Wayan Rawig (70), warga Banjar Manyar, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, penasaran ketika Ron Harris, profesor geologi dari Universitas Birgham Young, Amerika Serikat, dan timnya bersiap mengebor sawah sejarak 300 meter dari pantai, beberapa waktu lalu. Saat dijelaskan hendak mencari jejak tsunami tua, dia makin penasaran.
Sepanjang umur saya ini, tidak pernah ada tsunami di sini. Orangtua dan nenek kami tak pernah menceritakan soal itu. Kalau gempa, memang kadang terjadi,” katanya.
Wayan Tunduh (40), warga yang lain, menambahkan, “Tsunami yang saya tahu pernah terjadi di Banyuwangi (Jawa Timur), Aceh, dan Flores, tetapi di sini tidak pernah ada. Selama orang-orang masih menjaga lingkungan dan menaruh persembahan, Bali selatan aman tsunami.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ingatan manusia terbilang sangat pendek dibandingkan dengan siklus tsunami yang bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Apalagi, data-data sejarah juga sangat terbatas.
Bukti tertulis di Bali yang menyebutkan tentang kejadian tsunami di pulau ini hanyalah satu paragraf dalam Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti. Dalam dua babad ini disebutkan, banyak orang dan keluarga kerajaan tewas terkena banjir longsor pada tahun Saka 1737 atau 1815 Masehi. Tak dikisahkan tentang gempa bumi, apalagi tsunami.
Namun, menurut I Made Kris Adi Astra, analis dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah 2 Denpasar, yang rajin mengumpulkan naskah lokal terkait gempa dan tsunami, ada catatan lebih lengkap yang disimpan di Puri Ayodya, Singaraja. Disebutkan, “Pada hari Rabu umanis kurantil tahun Saka 1737 (22 November 1815), gempa bumi besar mengguncang. Getaran gempa bumi mengakibatkan pegunungan retak longsor dengan suara menggelegar seperti guntur. Longsoran pegunungan lantas menimpa ibu kota Buleleng, Singaraja. Desa-desa tersapu ke laut. Bencana ini menewaskan 10.523 orang. Banyak pejabat penting kerajaan turut menjadi korban, tetapi Raja Buleleng I Goesti Angloerah Gde Karang selamat.”
Catatan lebih rinci lagi disebutkan Arthur Wichman (1918) saat menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877. Disebutkan, gempa itu terjadi pada 22 November 1815 sekitar pukul 10 malam. Gempa memicu tsunami. Diduga kuat gempa di utara Bali ini dipicu back arch atau patahan di busur belakang yang memanjang dari utara Pulau Flores hingga pesisir utara Pulau Jawa, sebagaimana dipetakan dalam Peta Gempa Bumi Nasional yang disusun Pusat Studi Gempa Bumi Nasional 2017.
Sekalipun samar-samar, tsunami di utara Bali ini terekam dalam catatan sejarah. Namun, tsunami di kawasan di selatan Bali sama sekali tak tercatat. “Padahal, potensi gempa bumi di selatan Bali jauh lebih besar. Kawasan ini berhadapan langsung dengan subduksi Samudra Hindia yang menjadi pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia,” kata Ron.
Pergerakan di zona subduksi Samudra Hindia ini pada 2004 memicu gempa dan tsunami raksasa yang menghancurkan Aceh. Jika energi gempa di segmen barat Aceh telah lepas, zona subduksi di selatan Jawa dan Bali relatif sepi gempa besar. Gempa dan tsunami yang tercatat di kawasan ini hanya terjadi di selatan Banyuwangi pada 1994 dan selatan Pangandaran pada 2006 dengan skala medium.
Ron meyakini, zona penunjaman di selatan Jawa-Bali- Lombok-Sumba menyimpan energi gempa sebesar Aceh pada 2004 karena adanya bidang kuncian (locked patches) yang terisolasi di daerah pertemuan lempeng. Locked patches yang terisolasi ini ketika akhirnya lepas akan menghasilkan gempa bermagnitudo besar.
McCaffrey (2008) dalam papernya juga mengusulkan hipotesis baru mengenai potensi gempa bumi besar (M ?9,0) yang berpotensi terjadi di seluruh zona subduksi di dunia setelah tsunami Aceh 2004. Hipotesis ini kemudian dikuatkan dengan tsunami yang dibangkitkan gempa M 9,1 di Sendai, Jepang, pada 2011. Bahkan, McCaffrey telah membuat perhitungan matematis bahwa periode perulangan gempa besar di selatan Jawa adalah per 675 tahun, sedangkan di Sumatera 512 tahun.
Bukti tsunami
Sekalipun secara teoretis gempa dan tsunami besar berpeluang terjadi di selatan Jawa dan Bali, tetapi tanpa bukti-bukti nyata tidak akan mudah meyakinkan publik. “Untuk itulah, kami mencari jejak tsunami di masa lalu dengan survei paleotsunami dari selatan Jawa hingga Sumba,” kata Ron.
Riset paleotsunami dilakukan dengan mencari deposit atau material yang terbawa tsunami di masa lalu. Deposit tsunami ini bisa berupa endapan pasir yang tersimpan di lapisan tanah. Dengan melakukan penggalian dan mengukur umur endapan kerang ini, bisa diketahui waktu terjadinya tsunami di masa lalu.
Setelah mengebor di puluhan titik, tim peneliti menemukan dua lapis endapan tsunami. Lapisan pertama di tanah kedalaman 80 sentimeter (cm)-1 meter dan lapisan kedua di kedalaman 180 cm-2 meter. Temuan ini konsisten di sembilan titik pengeboran selatan Bali dalam radius sekitar 3 kilometer. Endapan pasir di kedalaman yang sama juga ditemukan di tebing sungai di sekitar Pantai Purnama.
Sebagai peneliti paleotsunami, Purna S Putra dari Pusat Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengaku lega dengan temuan ini sekalipun bagi masyarakat Bali hal ini sebenarnya menjadi kabar buruk. “Saya sangat yakin ini deposit tsunami,” kata Purna.
Menurut Purna, endapan tsunami biasanya memiliki variasi butiran pasir yang tinggi atau tidak homogen. Deposit tsunami biasanya memiliki kandungan karbonat tinggi dan material organiknya rendah. Selain itu, materialnya kaya kandungan kalsium (Ca), sulfur (S), natrium (Na), klor (Cl), dan bromin (Br) yang menunjukkan asalnya dari laut. “Untuk memastikannya, kami akan memeriksanya di laboratorium,” katanya.
Pemeriksaan di laboratorium juga dibutuhkan untuk memastikan usia endapan tersebut. Biasanya untuk menentukan umur tsunami dengan memeriksa materi organik seperti fosil kerang foraminifera di dalam endapan menggunakan radiokarbon. Endapan di Bali ini minim material organik. Oleh karena itu, tim menggunakan metode OSL (optically stimulated luminescence), yaitu pengukuran dari radiasi ion yang ada di dalam pasir kuarsa.
Umur pasti endapan tsunami ini masih harus menunggu uji laboratorium. Namun, menurut Ron, endapan tsunami di selatan Bali bisa jadi seumuran dengan tsunami yang melanda di selatan Jawa, yaitu 300-400 tahun lalu.
Dengan tren pembangunan diikuti pertumbuhan penduduk yang tinggi di selatan Jawa dan Bali, temuan-temuan ini perlu mendapat perhatian serius. “Dari pemodelan yang kami lalukan, tinggi gelombang tsunami di selatan Bali bisa mencapai 27 meter dan tiba dalam waktu 20 menit setelah gempa. Sebanyak 595.000 warga Kota Denpasar saat ini tinggal di daerah landaan tsunami,” katanya.(AHMAD ARIF)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Mencari Jejak Tsunami di Selatan Bali”.