Sekitar 4.700 orang dari 170 negara menghadiri pertemuan di Nairobi, ibu kota Kenya, untuk mencari solusi bagi masa depan umat manusia akibat menurunnya mutu dan daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu diikuti perwakilan pemerintah sejumlah negara, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pelaku usaha, dan berbagai organisasi masyarakat.
Sidang PBB tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) Ke-4 di Nairobi itu dimulai pada Senin (11/3/2019) dan akan berlangsung sampai Jumat (15/3) dengan tema ”Solusi Inovatif bagi Perubahan Lingkungan dan Konsumsi serta Produksi Berkelanjutan”. Pertemuan kali ini merupakan yang terbesar dengan jumlah peserta dua kali dibandingkan yang terakhir dilakukan pada Desember 2017.
Suasana pembukaan Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) yang ke-4 di Nairobi, Senin (11/3). Pertemuan ini akan berlangsung hingga Jumat (15/3).–Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertemuan itu diharapkan mendorong perubahan nyata pada perbaikan pola konsumsi dan produksi lebih berkelanjutan. Beberapa fokus yang dibahas meliputi perlindungan lingkungan laut dari polusi plastik, mengurangi sampah makanan, dan inovasi teknologi untuk menghadapi perubahan iklim, serta mengurangi hilangnya keragaman hayati.
Forum itu merupakan satu- satunya sidang di luar Sidang Umum PBB di mana semua anggota terlibat, apalagi pertemuan tersebut juga diikuti semua sektor. Hal itu diharapkan membawa dampak global, terutama mewujudkan Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Direktur Eksekutif UN Environment Joyce Msuya mengajak semua bangsa untuk memulai perubahan nyata. ”Kesempatan sudah makin pendek. Kita sudah banyak berjanji dan berpolitik. Kita berkomitmen, tetapi dengan sedikit pertanggungjawaban. Apa yang dipertaruhkan adalah kehidupan, dan masyarakat, itu butuh perubahan segera,” ujarnya.
Beberapa perubahan yang bisa dilakukan antara lain mengubah cara pandang terhadap pembangunan ekonomi yang mengabaikan nilai penting lingkungan. ”Kita harus memasukkan nilai penting lingkungan dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, pembangunan tak boleh lagi meninggalkan banyak limbah dan sampah,” katanya.
Dituntut perubahan
Menteri Lingkungan Estonia, yang juga Kepala Sidang UNEA Ke-4, Siim Kiisler, mengatakan, saat ini dunia mengalami masalah global yang bisa mengancam kehidupan umat manusia. Contohnya, empat tahun terakhir tercatat sebagai yang terpanas. ”Kita semua makin akrab dengan banjir, kekeringan, topan, badai pasir, dan semuanya menyebabkan banyak korban jiwa,” ujarnya.
Selain itu, 2 miliar penduduk di dunia belum terlayani pengelolaan sampah. Ada 64 juta orang terdampak pembuangan dan pembakaran sampah. Selain itu, 8 juta ton sampah plastik masuk ke laut tiap tahun. ”Dalam draf deklarasi menteri, saya meminta para anggota membuat target nasional ambisius untuk mengurangi sampah dan meningkatkan penggunaan bahan terbarukan, khususnya mengurangi pemakaian plastik,” kata Kiisler.
Selain mengancam kehidupan, soal lingkungan ini merugikan. Berdasarkan data UN Environment, kerusakan ekosistem pada 1995-2011 menyebabkan kerugian 4 triliun-20 triliun dollar AS. Praktik pertanian menjadi penyebab besar soal lingkungan dan menimbulkan kerugian 3 triliun dollar AS per tahun, serta polusi menyebabkan kerugian 4,6 triliun dollar AS per tahun.
”Dari beragam isu, penanganan sampah plastik jadi prioritas, selain perbaikan mahadata lingkungan,” ujarnya.
Dalam pertemuan ini juga akan diluncurkan beberapa kajian terbaru UN Environment, termasuk edisi terbaru Global Environment Outlook 6, yang disusun 252 ilmuwan dan ahli dari 70 negara.
”Sangat jelas kita butuh perubahan ekonomi dan pola konsumsi kita,” kata Msuya. Itu bertujuan memutus relasi pertumbuhan dan peningkatan eksploitasi sumber daya, serta meninggalkan budaya keliru.
Selain pertemuan delegasi antarnegara, forum itu menampilkan berbagai inovasi teknologi terbaru ramah lingkungan diikuti sejumlah perusahaan besar. Misalnya, perusahaan dari Kanada memakai bekas peti kemas sebagai rumah dan perusahaan Swiss menampilkan pakaian dari kayu untuk menggantikan kain berbahan plastik dan minyak fosil, serta India memakai energi matahari sebagai pendingin buah, sayuran, dan bahan segar lainnya.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 12 Maret 2019