Selama ratusan tahun, Gunung Sinabung terlelap. Ketenangan dan kesuburan tanahnya menarik warga untuk tinggal hingga mendekati puncaknya. Lalu, ketika Sinabung bangun dan menunjukkan area kekuasaannya, kita yang mesti mengalah dan menyesuaikan diri dengannya.
Sebelum letusan pembuka bersifat freatik, 27 Agustus 2010, Sinabung dikelompokkan sebagai gunung api tipe B. Hingga saat itu, tidak ada alat pemantau aktivitas gunung, tenaga pengamat, atau pos pemantauan, yang dibangun di lokasi itu. Sebagai gunung bertipe B, Sinabung bukanlah prioritas.
Penggolongan tipe gunung api jadi A, B, dan C di Indonesia memang bermasalah. Sebab, hal itu didasarkan ada-tidaknya catatan yang pernah dibuat, tepatnya oleh Belanda yang datang ke Nusantara awal abad ke-17.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyusunan katalog gunung api di Indonesia mulai dilakukan sistematis oleh geolog Belanda, Neuman van Padang, pada 1951, lalu disempurnakan Kusumadinata pada 1979 dengan mengelompokkan gunung api dalam tiga kategori itu. Gunung api tipe A ialah yang pernah meletus sejak 1600, sedangkan tipe B dan C tak punya rekaman letusan setelah 1600.
Total ada 127 gunung api di Indonesia yang dibagi dalam tiga kategori ini. Namun, angka sesungguhnya bisa lebih banyak karena ada ladang solfatara (kawasan dengan banyak semburan belerang menandakan aktivitas vulkanis) yang tak dimasukkan.
Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, kategorisasi gunung api Indonesia menurut tipe A, B, atau C karena keterbatasan anggaran. Keterbatasan dana, infrastruktur, dan tenaga membuat hanya gunung api tipe A yang dipantau ketat. Sementara sisanya menjadi obyek penyelidikan. “Di negara lain seperti Jepang tak ada pembagian berdasarkan tipe itu, semuanya dipantau,” ujarnya.
Sinabung tak tercatat meletus setelah 1600 sehingga dikelompokkan dalam gunung tipe B. Catatan itu sebenarnya bukan patokan aktif atau tidaknya gunung api mengingat periode letusan gunung api bisa mencapai ribuan tahun.
Kepala Subbidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Hendra Gunawan mengatakan, letusan besar Gunung Sinabung sebelum 2010 kemungkinan terjadi sekitar 1.200 tahun lalu. Itu berdasarkan hasil penanggalan karbon pada pohon yang jadi arang, bekas terlanda awan panas di masa lalu, yang dijumpai di lereng Sinabung. “Jejak awan panas dari letusan 1.200 tahun lalu itu jangkauannya maksimal 5 kilometer dari puncak,” kata Hendra.
Apakah letusan Sinabung ke depan akan ikuti pola sama dengan jangkauan awan panas tak lebih dari 5 kilometer?
Memahami Sinabung
Menurut Hendra, lembaganya terus mempelajari karakter Gunung Sinabung. Minimnya data letusan Gunung Sinabung membuat mereka harus bekerja keras memantau tiap detik aktivitas gunung tersebut.
Perlahan karakter erupsi Gunung Sinabung mulai terpetakan. Gunung itu diangap punya ciri-ciri erupsi Gunung Merapi sebelum 2010, yaitu terbentuknya kubah lava, diikuti guguran yang menyebabkan terbentuknya luncuran awan panas. Tipe letusan itu dikenal dalam dunia vulkanologi sebagai tipe-Merapi.
“Sejak erupsi 2010 hingga kini, baru sekali terjadi letusan eksplosif Sinabung, yaitu pada Juni 2014. Jangkauan awan panasnya terjauh sekitar 4,5 kilometer,” kata Hendra. Dengan mempertimbangkan kemungkinan terburuk, PVMBG merekomendasikan zona aman di Sinabung sejauh 7 kilometer dari puncak arah selatan tenggara.
Namun, seperti Gunung Merapi yang letusannya pada 2010 menyimpang dari karakter sebelumnya, Sinabung pun bisa berubah. “Kemungkinan itu bisa saja, maka kami memantau Sinabung. Saat ini, Sinabung punya sistem pemantauan terlengkap yang kami punya,” kata Hendra.
Sejak gempa dan tsunami Aceh 2004, sejumlah gunung api di Indonesia menunjukkan perbedaan perilaku dibandingkan sebelumnya. Letusan Merapi pada 2010 adalah salah satunya. Saat itu Merapi meletus eksplosif dengan melontarkan sekaligus kubah lava mencapai 3,5 juta meter kubik.
Perubahan karakter juga ditunjukkan Gunung Kelud di Jawa Timur, yang tiba-tiba kehilangan danau kawah dan digantikan kubah lava dengan volume hingga 7,5 juta meter kubik.
Energi gunung api di Jawa dan Sumatera sumbernya sama, yakni dari pergerakan lempeng Australia yang terus menumbuk lempeng Eurasia dengan kecepatan sekitar 7 sentimeter per tahun. “Bedanya, energi di Sumatera lebih banyak dirilis dalam bentuk gempa dan di Jawa lebih banyak berbentuk letusan gunung api. Seusai letusan supervolcano Toba ratusan ribu tahun lalu, letusan gunung di Sumatera lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa,” kata Surono.
Momentum perubahan
Meski kini kubah lava yang ada di puncak Sinabung nyaris setara dengan yang ada di Merapi pada 2010, yakni sekitar 3,5 juta meter kubik, kemungkinan akan terlontar sekaligus dalam satu letusan besar amat kecil. Energi kegempaan Sinabung jauh lebih kecil daripada Merapi. Lagi pula, energi Sinabung banyak dilepaskan dalam sejumlah guguran. “Dalam enam jam ada 30 guguran lava. Itu mengurangi kemungkinan terjadi letusan eksplosif,” kata Surono.
Letusan Sinabung sulit dipastikan kapan akan berakhir. Namun, letusannya kemungkinan tak akan sebesar gunung api di Jawa, seperti Merapi dan Kelud. “Masalah di Sinabung lebih karena lokasi permukiman terlalu dekat puncak gunung,” ujarnya.
Jangka waktu letusan Sinabung amat lama sehingga warga kian mendekat ke puncak, tanpa menyadari sewaktu-waktu gunung itu bisa bangkit lagi dari tidur. Sebelum letusan pada 2010, ada tiga desa berjarak sekitar 3 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Tiga desa itu ialah Bekerah, Simacem, dan Sukameriah, yang diterjang awan panas saat erupsi, 15 September 2013. Beruntung, jauh hari sebelumnya, 1.212 jiwa warga di tiga desa itu diungsikan, dan kini dalam proses relokasi.
Bagi Surono, serangkaian letusan Sinabung mesti jadi momentum untuk mengubah tata ruang di Kabupaten Karo, disesuaikan dengan karakter Gunung Sinabung. Gunung itu menunjukkan batas wilayah yang boleh dan tak bisa dihuni.
“Letusan Sinabung tak eksplosif sehingga memberi waktu mengungsi. Semoga warga tak kembali bermukim di zona bahaya setelah aktivitas gunung ini mereda,” kata Surono. Selain itu, ia khawatir dengan Gunung Guntur, Jawa Barat, karena banyak hunian dan area wisata di zona bahaya gunung itu. Tata ruang yang memperhitungkan risiko bahaya gunung api seharusnya tak bisa ditawar lagi.—AHMAD ARIF
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Mengalah pada Sinabung”.