih kurang tiga persen anak berkesulitan belajar karena kelainan emosional. Rogers Lelienfeld dan Pasamanick (1954) di Amerika Serikat melaporkan kesulitan murid SD disebabkan menonjolnya sikap menantang-memberontak, hasil belajar tak memuaskan, hiperaktif-tak bisa konsentrasi, suka berkata kasar.
Tetapi, penyebab terpenting justru terletak pada ketakutan anak menghadapi kegagalan, sebagai akibat dari dominannya rasa cemas takut ragu-ragu, terancam tertekan dan anggapan bahwa dirinya kurang mampu berkonsentrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi mengenai anak-anak berprestas kurang di sekolah, melaporkan, kebanyakan penyebabnya adalah terganggunya dorongan meraih sukses. Penyebabnya, anak lebih berkonsentrasi pada menghindarkan diri dari kegagalan.
Aspek luar
Kesulitan belajar karena penyebab luar, menurut keterangan Jaumil Agoes Achir, disebabkan kurangnya perhatian keluarga (orangtua), sekolah (guru), teman sebaya (teman dekat).
Mengutip hasil temuan Prof Dr Titi Sayono (1986), dikemukakan bahwa 60 persen anak dengan kesulitan belajar berasal dari lingkungan sosial ekonomi rendah. Prestasi anak di sekolah rendah bukan karena bodoh, tetapi karena kurang dapat stimulasi rangsangan mental di rumah. Di sekolah mereka mengantuk, konsentrasi lemah karena kurang gizi.
Anak-anak terganggu per kembangan kemandiriannya karena orangtua terlalu melindungi. Anak hidup dengan santai dan kurang menghadapi tantangan. Ada kesulitan sedikit saja, mereka cepat putus asa. Rasa tanggung jawabnya tidak jelas .
Bila orangtua tak memenuhi kebutuhan afektifnya, besar kemungkinan anak menjadi anak bermasalah. Ternyata banyak orangtua tidak memahami kebutuhan khas anaknya, sebagai keunikan yang khas.
Bantuan
Untuk mengatasi persoalan kesulitan belajar, diajukan sejumlah faktor nonkognitif yang bisa dikembangkan agar anak senang belajar. Salah satunya, mengembangkan motivasi kepercayaan diri mampu berprestasi.
Dua strategi, panjang dan pendek perlu diterapkan agar anak bermotivasi berprestasi. Strategi jangka panjang mengembangkan berbagai sikap yang mendukung strateg jangka pendek: mendorong terbinanya konsep diri yang sehat dan realistis.
Sebagai pemberian bantuan, diajukan langkah yang berkisah pada mengenai kebutuhan dan perilaku anak, berdialog dengan anak dan menunjukkan sikap menerima yang tulus. Bila sudah tercipta rasa percaya diri, berupa pengenalan diri akan kemampuan dan kekurangannya, dilakukan strategi jangka pendek. Yaitu memperbaiki teknik belajar dan menambah keterampilan persepsi.
Dalam kesempatan berceramah itu, Jaumil Agoes Achir menyimpulkan, membantu anak belajar di rumah merupakan tugas dan tanggungjawab utama orangtua. Tindakan mencegah jauh lebih mudah daripada mengatasi kesulitan. Karena itu, menciptakan sikap belajar yang efektif dilandasi rasa percaya diri yang mantap, dianjurkan ditanamkan sejak anak itu masuk SD. ***
Sumber: Kompas tanpa tanggal tahun 1989