Menemukan lokasi jatuhnya pesawat di lautan ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Temuan serpihan pesawat dan jenazah terapung tidak mengindikasikan lokasi sebenarnya bangkai pesawat. Temuan itu lebih karena terbawa arus dan angin. Di sinilah pentingnya pemodelan komputer untuk mencari petunjuk awal lokasi.
Pada saat kapal lain mengevakuasi jenazah dan puing pesawat AirAsia QZ 8501, beberapa kapal survei, salah satunya Kapal Baruna Jaya (BJ) I yang dioperasikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menyusuri area lebih ke barat laut dari wilayah prioritas pertama. Area ini lalu ditetapkan Badan SAR Nasional (Basarnas) sebagai wilayah prioritas kedua. Penyusuran di area berbeda itu dalam rangka mencari badan utama pesawat dan kotak hitam. Sebagian jenazah juga diperkirakan masih ada di sana.
Alasan pencarian BJ I di luar wilayah prioritas pertama itu disampaikan Kepala BPPT Unggul Priyanto, Selasa (6/1), ”Menurut kami, tempat ditemukannya bagian-bagian pesawat dan jenazah bukan letak bangkai pesawat sesungguhnya. Perhitungan pemodelan tim BPPT, badan utama pesawat di barat laut dari area yang dipetakan Basarnas.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dibantu simulasi komputer, serpihan dan jenazah yang terbawa arus dan angin dapat diperkirakan sebarannya. Melalui model, didapat gambaran jejak maju untuk prediksi tersebarnya partikel dan jejak mundur untuk memperkirakan sumber sebarannya. Tugas membuat model dibebankan kepada tim pemodelan BPPT, di belakang layar.
Pemodelan komputer
Kepala Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP)-BPPT Rahman Hidayat mengatakan, berdasar data temuan sebaran puing, lembaganya melakukan kaji cepat menggunakan simulasi komputer. Perkiraan lokasi penting sebagai panduan Kapal BJ I dan kapal-kapal pencari lain untuk mencari lokasi jatuh dan kotak hitam pesawat.
”Ini tugas lembaga dalam kaitan penerapan teknologi untuk kebencanaan. Kami tidak hanya melakukan riset (dasar), tetapi juga penerapannya di lapangan sebagaimana halnya dalam perencanaan dan audit pembangunan infrastruktur pantai dan pelabuhan,” papar Rahman.
Kepala Seksi Uji Komputasi BPDP-BPPT Widjo Kongko mengatakan, bersamaan dengan keberangkatan BJ I mencari AirAsia, timnya mendapat tugas membuat model. Area studi simulasi komputer meliputi wilayah seluas 167 kilometer persegi dengan batas pantai di kabupaten-kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Belitung, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Simulasi komputer menggunakan perangkat lunak model dua dimensi dengan model hidrodinamika arus yang dipengaruhi pasang surut dan angin. Asumsinya, pesawat jatuh dan hancur di laut (tidak meledak di angkasa). Serpihan bagian pesawat dan jenazah direpresentasikan sebagai partikel mengapung di atas laut yang dipengaruhi arus akibat pasang surut dan angin. Pada model itu, kontribusi langsung embusan angin ke partikel mengapung juga diperhitungkan.
Berdasar data arus dan angin, diketahui dominan mengarah ke timur-tenggara. Hasil model pun menunjukkan partikel sebarannya ke arah sama sehingga bisa diprediksi sumber sebaran puing-puing itu, yaitu di wilayah lebih ke barat (wilayah prioritas kedua). Namun, kata Widjo, hasil pemodelan itu masih sedikit di bawah target pola sebaran riil di lapangan dan belum dapat memberi perkiraan lebih akurat meskipun secara umum dapat dijadikan petunjuk awal.
Demi hasil yang lebih akurat, diperlukan data pasang surut dan angin riil di lapangan, selain data sebaran debris bagian dari pesawat dan jenazah yang ditemukan di awal pencarian. Sayangnya, data koordinat dan waktu temuan pertama kali puing pesawat itu tidak tercatat tim lapangan. Hal itu bisa dimaklumi, mereka fokus pada evakuasi. ”Padahal, data ini sebenarnya sangat penting untuk analisis lebih lanjut. Untuk memodelkan secara terbalik,” katanya.
Mempersempit wilayah
Widjo mengatakan, jika dibandingkan Laut Selatan Jawa, gelombang di Laut Jawa tak terlalu besar. Selain itu, kedalaman juga relatif dangkal. Namun, arus Laut Jawa tergolong deras, terutama besarnya lumpur sedimentasi. Laut Jawa muara puluhan sungai besar dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang tercemar dan menggelontorkan jutaan ton sedimen tiap tahun. Di Laut Jawa juga banyak puing kapal yang bisa mengacaukan sonar kapal-kapal pencari.
Laut Jawa, lokasi jatuhnya pesawat AirAsia, ibarat kuali raksasa penyimpan jejak panjang peradaban Nusantara. Masa lalu, perairan itu jalur pelayaran utama pedagang rempah dari berbagai bangsa. Periode itu, pelabuhan-pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pesisir utara Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Saat Perang Dunia II, kawasan itu ajang pertempuran hebat antara kapal Sekutu (Amerika, Inggris, dan Belanda) dengan Jepang, seperti dikisahkan buku The Java Sea Campaign: Combat Narratives yang diterbitkan oleh Office of Naval Intelligence-United States Navy, 1943. Jejak pelayaran dan peperangan itulah yang membuat Laut Jawa jadi kuburan kapal karam.
Tanpa panduan pemodelan untuk mempersempit area yang diduga jadi lokasi jatuhnya pesawat—pencarian hanya berdasarkan sonar kapal—maka butuh waktu sangat lama. Bahkan, kapal-kapal pencari bisa tersesat ke lokasi yang keliru.
Kali ini, ada kapal Geo Survey milik Asosiasi Kontraktor Indonesia yang dilengkapi sonar pemindai berdimensi 10 x 5 x 3 meter, yang akhirnya mendeteksi obyek mencurigakan di wilayah prioritas kedua, Rabu (7/1) dini hari. Melalui sonar pemindai, dugaan obyek itu ekor pesawat yang dicari menguat. Foto-foto oleh para penyelam akhirnya memastikan bahwa obyek itu ekor pesawat AirAsia.
Sejauh ini, tim gabungan telah menemukan delapan obyek yang terdeteksi di sektor prioritas kedua. Namun, baru empat yang dipastikan. Pertama ekor pesawat, lalu jenazah di kursi, serta dua obyek lain yang diduga berbahan logam, yang ternyata bukan bagian pesawat.
Sementara itu obyek lainnya masih belum bisa dipastikan karena kecepatan arus laut yang mencapai 5 knot. Bahkan, wahana nirawak bawah laut (ROV) yang diturunkan juga tak bisa beroperasi stabil. Terbawa arus. Para penyelam juga terkendala jarak pandang kurang dari 1 meter (Kompas, 10 Januari 2015).
Pada Sabtu (10/1) siang atau 13 hari setelah pesawat AirAsia jatuh, ekor pesawat itu akhirnya sukses diangkat. Namun, badan utama dan kotak hitam belum ditemukan. Pencarian masih belum berujung, tetapi tim setidaknya telah berada di lokasi yang tepat.
Masih ada waktu bagi teknologi pemodelan untuk membantu mencari bagian lain, khususya kotak hitam. Bagian ekor bukanlah target utamanya. (AHMAD ARIF)
Sumber: Kompas, 11 Januari 2015