Menjelang pemilihan umum 2019, besaran anggaran riset menjadi isu yang ramai di dunia media sosial setelah diunggah salah satu pengusaha muda. Isu itu juga muncul dalam debat calon wakil presiden Minggu (17/3/2019) meski tidak sampai dielaborasi mendalam.
Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia Teguh Rahardjo di Jakarta, Selasa (19/3/2019) mengatakan pengelolaan dana riset di Indonesia tidak efisien. Selain jumlahnya kecil, dana itu tersebar di banyak kementerian dan lembaga.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Proses pemanasan dalam tanur sedang berlangsung di Laboratorium Pirometalurgi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (12/3/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anggaran riset Indonesia pada 2016 mencapai Rp 30,76 triliun atau 0,25 persen produk domestik bruto (PDB). Dari jumlah itu, hanya 16,13 persen yang disumbang swasta, sisanya investasi pemerintah.
Pemerintah pusat jadi penyumbang dana riset terbesar, Rp 24,92 triliun. Pemanfaatan dana itu kurang terkontrol karena 80 persen dana riset itu dikelola 81 badan penelitian dan pengembangan (balitbang) kementerian. Namun, hanya 13 balitbang kementerian yang kegiatannya terkait pemajuan iptek, sebagian besar meriset kebijakan kementeriannya.
Sementara enam lembaga penelitian non kementerian (LPNK), seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, hanya hanya mengelola 16 persen anggaran riset. Padahal, LPNK itu ada di garda depan riset dan pengembangan iptek di Indonesia.
“Meski anggarannya kecil, sebagian besar dana untuk operasional lembaga, bukan riset,” katanya. Situasi itu membuat anggaran riset yang benar-benar digunakan untuk riset sangat kecil. Jika demikian, sulit diharapkan muncul inovasi yang berkualitas.
Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna 9 April 2018 pernah mengritik anggaran riset yang tersebar dan terbagi kecil-kecil di banyak balitbang kementerian hingga kurang optimal. Namun, menyatukan semua lembaga riset dalam Badan Riset Nasional (BRN) demi optimalisasi anggaran juga dianggap bukan solusi karena struktur anggaran riset yang unik.
Pola administrasi kaku
Selain itu, lanjut Teguh, pengelolaan dana riset dalam APBN masih memakai mekanisme pengadaan barang dan jasa. Pola administrasi pelaporannya sangat kaku. Di akhir tahun anggaran, jika riset tidak menghasilkan sesuai prediksi awal, periset bisa terjerat kasus hukum.
Proses riset sulit menyesuaikan dengan rentang tahun anggaran karena seringkali riset butuh waktu bertahun-tahun. Riset juga tak selalu berbuah keberhasilan karena kegagalan riset bisa jadi pengetahuan baru.
Karena itu, dana riset sebaiknya dikelola sebagai dana hibah oleh lembaga independen, seperti DIPI yang ada dibawah pengawasan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Menurut Teguh, lembaga pendanaan independen itu tidak perlu tunggal, bisa dibedakan berdasar bidang tertentu atau karakter risetnya, seperti riset dasar atau terapan.
“Cara itu membuat pengontrolan dana riset lebih baik serta menghindari tumpang tindih riset,” katanya.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Staf World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta memberi makan nyamuk Aedes aegypti yang telah mengandung bakteri Wolbachia, Selasa (26/2/2019), di Laboratorium Entomologi WMP Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. WMP merupakan program penelitian penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) menggunakan bakteri Wolbachiaa. Di Indonesia, WMP dijalankan di Yogyakarta atas kerja sama Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Yayasan Tahija.
Dana abadi
Sementara Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini dalam diskusi di AIPI, Jakarta, Kamis (14/3/2019) mengatakan, mulai tahun ini, pemerintah menginisiasi adanya dana abadi riset. Untuk tahun 2019, anggaran yang disediakan mencapai Rp 990 miliar. Hasil pengelolaan dana abadi itu akan dimanfaatkan untuk dana riset.
Dana itu nantinya dikelola kembaga tertentu, bisa lembaga baru atau memanfaatkan lembaga yang ada, seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Namun, kemungkinan besar, lembaga itu tetap akan dalam kontrol pemerintah.
Sementara mekanisme penyalurannya dan siapa yang bisa mendapatkannya masih dalam penggodokan sejumlah kementerian, baik Kemkeu, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, riset yang bisa didanai kemungkinan yang mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional.
“Lembaga pengelola dana abadi riset itu harus sudah terbentuk akhir tahun ini sehingga dananya bisa dicairkan,” kata Didik.–Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumbet: Kompas, 20 Maret 2019