Banyak pihak mengharapkan Mendikbud Nadiem Makarim menjadi darah segar praksis pendidikan di Indonesia. Namun Nadiem akan menghadapi budaya birokrasi dan birokrat yang bertahun-tahun merasa mapan dengan kedudukannya.
Terpilihnya Nadiem Makarim (35) sebagai Mendikbud ada dua terobosan besar. Pertama, dikembalikannya pengelolaan pendidikan tinggi di bawah Depdikbud. Kedua, ditempatkannya seorang Nadiem Makarim, tokoh muda yang berlatar belakang enterpreuner dan bukan orang yang berkutat dengan disiplin ilmu-ilmu kependidikan.
Wajar kalau banyak pihak mengharapkannya sebagai darah segar praksis pendidikan di Indonesia. Meskipun kegiatan pembinaan dan pengembangan manusia tidak pernah lekang dari kritik dan kecaman. Nadiem Makarim sudah menyampaikan empat program prioritas dalam Rapat Kordinasi di Kantor PMK, tanggal 31 Oktober yang lalu. Sebagai program ibarat guideline rencana kerja, membutuhkan pedoman teknis, terjemahan dan turunan dalam praktik di lapangan, pun diterjemahkan dalam kurikulum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Program pertama dan kedua tentang rencana penyisiran anggaran dan aktivitas, apakah badan-badan internal maupun eksternal, mendukung atau tidaknya program pembelajaran. Program pertama kurang lebihnya berarti perampingan sekaligus juga efektivitas dan efisiensi badan-badan internal dan ekternal.
Program ini bermanfaat bagi efektivitas anggaran di satu pihak, tetapi bisa berdampak penghapusan sejumlah badan sebagai tantangan yang harus dihadapi. Dampak berikutnya adalah pengurangan tenaga yang selama ini, utamanya berstatus PNS, yang dampak potensial bisa heboh. Kerja keras menteri terkait program penyisiran anggaran dan badan-badan yang ada, dihadapkan pada resistensi, badan—badan, di antaranya dari mereka yang merasa berjasa memberikan kontribusi bagi kebijakan praksis pendidikan selama ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Presiden Joko Widodo memyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2020 kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Program ketiga, menggerakkan revolusi mental sesuai arahan Presiden dan Menko melalui konten-konten bukan hanya dalam sistem pendidikan tetapi juga dalam masyarakat luas. Jadi pengembangan karakter bukan hanya dari kurikulum, bukan juga hanya pembelajaran dari guru tetapi masyarakat luas.
Program ini bermakna sekolah sebagai pendidik masyarakat. Batas ruang kelas tidak hanya empat tembok, tidak juga area sekolah, tetapi masyarakat luas. Kalau program itu ditafsirkan dan diterjemahkan demikian, tingkat pendidikan dasar dan menengah , merupakan tantangan berat bagi sekolah dan guru serta pada gilirannya pada Mendikbud.
Jadi pengembangan karakter bukan hanya dari kurikulum, bukan juga hanya pembelajaran dari guru tetapi masyarakat luas.
Dalam praksis sehari-hari, guru sudah bergelut dengan penyampaian bahan pengajaran—belum lagi titipan pendidikan karakter–mereka pun menjadi pendidik masyarakat. Kalau tidak diikuti penataan kelembagaan—terlepas dari kapasitas dan faktor waktu–program itu hanya akan terhenti di atas kertas. Terutama yang tidak pernah tuntas soal pendidikan karakter. Di satu pihak karakter dikaitkan dengan agama, di lain pihak seperti di dunia Barat tidak terlalu dikaitkan dengan agama.
Program keempat, dalam hal pengembangan teknologi banyak hal yang harus difokuskan. Ada pendapat salah, teknologi di bidang pendidikan akan menggantikan guru, menggantikan ruang kelas. Teknologi seharusnya dipahami dan dikembangkan membantu guru melaksanakan tugasnya dengan lebih profesional. Teknologi untuk meningkatkan kepasitas pembelajaran bukan menggantikan.
KOMPAS/ DAHLIA IRAWATI–Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Kamis (07/11/2019), mengunjungi keluarga Irza almira (8), siswi meninggal dunia akibat tertimpa material atap yang rubuh di SDN Gentong, Kota Pasuruan, Jawa Timur pada Selasa (05/11/2019).
Program inilah yang rupanya menjadi tantangan dan pesan Presiden kepada Mendikbud Nadiem Makarim: bagaimana anak-anak muda masa kini diajak akrab dengan teknologi menghadapi masa depan dengan nama mentereng zaman z, zaman now dan serba digital.
Tantangan konkret
Sdr. Komaruddin Hidayat lewat artikelnya di Kompas, 2 November 2019 mengingatkan adanya hal-hal yang tetap dalam pendidikan. Artikel berikut ini selain mengamini dan menggarisbawahi apa yang disampaikan, bermaksud menyampaikan tantangan-tantangan bahkan mungkin tentangan dan kritik yang terjadi dalam penerjemahan empat program Nadiem Makarim di lapangan.
Tentang kemampuan akademik di bidang pedagogi, tetapi lewat rentangan proses yang dijalani sebelumnya, Nadiem Makarim tidak meragukan. Adaptasi untuk praksis di Indonesia dengan cepat akan bisa dia lakukan. Bahkan, kelebihan seperti pada akademisi brilian dan praktisi yang lain, Nadiem niscaya mampu membawanya ke suatu terobosan besar. Dari sisi itu, tanggung jawab, pilihan dan jabatan Mendikbud yang dipercayakan menjadi modal dan jaminan utama.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–PGRI memperjuangkan pengangkatan guru honorer menkadi guru ASN. Komitmen ini disampaikan Ketua Umum Pengurus besar PGRI Unifah Rosyidi (kanan).
Ada masalah yang akan segera menghadang. Nadiem menghadapi budaya birokrasi dan birokrat yang bertahun-tahun merasa mapan dengan kedudukannya. Alih-alih disebut mereka sudah usang (obsolete), tetapi mereka nyaman dengan kondisi praksis pendidikan yang sedang berjalan. Mengajak birokrasi dan birokrat di lingkungan Depdikbud dari kondisi smart zone ke kondisi risk zone, merupakan tantangan pertama yang dihadapi Nadiem.
Ada masalah yang akan segera menghadang. Nadiem menghadapi budaya birokrasi dan birokrat yang bertahun-tahun merasa mapan dengan kedudukannya.
Tantangan ini tidak hanya terkait dengan program pertama dan kedua, soal penyisiran anggaran dan struktur kelembagaan, tetapi juga titipan lembaga pendidikan tidak hanya lembaga pembelajaran di ruang kelas/kuliah tetapi juga di dalam masyarakat.
Ideal memang kalau pendidikan karakter bisa bertemu dengan praktik sehari-hari dalam masyarakat. Praktiknya sering terjadi perbenturan antara sekolah dan masyarakat. Anak didik bingung, mana yang benar, yang diajarkan di sekolah atau yang diajarkan orangtua/di rumah, sebab yang disampaikan di sekolah sering berbeda dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Paramadina University, Haidar Bagir (kiri) bersama Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto (tengah) saat menjadi narasumber dalam acara seminar pendidikan bertema “Pendidikan dalam Kehidupan Termesinkan” di Jakarta, Jumat (15/11/2019). Seminar yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas dan Penerbit Noura itu dimoderatori oleh wartawan senior yang juga Kepala Desk Humaniora Harian Kompas, Yovita Arika.
Kalau mengacu program ketiga itu diberlakukan secara kaku, niscaya sulit diwujudkan. Banyak pekerjaan rumit menghadang. Peranan guru sudah lama diakui tidak lagi sebagai sumber satu-satunya ilmu pengetahuan, dalam banyak hal berkat bantuan teknologi informasi, anak didik sering lebih dulu tahu dari gurunya. Dalam kondisi demikian mengharapkan guru juga berperan dalam pembelajaran ke masyarakat luas sangat besar tantangannya.
Mengembangkan kemampuan guru, bukan perkara mudah. Bukan hanya soal maju-mundurnya kebijakan menyangkut guru seperti selama ini, tetapi lebih dari itu meningkatkan mereka dengan pengajaran teknologi modern. Alih-alih selama ini sudah banyak perbaikan dengan sekian catatan soal peningkatan kesejahteraan dan kemampuan, tetaplah mereka kepontal-pontal dengan berbagai kemajuan. Profesi guru yang diharapkan ada di garis depan sehingga bisa among sebagai pamong, justru sebaliknya mereka ikut arus karena kurangnya modal kemampuan menyesuaikan diri dengan perkembangan pembelajaran modern.
Profesi guru yang diharapkan ada di garis depan sehingga bisa among sebagai pamong, justru sebaliknya mereka ikut arus karena kurangnya modal kemampuan menyesuaikan diri dengan perkembangan pembelajaran modern.
Kritik ini kesan umum, sebab banyak guru terutama di perkotaan yang akrab dengan teknologi pembelajaran modern. Anak didik diberi kesempatan menyalurkan ekspresi, guru bisa mengimbangi. Sebaliknya, baik yang sudah bersertifikat apalagi yang belum, apalagi yang ada di pedesaaan dan terpencil, cara pembelajaran modern masih jarang bahkan benda asing bagi mereka.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Murid kelas enam belajar dengan kondisi seadanya di SDN Kertajaya 2, Rumpin, Bogor, Jawa Barat, Senin (22/7/2019). Sejak 2016, beberapa kelas di SDN Kertajaya 2 kekurangan meja dan kursi karena rusak.
Selain faktor guru, kondisi heterogenitas dan demogafi Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Dari Mendikbud yang satu ke Mendikbud berikutnya, dengan program pemerataan, dengan pilihan sesuai kebutuhan setempat, belum ada yang mampu secara maksimal mengatasi. Kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, masih ada kesenjangan. Berbagai program dilaksanakan misalnya beasiswa bagi anak didik atau pun mahasiswa luar Jawa belajar di Jawa, sudah dilakukan. Memang satu dua ada menonjol bahkan melebihi umumnya anak atau mahasiswa dari Jawa.
Tetapi pada umumnya, perlu diakui bahwa pemerataan—dalam arti bukan angka-angka statistik partisipasi kasar peserta didik hampir 100 persen—tetapi pemerataan dalam arti pencapaian belajar dan keterampilan kerja, masih sebagai tantangan besar. Dengan program-program pembangunan ke luar Jawa dan dana alokasi dari pusat, kesenjangan itu terkikis pelan-pelan.
Terkait kesenjangan Jawa dan luar Jawa, perkotaan dan perdesaan, kurikulum yang saat ini dianggap tidak terutama sebagai pedoman pembelajaran, tetap jadi masalah. Titik masalahnya bukan materi terutama, tetapi bagaimana pelaksanaan di lapangan. Karena itu ada seloroh kurikulum yang sesuai di atas kertas, dan kurikulum yang diselenggarakan di sekolah. Karena itu tidak ada kurikulum yang berlaku secara nasional, yang dicoba diatasi dengan minimum standardisasi.
Ujian nasional dengan pilihan-pilihan variasi yang ditawarkan pusat, memang upaya menyiasati ini. Walaupun tanpa sadar justru menciptakan kesenjangan baru. Praksis pendidikan memang harus dievaluasi, tetapi dengan ujian nasional yang dari tahun ke tahun jadi persoalan, perlu ditemukan bentuk evaluasi yang rutin, dan di sanalah peranan penilik/pengawas sekolah bidang pembelajaran. Evaluasi pun tidak menjadi sesuatu yang menakutkan seperti ujian nasional tetapi sebagai bagian integral dari pembelajaran. Sekolah menjadi sarana bermain yang menyenangkan.
KOMPAS/YOLA SASTRA–Siswa SMP 1 Toma, Nias Selatan, Sumatera Utara, mengikuti ujian nasional berbasis komputer, Selasa (23/4/2019). Ujian dilakukan tiga sesi karena jumlah komputer tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ikut ujian.
Pemisahan Riset dan Dikti
Sejak digabungkannya pendidikan tingggi (Dikti) dalam Kementerian Riset tahun 2014, sudah muncul pro dan kontra, selain berdampak menyangkut kelembagaan dan administrasi. Yang pro berpendapat, mahasiswa akan terlatih dengan kegiatan riset mereka memasuki lapangan kerja. Sejumlah negara sudah membuktikan seperti Jerman, Tiongkok dan Perancis. Dengan pemisahan itu Kemdikbud—akhirnya berganti nama menjadi Kemdiknas—diharapkan bisa lebih memfokuskan diri pada pendidikan dasar dan menengah.
Senyampang itu tidak sedikit yang kontra, dan alasannya mendasar, di antaranya Daoed Joesoef, mantan Menteri P dan K. Pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari pendidikan dasar dan menengah, sebab praksis pendidikan itu menyeluruh. Dari pendidikan usia dini (PAUD) sampai perguruan tingggi. Ia mengingatkan tentang Tridarma Perguruan Tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian di jenjang pendidikan tinggi terutama melatih mahasiswa di bidang penelitian, bagian utuh dari konsep perguruan tinggi sebagai masyarakat ilmiah.
Pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari pendidikan dasar dan menengah, sebab praksis pendidikan itu menyeluruh.
Tanpa dibereskan soal Tridarma PT yang jadi kekhasan pendidikan tinggi, sambil membereskan urusan kelembagaan administrasi, Dikti pun masuk dalam naungan Kementerian Riset dan Dikti. Riset dilakukan, terutama untuk memenuhi kebutuhan dan kurang mempertimbangkan riset dalam konteks membangun spirit ilmiah mahasiswa.
KOMPAS/ FERGANATA INDRA RIATMOKO–Forum Rektor Indonesia ke-18 – Presiden Joko Widodo melihat mobil balap buatan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta seusai menghadiri pembukaan Forum Rektor Indonesia ke-18 di auditorium Universitas Negeri Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (29/1/2016) malam.
Dan yang menonjol dilakukan adalah meningkatkan jumlah guru besar serta pengaturan lebih ketat pembukaan program studi baru. Rupanya, antara lain dengan menyadari adanya perbedaan mendasar jatidiri riset sebagai bagian dari proses pendidikan tinggi berbeda dengan riset untuk kepentingan konsumen, dalam era Kabinet Indonesia Maju ini Dikti kembali ke haribaan Kemdikbud.
Mencegah sinyalemen radikalisme di perguruan tinggi, khusus untuk PTN mungkin bisa diminimalisir dengan besarnya persentase suara Mendikbud, atau menghidupkan kembali hak prerogratif Menteri Dikbud selain dari Wali Amanah, dalam menentukan rektor definitive. Tugas yang berat memang selain meningkatkan peringkat mutu, juga mencegah gejala radikalisme yang konon berkembang saat ini. Dan, dalam hal pendidikan apa yang diputuskan hari ini dampaknya akan kelihatan satu dekade kemudian.
Pak Nadiem Makarim, selamat bekerja keras!
St. Sularto, Wartawan Senior
Sumber: Kompas, 19 November 2019