Tantangan terbesar pembangunan kawasan terdampak bencana adalah penataan ruang. Begitu bencana mereda dan ingatan pada tragedi mengabur, masyarakat bergegas balik ke kampung asal. Itu yang terjadi di Aceh setelah tsunami 2004 dan Pangandaran, setelah tsunami 2007. Di Jepang, penataan kawasan terlanda tsunami 2011 terbilang sukses.
Pukul 09.00 kurang 10 menit, suasana kantor Wali Kota Onagawa, Prefektur Miyagi, Jepang, sudah ramai. Tanpa protokoler, Wali Kota Yoshiaki Suda (42) mempersilakan tamu duduk di ruangannya. Tak lama, ia mengajak ke lapangan.
Menumpang bus mini yang disewa rombongan tamu dari Sendai, termasuk Kompas, Yoshiaki didampingi satu pegawai yang juga teman sekolahnya saat kecil. Rute pertama adalah rumah sementara korban tsunami. Sepanjang perjalanan, ia berkisah tragedi tsunami, kehancurannya, juga mimpi-mimpinya membangun kembali Onagawa yang lebih aman.
Saat terjadi tsunami, ia dalam perjalanan dari kota Sendai ke Onagawa. Saat itu, ia masih bekerja untuk Prefektur Miyagi dan baru menjadi wali kota pada November 2011. ”Saya kehilangan tujuh saudara, dua yang ditemukan jasadnya,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Onagawa kota terparah terdampak tsunami yang melanda pesisir timur Tohoku ini, 11 Maret 2011. Sebelum tsunami, kota itu berpenduduk 10.000 jiwa. Sebanyak 827 penduduknya meninggal atau hilang akibat tsunami yang menghancurkan 70 persen bangunan di kota itu.
”Inilah tempat tinggal saya tiga tahun ini,” kata Yoshiaki menunjuk deretan rumah petak dari kontainer yang tersusun rapi. Pot-pot bunga berjajar. Kondisinya bersih. ”Sekalipun dari kontainer, di dalamnya diberi penyekat sehingga tetap hangat sekalipun di musim dingin,” lanjutnya.
Yoshiaki tinggal di rumah sementara itu bersama korban tsunami lain sehingga merasakan langsung yang dialami warganya. ”Mungkin masih harus dua atau tiga tahun lagi di sini sampai rumah permanen untuk korban selesai dibangun.”
Di rumah sementara itu, beberapa tetangga Yoshiaki masih senam pagi. ”Ini ruang bersama melakukan berbagai kegiatan. Kami mencoba menciptakan suasana pengungsian senyaman mungkin agar orang tidak stres. Sekalipun rumah sementara, desainernya arsitek Shigeru Ban,” katanya, menyebut salah satu arsitek terkenal yang banyak terlibat proyek kemanusiaan.
Jauh ke depan
Rumah sementara itu selesai dibangun tiga bulan setelah tsunami. Dirancang mampu bertahan bertahun-tahun pada kondisi cuaca ekstrem. Warga bebas biaya sewa. Namun, tetap membayar listrik, air bersih, dan internet sesuai penggunaan.
Keberadaan rumah sementara yang layak, kata Yoshiaki, salah satu kunci terwujudnya pembangunan kembali zona bencana di Jepang dengan lebih baik. Jika korban tenang di rumah sementara, mereka diharapkan berpikir tenang. Tak bergegas kembali ke tapak bencana.
Pada fase tanggap darurat itu, ketika ingatan korban masih segar pada tragedi tsunami, pembicaraan tentang pembangunan kembali kota yang lebih aman dari bencana terus digalakkan. Dalam hal ini, kaji cepat dan riset oleh kalangan akademisi serta sosialisasi gencar di media tentang risiko keberulangan bencana pada masa depan berperan menyadarkan warga.
Apalagi, hal itu didukung sejumlah undang-undang yang mendasari pelaksanaan rekonstruksi, mulai dari pembentukan badan otoritas, aturan rekonstruksi fisik, ekonomi, tata ruang, struktur pelindung tsunami, pengembangan wilayah baru, keuangan, hingga pajak. Hingga akhir 2011, setidaknya ada 17 UU baru dibuat Jepang terkait proses rekonstruksi.
”Kami bawa usulan desain dari riset peneliti dan konsultan ke masyarakat,” kata Yoshiaki.
Akhirnya, setelah 80 kali pertemuan, 40 kali pada musim panas dan 40 kali pada musim dingin 2011, mayoritas warga Onagawa yang selamat akhirnya menyepakati tak kembali tinggal di pesisir. ”Bekas kota lama hanya akan diperuntukkan bagi bangunan komersial dan publik. Itu pun setelah tanahnya ditinggikan hingga 7 meter. Rumah-rumah akan dibangun di atas bukit,” tutur Yoshiaki.
Tsunami 2011, katanya, bisa menimbulkan korban jiwa lebih banyak seandainya terjadi malam hari. ”Karena itu, kami tata ulang kota ini. Pertimbangan utamanya keamanan bagi generasi penerus agar mereka tak mengalami bencana seperti yang kami alami.”
Beda dengan Aceh
Kondisi itulah yang tak dijumpai di Aceh setelah tsunami 2004. Ketidaksiapan menghadapi bencana besar, ditambah lumpuhnya otoritas pemerintahan daerah, membuat penanganan korban tsunami di Aceh tidak terkoordinasi dengan baik pada tahap awal. Minggu pertama pasca tsunami, mayoritas korban masih tinggal di tenda-tenda di sekitar masjid, sekolah, dan menumpang di rumah sauadara. Bahkan, ada yang tinggal di jalanan.
Data Pemerintah Provinsi Aceh, jumlah pengungsi saat itu 400.000 jiwa. Namun, pemerintah setempat hanya mampu menyediakan hunian sementara bagi 62.000 jiwa. Barak-barak pengungsian tambahan baru akan dibangun paling cepat sebulan kemudian (Kompas, 31 Januari 2005).
Ketiadaan pusat-pusat pengungsian yang layak membuat korban ingin segera kembali ke kampung asal sekalipun rumah mereka hancur. Pekan pertama setelah tsunami, 880 jiwa atau hampir 95 persen penduduk Desa Peunaga, Cut Ujong, Banda Aceh, kembali ke desa.
Mereka menghuni tenda darurat berukuran 4 x 3 meter yang dibagikan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef). Tenda-tenda itu kebanyakan didirikan di atas puing-puing rumah lama. Itu dijumpai hampir di semua lokasi Aceh saat itu. Pada saat ada usulan pengosongan kawasan pesisir Aceh hingga 2 kilometer dari pantai oleh pemerintah pusat, mayoritas warga Aceh menolak (Kompas, 11 Januari 2005). Apalagi, usulan itu tak diikuti kajian mendalam dan sosialisasi memadai.
”Situasi saat itu memang berbeda. Ada banyak lembaga internasional terlibat, termasuk dari PBB. Namun, semua belum berpengalaman menangani bencana sebesar itu. Saat itu, membangun kembali kawasan bencana yang aman dari bencana pada masa mendatang belum prioritas,” kata Takako Izumi, peneliti International Research Institute of Disaster Science Tohoku University, yang pernah meneliti di Aceh. ”Kami belajar dari banyak kejadian untuk membangun kembali kawasan terdampak tsunami di Jepang, termasuk pengalaman Aceh.”
Pembangunan kembali Aceh pasca tsunami memang lebih cepat dibandingkan dengan kawasan Tohoku. Di Aceh, memasuki tahun keempat, mayoritas rumah permanen kembali dibangun. Di Tohoku, hingga kini belum ada rumah permanen selesai. Namun, pembangunan Aceh ibarat dibangun di atas pasir karena belum memperhitungkan risiko bencana serupa pada masa datang.
Oleh: AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 24 Januari 2015