Tahun 2009, Melta Rini Fahmi (42) bersama peneliti asal Perancis, Saurin Hem mendapatkan paten internasional untuk penelitian magot untuk pakan ikan di Indonesia. Awalnya, Rini dikenal sebagai peneliti di bidang genetika molekuler, kini dia lebih banyak disebut sebagai peneliti magot.
Magot memang belum dikenal secara luas. Bahkan, magot lebih dipahami masyarakat awam sebagai belatung yang menjijikan serta serta sumber penyakit. Padahal, magot mempunyai banyak manfaat, salah satunya mengatasi masalah sampah yang bisa menambah nilai ekonomis.
Secara tegas, Rini mengatakan magot berbeda dengan belatung. Magot merupakan larva serangga Hermetia Illucens atau lebih dikenal dengan Black Soldier Fly (BSF). Sementara yang lazim dikenal sebagai belatung, atau dalam Bahasa Inggris maggot, merupakan larva serangga Diptera (Haasbroek, 2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU– Melta Rini Fahmi
Belatung untuk sebutan larva housefly atau lalat rumah berperan sebagi vektor penyakit. Sebaliknya, magot sebagi agen perombak atau kompos material organik dalam waktu singkat dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Rini mempopulerkan nama magot untuk membedakan larva BSF dengan belatung. “Supaya tidak lagi salah, akhirnya saya pakai saja sebutan larva BSF dengan magot (hanya satu “g”) supaya orang paham bedanya dengan belatung,” kata Rini.
Meskipun di Indonesia magot belum dioptimalkan dalam skala industri maupun untuk pengelolaan sampah, Rini tak menyerah. “Hati nurani saya tidak bisa diam ketika mengetahui pelaku industri yang bergerak di magot ada banyak kendala yang perlu dukungan kebijakan dari pemerintah. Saya lalu mengajak para pelaku di industri magot untuk berhimpun membentuk asosiasi agar pemerintah bisa melihat potensi magot untuk Indonesia,” ujar Rini.
Rini menyambut gembira inovasi magot akhirnya didukung untuk masuk skala industri melalui kegiatan insentif inovasi industri Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Magot untuk pakan ikan sudah diluncurkan sebanyak tiga jenis yaitu Magfree (untuk pertumbuhan ikan), MagKrispy (pakan ikan induk), dan MaGranul (pakan benih ikan).
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Melta Rini Fahmi (kiri)
Tidak Sengaja
Rini mengisahkan tertarik meneliti magot berawal dari identifikasi yang keliru. Pengembangan magot sebenarnya tidak disengaja. Ini dimulai dari adanya kerja sama penelitian Indonesia-Perancis untuk mengembangkan pakan ikan alternatif di tahun 2005.
“Peneliti asing yang kerja sama dengan kami bilang mau mencoba pakan ikan dengan memproduksi belatung yang disebutkannya maggot. Penelitian pun mengarah ke sana. Yang meneliti sampai muntah-muntah karena bau busuk dari bangkai,” tutur Rini.
Penelitian untuk menghasilkan magot, yang semula disebut belatung, awalnya dikembangkan dari bungkil kelapa sawit yang ketika itu harganya rendah sehingga tak dimanfaatkan. Bungkil kelapa sawit pun difermentasi dengan bakteri yang diambil dari hewan ruminansia untuk mendegradasi bungkil. Akan tetapi, cara itu tidak berhasil.
Bungkil yang difermentasi pun terlupakan lama. Para peneliti tertarik lagi untuk melihat bungkil karena penasaran dengan burung yang mematok bungkil. Ternyata di bungkil itu banyak belatung. “Peneliti Perancis itu bilang, ini yang dia cari, yang pernah ditemuinya di Afrika,” kata Rini.
Belatung pun ditunggui hingga jadi serangga. Rini membawa serangga untuk diidentifikasi di Institut Pertanian Bogor, tetapi belum pernah ada yang riset dengan serangga tersebut.
“Penelitian tentang serangga Hermetia illucens (lalat tentara hitam) sudah ada saat itu di dunia. Namun, belum ada yang sampai pada memanfaatkan untuk menghasilkan pakan ikan. Di Indonesia sudah bisa produksi massal magot untuk pakan, karena itulah diajukan paten internasional. Kebetulan dapat dukungan dari Perancis,” kata Rini.
Penelitian soal magot sempat terhenti karena Rini melanjutkan kuliah doktor dan riset di Perancis. “Sebenarnya saya enggak enak kalau ditulis kepakaran tentang magot. Lama-lama kepakaran saya di bidang genetika molekuler makin hilang,” ujar Rini sambil tertawa.
Rini memiliki publikasi ilmiah internasional di bidang genetika molekuler dan pengajar di beberapa perguruan tinggi negeri. Risetnya di bidang genetika molekuler juga punya dampak besar pada pemetaan distribusi ikan sidat secara molekuler pertama di Indonesia dan DNA barcoding ikan-ikan dari lahan gambut.
Tahun 2013, Rini menghidupkan kembali penelitian magot yang yang sempat mati suri. Namun, dia mengalihkan pengembangan magot ke sampah organik yang selalu tersedia dan lebih murah.
“Sampah organik ini masih punya nutrisi yang bisa dimakan untuk ikan dan ternak lainnya. Dengan biokonversi memakai telur serangga BSF, sampah yang menggunung lebih mudah diubah untuk jadi magot dan kompos. Jadi, sekaligus mengatasi masalah lingkungan,” kata Rini yang kemudian kembali mematenkan metode kultur larva BSF secara nasional.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Melta Rini Fahmi
Rini mengatakan, masalah pakan ikan yang mahal sering dikeluhkan pembudidaya ikan. Rini pun tertantang untuk mengembangkan magot sebagai pakan ikan yang murah dan bernutrisi tinggi.
Uji coba berjalan di Balai Balai Riset Budidaya Ikan Hias di Depok bekerja sama dengan Pemerintah Kota Depok. Sampah organik dikirim ke balai untuk jadi makanan magot. Dalam hitungan hampir dua minggu, gunungan sampah organik ludes. Magot bisa dipanen untuk jadi pakan ikan, baik yang masih hidup maupun diolah. Sisa sampah jadi kompos yang halus. Meskipun jadi tempat pembuangan sampah organik, lingkungan sekitar balai tidak bau.
“Di dunia global, soal lingkungan, termasuk terkait sampah jadi perhatian. Saya merasa bekerja ramai-rami itu enak. Peneliti tidak masanya bekerja sendiri, tapi bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk industri. Sebagai peneliti saya merasa bahagia jika hasil riset saya membuat orang lain lebih baik dan bahagia,” kata Rini.
Rini berharap semakin banyak peneliti yang berpartisipasi dalam pengembangan magot. Potensi magot tidak hanya untuk pakan ikan, bisa juga untuk peternakan dan pertanian. Selain tentu saja untuk pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dengan investasi lebih murah.
“Saya berharap inovasi ini lebih cepat sampai ke masyarakat dan berdampak signifikan. Pemerintah juga semestinya mulai memartabatkan masyarakatnya untuk mendukung pengelolaan sampah dengan biokonversi yang memanfaatkan magot,” kata Rini.
Melta Rini Fahmi
Lahir: 11 Juni 1976
Pendidikan:
– S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB (1999)
– S2 Aquatic Science, IPB (2004)
– S3 Departemen Biologi IPB (2013)
Paten:
– Paten internasional produksi serangga hidup mini larva dan digunakan untuk pakan ikan (Rini dan Saurin HEM
– Paten nasional metode kultur larva BSF untuk agen biokonversi sampah organik dan pakan ikan. (Rini dan Urip)
Penghargaan
– Peneliti Terbaik lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (2007)
– Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI (2017)
ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 21 Februari 2019