Megafauna Punah karena Dimakan Manusia

- Editor

Jumat, 8 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hiu paus (Rhincodon typus), ikan terbesar ini juga terdapat di Teluk Bicari, sekitar 30 menit dari ibukota Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Di sini terdapat sekitar 40 bagan yang hingga kini terdapata 28 individu berbeda yang 7 individu diantaranya telah di-tagging. Penanda ini dapat memberi info ke satelit lokasi pergerakan, suhu, kecepatan, dan kedalaman berenang hiu paus. Hasil pengamatan pada satelit menunjukkan hiu bertotol-totol di Kaimana ini berenang hingga ke perairan Timor Leste, Banda,  dan Aru. Berenang maupun menyelam bersama hiu paus menjadi andalan di sejumlah daerah dan negara yang juga ingin dikembangkan di Kota Senja Kaimana.

Hiu paus (Rhincodon typus), ikan terbesar ini juga terdapat di Teluk Bicari, sekitar 30 menit dari ibukota Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Di sini terdapat sekitar 40 bagan yang hingga kini terdapata 28 individu berbeda yang 7 individu diantaranya telah di-tagging. Penanda ini dapat memberi info ke satelit lokasi pergerakan, suhu, kecepatan, dan kedalaman berenang hiu paus. Hasil pengamatan pada satelit menunjukkan hiu bertotol-totol di Kaimana ini berenang hingga ke perairan Timor Leste, Banda, dan Aru. Berenang maupun menyelam bersama hiu paus menjadi andalan di sejumlah daerah dan negara yang juga ingin dikembangkan di Kota Senja Kaimana.

Hewan besar atau megafauna sangat rentan punah. Penelitian oleh tim ilmuwan internasional menemukan fakta mengejutkan bahwa penyebab terbesar kepunahan megafauna sejak tahun 1500 Masehi atau sekitar zaman Majapahit akhir (1297 – 1527) adalah karena dimakan manusia.

AP–Beluga di Akuarium Shedd, Chicago, Amerika Serikat, 27 Agustus 2012. Beluga terancam oleh penangkapan yang berlebihan untuk daging dan kaviar.

Penelitian berjudul “Apakah Kita Memakan Megafauna Dunia Hingga Punah?” itu dimuat dalam jurnal Conservation Letters edisi 6 Februari 2019 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penelitian dilakukan tim ilmuwan dari Universitas Negeri Oregon, Amerika Serikat (AS); Universitas Teknologi Sydney, Australia; Universitas Dalhousie, Kanada; Universitas Paris-Saclay, Perancis; dan Universitas Otonomi Nasional Meksiko.

Tim peneliti ini mendefinisikan megafauna sebagai spesies hewan bertulang belakang atau vertebrata yang luar biasa besar dibandingkan dengan spesies lain di kelas yang sama.

Dengan demikian, peneliti menganggap megafauna sebagai semua spesies dengan berat badan ? 100 kg untuk mamalia, ikan bersirip, dan ikan bertulang rawan. Selain itu semua spesies dengan berat badan ?40 kg untuk amfibi, burung, dan reptil, karena mereka memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil, rata-rata, dibandingkan dengan mamalia dan ikan besar.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Beberapa jurnalis Harian Kompas sedang menyelam bersama Hiu paus (Rhincodon typus) dalam salah satu rangkaian Jelajah Terumbu Karang beberapa waktu lalu. Daging hiu paus sangat dihargai di beberapa pasar Asia dan permintaan akan sup sirip hiu mengancam spesies ini.

“Ambang batas baru itu menambah jumlah dan keragaman spesies megafauna, sehingga memungkinkan untuk analisis yang lebih luas tentang status dan efek ekologis hewan vertebrata terbesar di dunia,” kata William Ripple, guru besar ekologi Universitas Negeri Oregon.

Tim peneliti menganalisis bagaimana aktivitas manusia berdampak pada status konservasi megafauna dalam enam kelas: mamalia, ikan bersirip, ikan bertulang rawan, amfibi, burung, dan reptil.

Tim menggabungkan data massa tubuh dengan informasi tentang risiko kepunahan tingkat spesies dari Daftar Merah Serikat Internasional untuk Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN). Tim menghitung persentase megafauna dan semua vertebrata yang telah punah sejak 1500 Masehi, yaitu jangka waktu yang digunakan dalam Daftar Merah IUCN.

Hasilnya, dari 39.493 spesies vertebrata dalam Daftar Merah IUCN, 21 persen dikategorikan sebagai terancam dan 46 persen memiliki populasi yang menurun. Sebaliknya, dari 292 spesies megafauna, 70 persen memiliki populasi yang menurun dan 59 persen terancam punah. Secara umum, ekosistem air tawar mengandung proporsi megafauna terancam yang paling tinggi, sedangkan sistem kelautan mengandung proporsi megafauna terancam yang lebih rendah.

Jitro Ngoranubun (29, kiri), warga Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku dibantu anak-anak menarik penyu belimbing di perairan tak jauh dari desanya, 3 Desember 2011. Penyu belimbing terancam oleh tangkapan sampingan perikanan serta konsumsi telur dan daging manusia.

“Yang mengejutkan, penangkapan langsung megafauna untuk konsumsi daging atau bagian tubuh oleh manusia adalah ancaman terbesar untuk setiap kelas hewan yang diteliti,” demikian tertulis dalam abstrak penelitian.

Konsumsi daging adalah motif paling umum untuk menangkap megafauna untuk semua kelas kecuali reptil di mana mengambil telur berada di peringkat teratas. Alasan utama lainnya untuk menangkap megafauna termasuk penggunaan obat, tangkapan sampingan yang tidak disengaja dalam perikanan dan perangkap, perdagangan hidup, dan berbagai penggunaan bagian tubuh lainnya seperti kulit dan sirip. Lebih dari setengah (64 persen) megafauna terancam punah karena perdagangan global pada spesies ini. Sejak 1500 M, 2 persen persen dari spesies megafauna yang diteliti telah punah.

Spesies megafauna terbesar yang terancam punah dan terancam oleh penangkapan manusia yang mencari daging, bagian tubuh, atau telur mereka, di antaranya adalah hiu paus (Rhincodon typus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), beluga (Huso huso), gajah afrika (Loxodonta Africana), salamander raksasa china (Andrias davidianus), burung unta somalia (Struthio molybdophanes), dan paus biru (Balaenoptera musculus).

AFP–Gajah afrika di Kenya sedang dibius, 2 November 2016. Perburuan gajah meningkat karena meningkatnya permintaan gading.

Daging hiu paus sangat dihargai di beberapa pasar Asia dan permintaan akan sup sirip hiu mengancam spesies ini. Penyu belimbing terancam oleh tangkapan sampingan perikanan serta konsumsi telur dan daging manusia. Beluga terancam oleh penangkapan ikan yang berlebihan untuk daging dan kaviar, yang akan segera menyebabkan kepunahan global dari populasi liar alami yang tersisa. Perburuan gajah meningkat secara kritis karena meningkatnya permintaan gading. Salamander raksasa china terancam oleh perburuan, karena dagingnya dianggap sebagai makanan lezat di Asia. Burung unta somalia ditembak untuk makanan, kulit, dan bulu.

“Hasil kami menunjukkan bahwa kami sedang dalam proses memakan megafauna hingga punah melalui konsumsi berbagai bagian tubuh. Melestarikan megafauna yang tersisa akan menjadi sulit dan rumit,” kata Ripple.

Penelitian terbaru ini memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan para peneliti di Universitas Aarhus, Denmark, tahun 2014. Para peneliti menganalisis semua mamalia besar dengan berat badan setidaknya 10 kg yang ada selama periode 132.000-1.000 tahun yang lalu, periode di mana kepunahan terjadi.

Para peneliti Denmark menemukan bahwa total 177 spesies mamalia besar menghilang selama periode ini. Afrika kehilangan 18 spesies dan Eropa 19, sementara Asia kehilangan 38 spesies, Australia dan daerah sekitarnya 26, Amerika Utara 43 dan Amerika Selatan total 62 spesies mamalia besar.

Kesimpulannya secara tegas menunjuk pada manusia sebagai penyebab kepunahan massal hewan besar di seluruh dunia selama 100.000 tahun terakhir. “Hasil kami sangat menggarisbawahi fakta bahwa ekspansi manusia di seluruh dunia berarti hilangnya hewan besar,” kata Søren Faurby, peneliti Universitas Aarhus, seperti dikutip sciencedaily.com 4 Juni 2014.

Oleh karena itu, Ripple dan rekan-rekannya menyarankan, meminimalkan pembunuhan langsung vertebrata terbesar di dunia adalah strategi konservasi prioritas yang mungkin menyelamatkan banyak spesies ikonik ini dan fungsi serta layanan yang mereka berikan.

Oleh SUBUR TJAHJONO

Sumber: Kompas, 7 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB