Survei di 23 negara menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu manusia. Fenomena ini dinilai menunjukkan rendahnya literasi ilmu pengetahuan atau sains ke publik yang bisa berimpliaksi pada kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.
Survei dilakukan YouGove, perusahaan analitik data di Inggris, sebagai bagian dari Proyek Globalisme YouGov-Cambridge dan The Guardian. Dalam survei ini, dari 1.001 responden di Indonesia sebanyak 18 persen di antaranya tidak percaya perubahan iklim ulah manusia.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Sejumlah remaja menggelar aksi damai tentang bahaya bencana perubahan iklim di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (15/3/2019). Aksi mereka itu terinspirasi dari gerakan yang dilakukan oleh aktivis remaja asal Swedia, Greta Thunberg.Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peringkat kedua ditempati Arab Saudi dengan 16 persen yang tidak percaya perubahan iklim ulah manusia, disusul Amerika Serikat sebesar 13 persen. Total responden survei yang dilakukan secara daring ini mencapai 25.000 orang dari 23 negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika.
Indonesia menempati peringkat pertama yang tidak percaya perubahan iklim sebagai ulah manusia. Sumber: The Guardian dan YouGove
“Ini bisa menjadi refleksi kita tentang rendahnya literasi sains di masyarakat. Jangankan di kalangan masyarakat biasa, sampai saat ini masih ada akademisi di Indonesia yang belum percaya bahwa perubahan iklim ini dipicu ulah manusia,” kata Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Alan Koropitan, Minggu (12/5/2019), menanggapi survei ini.
Menurut Alan, fenomena post truth (pasca kebenaran), di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang obyektif, turut mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika hal ini menguat di era Presiden Donald Trump, bahkan sang presiden berulangkali menyatakan bahwa perubahan sebagai konspirasi untuk menekan ekonomi mereka.
“Kalau dari aspek kebijakan pemerintah Indonesia, sekarang sudah ada kemauan politik dan beberapa kebijakan yang dibuat, misalnya sudah ada langkah memasukkan antisipasi perubahan iklim dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Tinggal implementeasinya,” kata dia.
Namun di tingkat masyarakat, literasi terkait perubahan iklim memang sangat rendah. “Di sisi lain kita saat ini terus di-bombardir hal-hal yang anti-sains, terutama melalui sosial media. Akibatnya, faham-faham yang tidak ada dasar ilmiahnya mudah sekali masuk ke masyarakat,” kata dia.
Respon dan tanggung jawab
Alan khawatir, rendahnya literasi publik terkait perubahan iklim ini akan mempengaruhi respon dan tanggungjawab mereka untuk turut serta mengerem laju pemanasan global yang menjadi pemicunya. Padahal, sains sudah menunjukkan, laju pemanasan iklim dipercepat oleh ulah manusia, terutama setelah Revolusi Industri dengan tingginya laju emisi karbon.
Peneliti di Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC UI) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, Sonny Mumbunan, menyoroti proporsi jumlah sampel dalam survei ini perlu dipertanyakan. “Kenapa misalnya jumlah responden yang diwawancara di Jerman 1.497 atau lebih tinggi dibandingkan Indonesia, padahal populasi kita jauh lebih banyak. China yang penduduknya jauh lebih besar respondennya juga hanya 1.021 responden,” kata dia.
Sonny menambahkan, di luar metode statistik proporsi responden ini, angka 18 persen masyarakat Indonesia yang tidak percaya perubahan iklim karena ulah manusia tergolong rendah. “Kalau dari survei ini artinya 1 dari 5 orang yang tidak percaya perubahan iklim ulah manusia atau ada 4 orang yang percaya. Ini sudah cukup baik untuk Indonesia, mengingat perubahan iklim memang fenomena kompleks yang tidak mudah dipahami masyarakat,” kata dia.
Mengacu pada penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS)-Sonoma State University (SSU) tentang isu-isu lingkungan hidup dan preferensi politik dalam pemilu 2019, isu-isu lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim, tidak dianggap penting jika dibandingkan dengan isu ekonomi. Selain itu, juga ditemukan adanya kesenjangan diskursus isu lingkungan hidup di tingkat teknokrasi dan masyarakat.
Sekalipun demikian, menurut Sonny, masyarakat sebenarnya telah merasakan dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Survei yang dilakukannya terhadap 1.350 petani sawit di lima kabupaten di Sumatera Selatan dan Riau menunjukkan, kebakaran hutan, asap, dan kekeringan merupakan risiko yang dianggap sangat penting dan dikhawatirkan berdampak pada pendapatan mereka.
“Tetapi, kalau responden kita ditanya apakah hal itu terkait perubahan iklim karena ulah kita, pasti jawabannya tidak atau tidak tahu,” kata dia.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 13 Mei 2019