Memahami Vaksin Sel Dendritik

- Editor

Jumat, 30 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat kondisi darurat wabah, upaya apa pun untuk menghentikan pandemi menjadi prioritas. Namun, karena sifatnya riset terobosan, sebaiknya tim peneliti dan tim BPOM duduk bersama membahas strategi riset.

Vaksin Nusantara menjadi heboh setelah dengar pendapat di DPR. BPOM belum merestui uji klinik tahap II, tetapi pelaksanaan riset jalan terus di RSPAD Gatot Subroto.

Politisi, mantan panglima TNI, pengusaha, mantan menkes, dan pesohor ingin menjadi sukarelawan obyek uji. Hal ini tidak terjadi pada uji tahap III vaksin Sinovac di Bandung, dengan sukarelawan kebanyakan rakyat biasa, kecuali Gubernur Jawa Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Vaksin Covid-19 konvensional diturunkan dari virus atau komponen virus seperti mRNA, DNA, atau protein. Ada komponen vaksin berupa zat biologi asing (xenobiologi) yang apabila masuk ke tubuh, akan dianggap musuh dan dihancurkan, sebagai respons kekebalan.

Uji coba klinik tahap III vaksin konvensional memunculkan angka kemanjuran (efficacy). Namun, data dampak negatif jangka panjang tidak diperoleh dari uji coba klinik III.

Setelah pelbagai vaksin konvensional diaplikasikan massal, muncul kasus seperti efek penggumpalan darah, mengindikasikan ada xenobiologi yang tidak disukai tubuh.

Berbeda dengan vaksin konvensional, vaksin dendritik berasal dari sel dendritik prekursor seseorang yang dilatih melawan komponen virus di luar tubuh (ex vivo). Setelah ”terampil”, sel dendritik diinjeksikan kembali ke tubuh. Karena bukan xenobiologi, secara teoretis risiko jangka panjang vaksin sel dendritik lebih kecil.

Vaksin kanker
Vaksin sel dendritik sangat personal dan tidak dapat diproduksi massal. Sumber sel dendritik langsung dari darah orang yang akan divaksin. Publikasi riset vaksin sel dendritik pada jurnal ilmiah kedokteran internasional, banyak fokus pada terapi sel imunoterapi. Ini karena terapi kanker konvensional, seperti kemoterapi, radioterapi, dan operasi pengangkatan tumor, dirasa kurang efektif.

Sel dendritik (ditemukan oleh Ralph Steinman pada 1973, bentuknya mirip pohon) bertanggung jawab atas inisiasi respons kekebalan adaptif sehingga berfungsi sebagai ”penjaga” sistem kekebalan. Sel dendritik adalah leukosit dari sumsum tulang belakang dan merupakan jenis sel pembawa antigen paling kuat (major antigen-presenting cells).

Sel dendritik dari sumsum tulang belakang dan darah diperbanyak secara in vitro menggunakan berbagai kombinasi faktor pertumbuhan.

Sel dendritik dikhususkan untuk menangkap dan memproses antigen, mengubah protein menjadi peptida, dibawa pada molekul major histocompatibility complex (MHC) dan dikenali sel T. Sekali diaktifkan, sel dendritik menghadirkan antigen ke sel T CD4+ dan CD8+, menginduksi respons sel T pelindung.

Sel dendritik sejak lama disarankan sebagai vaksin berbasis sel karena respons sel T sangat penting untuk memunculkan respons imun terhadap kanker. Peradangan memainkan peran penting dalam perkembangan kanker. Peradangan akut merangsang fungsi sel dendritik dan sel T efektor, selanjutnya memicu aktivitas antitumor.

Pada 1990-an, sel dendritik dikembangkan sebagai vaksin dengan konsep memapari sel dendritik dengan antigen spesifik tumor ex vivo. Sipuleucel-T adalah vaksin kanker sel dendritik pertama yang disetujui FDA pada 2010 untuk terapi kanker prostat.

Pada 2017, CDSO India (BPOM-nya India) menyetujui vaksin dendritik APCEDEN untuk tindakan empat jenis kanker (prostat, rahim, kolorektal, dan paru sel besar).

Sel dendritik prekursor diekstraksi dari setiap pasien dan kemudian dipapar dengan protein fusi dari asam fosfatase asam prostat (PAP; suatu antigen yang ditemukan pada sebagian besar sel kanker prostat) dan sitokin GM-CSF, yang membantu sel dendritik menjadi matang (”terampil mengenali sel kanker prostat”).

Sel dendritik yang telah matang diinjeksikan kembali ke tubuh pasien selama beberapa siklus. Sebagai metode baru, tentunya vaksin kanker sel dendritik perlu penyempurnaan.

Untuk menghasilkan sel dendritik yang lebih matang dan efektif, strategi riset perlu diperbaiki, termasuk pengembangan protokol ex vivo, kombinasi antigen alternatif. Pemaparan sel dendritik dioptimalkan dan transfeksi sel dendritik dengan RNA atau DNA.

Kerja sama riset
Saat ini, belum ada publikasi ilmiah mengenai vaksin dendritik untuk Covid-19. Beberapa virus hidup seperti virus influenza dapat menginfeksi semua jenis sel kekebalan, kecuali sel dendritik plasmasitoid. Sel dendritik plasmasitoid bertanggung jawab pada fagositosis virus dan sekresi interferon tipe 1. Interferon tipe 1 memainkan peran penting dalam reaksi kekebalan adaptif terhadap virus.

Di sisi lain, dalam vaksin konvensional berbasis virus utuh yang dimatikan, sel dendritik plasmasitoid justru menelan seluruh virus mati untuk menghasilkan interferon tipe 1. Ini boleh jadi akan menghasilkan kekebalan adaptif yang bersifat sesaat, ini mungkin kelemahan vaksin Sinovac.

Terawan dan timnya melakukan riset vaksin Covid-19 sel dendritik untuk mencari bukti ilmiah (scientific evidences) dalam rangka menghasilkan kekebalan adaptif yang lebih bersifat permanen. Oleh sebab itu, riset vaksin Covid-19 sel dendritik layak dilakukan mengingat tanda-tanda berakhirnya pandemi belum tampak.

Apabila riset sekadar menjawab keingintahuan, restu dari BPOM tidak diperlukan. Namun, apabila hasil riset akan diaplikasikan untuk terapi, pendampingan, rekomendasi, dan persetujuan BPOM sangat diperlukan.

Karena sifatnya personal, respons pada sukarelawan uji akan bervariasi. Bisa jadi vaksin dendritik tidak memerlukan uji coba pada binatang percobaan karena subyek dan perilaku sel dendritik sangat berbeda.

Saat kondisi darurat wabah, upaya apa pun untuk menghentikan pandemi menjadi prioritas. Namun, karena sifatnya riset terobosan, sebaiknya tim peneliti dan tim BPOM duduk bersama membahas strategi riset. Menguji vaksin dendritik ataupun vaksin konvensional tetap harus dilakukan dengan menerapkan kaidah keilmuan yang lazim agar data yang diperoleh dapat menjadi acuan untuk terbitnya izin.

Apa pun dinamika masalah dapur teknis, janganlah menjadi konsumsi publik. Publik hanya ingin mendengar hasil akhir riset, apakah vaksin manjur atau tidak, aman atau tidak, disetujui atau tidak.

Sebagai peneliti, saya mengusulkan uji coba membuat vaksin Covid-19 sel dendritik dengan kombinasi tiga antigen (protein S/untuk menempelkan pada reseptor, protein N/untuk membungkus genom, dan protein RDRP/untuk pembelahan RNA dari SARS-CoV-2).

Bisa jadi, kolega dari tim vaksin Merah-Putih sudah berhasil membuat rekombinan protein tersebut. Perlu kerja sama antarelemen bangsa agar Indonesia cepat maju.

Zeily Nurachman, Guru Biokimia, FMIPA ITB

Editor: YOHANES KRISNAWAN

Sumber: Kompas, 22 April 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB