Sebagai negara kepulauan, laut merupakan sumber hidup masyarakat Indonesia. Namun, laut juga diperlakukan sebagai comberan raksasa, tempat bermuara sampah dan limbah kita. Kini, banyak bagian laut di Indonesia telah tercemar yang berarti mencemari sumber pakan kita sendiri.
Jika tidak ditangani secara lintas sektoral, sumber pangan laut akan berbalik menjadi bom waktu karena mengancam kelestarian dan kesehatan secara serius. Hal ini pun secara ekonomi merugikan karena ikan Indonesia ditolak negara lain.
Isu tersebut mengemuka dalam diskusi panel yang digelar harian Kompas bersama Oxfam, Senin (25/9), di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskusi bertajuk ”Menelisik Ketimpangan dalam Rantai Nilai Pangan Laut” menghadirkan narasumber Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar serta Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria. Pembicara lain adalah Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Masnuah, Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Etty Riani, serta Ketua Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana.
Laut adalah sumber protein yang murah bagi rakyat. Namun, pencemaran telah terjadi secara meluas dengan pencemar logam berat hingga plastik yang berukuran nano—yang sulit ditangani. Dari sebuah riset yang dilakukan 10 tahun terakhir, hampir semua perairan yang dekat dengan pusat aktivitas manusia telah tercemar.
Zat-zat pencemar itu terdapat di tubuh air dan sedimen laut serta diserap organisme laut, seperti ikan dan kerang. Logam berat yang ditemukan mencemari perairan dan organisme laut ini antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), kromium (Cr), kadmium (Cd), dan timah putih (Sn).
Kandungan logam berat di Teluk Jakarta diteliti secara intensif. Hasilnya, jumlah kandungan logam berat terus naik dan kini sudah pada tingkat tak aman untuk dikonsumsi. Konsumsi berlebih akan mengakumulasi merkuri di tubuh.
Pencemaran logam berat juga mencapai Kepulauan Seribu. Selain kerang, ikan pari pun tercemar. Riset yang dilakukan Etty Riani dan Harry Sudrajat Johari dari IPB menemukan, konsentrasi rata-rata logam berat kadmium (Cd) di perairan sekitar Pulau Panggang dan Pulau Karya pada Oktober (2016) masing-masing 0,003 dan 0,004 miligram per liter (mg/l).
Konsentrasi itu melebihi ambang batas yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang memperbolehkan Cd sampai 0,001 mg/l. Dari riset itu ditemukan ada korelasi tingginya pencemaran air dan sedimen dengan kenaikan akumulasi logam berat pada kerang kapak-kapak.
Studi oleh Fitri Budiyanto, Lestari, dan Fahmi dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menemukan ada konsentrasi merkuri dalam daging dan hati dari empat spesies ikan pari yang ditangkap di Teluk Jakarta dengan konsentrasi 0,633 miligram per kilogram (mg/kg). Empat jenis ikan pari itu ialah Himantura walga, Neotrygon kuhlii, Himantura gerrardi, dan Himantura uarnacoides. Meski kandungannya di bawah tingkat aman, yakni 1 mg/kg, pencemaran ini patut diwaspadai.
Pencemaran laut di berbagai wilayah laut di Indonesia terindikasi dari kandungan logam berat dalam perikanan tangkap di Indonesia. Mengutip riset oleh Dwiyitno, peneliti keamanan pangan dan lingkungan pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, secara umum konsentrasi logam berat di komoditas perikanan di Indonesia fluktuatif dengan tren meningkat. Sumber pencemar, selain industri, juga aktivitas penambangan.
Berulang kali ekspor ikan Indonesia ditolak di pasar global, terutama ke Eropa. Ekspor hanya bisa ke negara-negara Asia yang tak ketat aturan kandungan logam berat. Sepanjang 2014, ada 85 kali ekspor ikan dari Indonesia ditolak Uni Eropa karena kadar merkurinya melebihi ambang batas. Lalu, pada 2015 ada 66 penolakan dan 2016 terjadi 52 penolakan.
Pencemar baru
Jika limbah logam berat telah mencemari dan terakumulasi di lautan kita sejak 20 tahun terakhir, baru-baru ini muncul sejumlah pencemar baru yang tak kalah berbahaya. Riset oleh Agung Dhamar Syakti, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, menemukan sekitar 100 senyawa emerging pollutants (polutan baru) di perairan Segara Anakan dan Cilacap, Jawa Tengah.
Pencemar baru dari zat kimia yang berasal dari limbah obat-obatan bisa menyebabkan munculnya fenomena aneh. Fenomena itu berupa perubahan sel dan organ seksual pada beberapa jenis ikan dan kerang.
Pencemar baru di perairan yang telah jadi masalah nasional adalah sampah plastik dalam berbagai dimensi: makro, mikro, hingga nano. Pencemaran plastik ke lautan sangat membahayakan organisme dan akhirnya bisa meracuni manusia.
Plastik ukuran nano bisa terserap ke dalam otak ikan dan memicu perubahan perilaku. Partikel plastik nano yang memiliki ukuran lebih kecil dari 330 mikron (0,33 milimeter) awalnya terserap ke tanaman laut, seperti ganggang, lalu dimakan plankton, dan akhirnya dimakan ikan. Ukuran partikel amat kecil membuatnya terserap dalam darah dan akhirnya terakumulasi ke jaringan otak.
Di Indonesia, beberapa riset dampak pencemaran logam berat dan zat kimia pada ikan telah dilakukan, tapi tak demikian soal dampak pencemaran plastik ukuran nano pada ikan. Riset dampak pencemaran plastik ukuran mikro (5 mm-0,33 mm) pernah dilakukan tim peneliti Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, dan University of California, Davis (2014 dan 2015). Hasilnya, sepertiga sampel ikan dari pasar ikan di Makassar tercemar plastik mikro—yang ditemukan pada alat pencernaan.
Temuan tentang masuknya plastik nano hingga ke tubuh ikan ini jadi peringatan tentang bahaya pencemaran limbah plastik. Ukuran plastik nano amat kecil sehingga begitu masuk ke tubuh ikan akan ke dalam darah. Bahkan, sel darah putih bisa tak mengenalinya karena teramat kecil sehingga lolos dan terbawa hingga ke otak.
Padahal, plastik nano jadi lebih berbahaya karena bisa membawa bahan beracun dan berbahaya (B3). Di alam, plastik nano menyerap B3, lalu masuk ke tubuh ikan, kemudian bisa masuk ke tubuh manusia jika dikonsumsi.
Upaya untuk mengatasi dampak pencemaran plastik di Indonesia menjadi kian penting dan relevan karena posisi Indonesia sebagai penyumbang besar pencemaran plastik global. Indonesia adalah negara kedua setelah China sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut (Jambeck, 2015).
Dari beragam persoalan perikanan di Indonesia, pencemaran laut adalah salah satu masalah yang belum diarusutamakan dalam tata kelola keamanan pangan bagi masyarakat. Menurut beberapa narasumber diskusi, sampai kini kewenangan menetapkan keamanan pangan laut tidak jelas, ada di lembaga atau kementerian mana.
Beberapa langkah penting perlu dilakukan untuk menjaga keamanan pangan laut, di antaranya menghilangkan egosektoral, penerapan amdal yang benar agar lingkungan laut terjaga baik, dan mengenalkan perilaku ramah lingkungan. Hal yang tak kalah penting adalah langkah penegakan hukum.
Tanpa ada upaya serius untuk mengatasi berbagai pencemaran lautan ini, sumber daya alam berlimpah yang kita miliki justru akan jadi bom waktu….(AIK/ISW/LKT/SON)
Sumber: Kompas, 30 Desember 2017