Lapangan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Halmahera Timur, Maluku Utara, Senin (7/3) pagi, lebih meriah daripada biasanya. Puluhan siswa membentuk kelompok-kelompok kecil untuk mencoba berbagai peralatan untuk mengamati matahari, mulai dari kacamata matahari, solarscope, kotak lubang jarum buatan mereka sendiri, hingga teleskop.
Wow… ada bulatan kuning dan bintik hitam di bagian atas dan bawahnya,” itulah respons Suratman Ibrahim, siswa kelas X SMK Negeri 1 Halmahera Timur di Maba, saat pertama kali menggunakan teleskop.
Bulatan kuning yang dimaksud Suratman adalah matahari. Untuk melihat matahari, teleskop itu dilengkapi filter pengurang intensitas cahaya matahari. Adapun bintik hitam adalah sunspot atau bintik matahari yang menunjukkan suhu permukaan matahari daerah itu lebih dingin ketimbang suhu sekitar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski teleskop yang dipakai adalah teleskop sederhana, ia tetap kagum. ”Amat canggih alatnya, memudahkan manusia,” ucapnya. Baru kali ini ia melihat teleskop. Ia sempat tertukar menyebut teleskop dengan mikroskop, alat untuk melihat jasad renik, yang ia kenal saat sekolah menengah pertama.
Pengalaman berkesan mengenal berbagai peranti astronomi dan pengetahuan gerhana juga dialami Hikmawati Lakoda, siswa kelas IX Madrasah Tsanawiyah (MTs) Hasan Hairin Maba. ”Saya pernah melihat gambar teleskop di buku pelajaran Fisika, tapi baru kali ini melihatnya langsung,” tutur gadis yang bercita-cita jadi bidan itu.
Suratman dan Hikmawati hanya dua dari puluhan siswa yang mengikuti edukasi publik mengenal gerhana matahari total (GMT) 2016 yang akan bisa dilihat di Maba, Rabu (9/3). Bahkan, Maba, kota di timur Pulau Halmahera, itu adalah daratan terlama yang bisa menyaksikan totalitas gerhana, yakni 3 menit 20 detik.
Pemburu gerhana, peminat wisata khusus, hingga peneliti astronomi datang ke kota yang infrastrukturnya terbatas itu. Bahkan, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) melakukan riset bersama di sana.
Namun, tak tampak persiapan berarti di Maba dan Halmahera Timur menyambut gerhana itu. Listrik menyala pukul 18.00-08.00, jaringan telekomunikasi nyaris tak bisa untuk akses data, dan tak ada kegiatan seperti digelar daerah lain.
Namun, keingintahuan dan minat warga mengenal fenomena GMT yang melintasi daerah mereka amat tinggi. Berbekal informasi dari televisi kabel, warga antusias menyambut kedatangan para pengunjung. Mereka tak malu bertanya tentang gerhana kepada para wisatawan.
Antusiasme tinggi pada GMT juga ditunjukkan siswa dan guru peserta edukasi publik GMT di SMK Negeri 1 Halmahera Timur. Meski acara berlangsung pagi sampai menjelang sore,
gairah siswa dan guru mengikuti edukasi publik tak surut.
”Tak sia-sia kami hadir. Ilmunya amat bermanfaat,” ujar Hajar Mahmud, guru Fisika MTs Hasan Hairin. Apalagi, jarang lembaga pendidikan formal datang ke Maba untuk berbagi pengetahuan tentang hal baru.
Positifnya respons siswa itu diakui anggota komunitas astronomi amatir Sydney City Skywatchers Australia, Toner Stevenson. Ia mengagumi rasa ingin tahu dan keterlibatan siswa dalam edukasi publik itu.
”Bahkan, para siswi terlibat aktif. Itu menarik, umumnya
siswi di seluruh dunia kurang mau aktif dalam aktivitas edukasi publik astronomi ketimbang siswanya,” kata perempuan Australia pertama yang ahli sejarah astronomi itu.
Berbagi
Edukasi publik dilakukan komunitas astronomi langitselatan yang berisikan astronom profesional, komunikator astronomi, dan astronom amatir. Mereka bekerja di berbagai bidang, termasuk yang tak terkait astronomi. Sejumlah komunikator astronomi jaringan langitselatan asal Australia dan Portugal pun turut serta.
”Kami ke Maba untuk bersenang-senang mengamati GMT. Dalam setiap kegiatan, kami juga ingin berbagi dengan warga sekitar,” kata Avivah Yamani, komunikator astronomi yang juga pengelola langitselatan.
Sekolah dipilih jadi lokasi edukasi publik karena para penggemar astronomi ingin menanamkan ke benak siswa bahwa belajar sains menyenangkan. Jadi, edukasi astronomi diisi kegiatan antara lain pengamatan benda langit, membuat prakarya berupa peranti pengamatan astronomi, dan aneka permainan.
”Astronomi itu gerbang pengetahuan,” ucap Avivah. Dari astronomi, rasa ingin tahu siswa pun tumbuh. Itu jadi bekal bagi mereka mengejar mimpi dan mempelajari berbagai bidang ilmu lain. (M ZAID WAHYUDI)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Membuka Gerbang Pengetahuan”.