Meski tidak semeriah saat gerhana matahari total pada 9 Maret 2016, masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia antusias menyaksikan gerhana bulan total pada Rabu (31/1) malam. Selain karena gerhana bulan total kali ini termasuk fenomena langka, yaitu terjadi bersamaan dengan Bulan Super dan Bulan Biru, atau disebut Bulan Super Darah Biru, fenomena ini juga menjadi momentum untuk belajar soal astronomi.
Di Jakarta, sekitar 7.000 warga memadati tempat observasi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini. Himpunan Astronomi Amatir Jakarta dan Planetarium Jakarta menyediakan 16 teleskop, yakni 12 teleskop untuk dipergunakan warga dan empat lainnya untuk pengambilan data foto gerhana bulan total (GBT).
Warga juga memadati gedung Pusat Peragaan Iptek Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Taman Mini Indonesia Indah untuk menyaksikan GBT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Fenomena gerhana bulan total yang disebut juga Bulan Super Darah Biru terlihat di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (31/1) pukul 21.09.–Fenomena gerhana bulan total yang disebut juga Bulan Super Darah Biru kali ini membuat masyarakat penasaran dan tertarik mengamati secara langsung.
Pengamatan GBT juga dilakukan di wilayah pantai, seperti di Pantai Ancol, dan di tempat-tempat tinggi, seperti gedung-gedung bertingkat. Warga di Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Ambon, dan kota-kota lain juga tidak melewatkan momen istimewa ini.
Sesuai perkiraan, GBT terjadi pada pukul 19.51 WIB hingga 21.07 WIB, yang diawali dengan gerhana bulan penumbra pada pukul 17.51 WIB yang berakhir pada pukul 23.08 WIB. Namun, di sejumlah tempat, harapan warga dapat mengamati proses GBT secara sempurna terganggu oleh awan.
Di Jakarta, bulan sempat tertutup awan sekitar satu jam, dari pukul 19.30. Di Bandung dan Sumedang, Jawa Barat, masyarakat bahkan sama sekali tidak bisa menyaksikan GBT karena langit tertutup awan sejak sore hari. Namun, kekecewaan peserta observasi GBT di Gedung Sabuga, Kota Bandung, terobati dengan sajian permainan sains di Sains Gallery gedung tersebut.
Warga Yogyakarta juga kesulitan melihat GBT karena langit tertutup awan tebal. Bahkan, hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta sejak pukul 17.30 WIB. ”Agak sedikit kecewa karena bulannya tak terlihat. Padahal, saya penasaran seperti apa peristiwa langka ini,” kata Ahmad Mustaqim, warga Kota Yogyakarta.
Bulan merah
Di Pasuruan, Jawa Timur, GBT terlihat sangat jelas tanpa terhalang awan, bahkan terlihat lebih merah dibandingkan dengan pengamatan dari tempat lain. Namun, warna merah Bulan ini hanya teramati dengan menggunakan teleskop.
Pengamatan tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menggunakan teleskop portabel Lunt Engineering menunjukkan gerhana bulan yang berwarna merah dengan beberapa bayangan hitam di setengah bagiannya. Pengamatan Lapan di Garut juga menunjukkan warna merah pada Bulan sangat cerah.
”Warna merah yang tampak pada Bulan akibat cahaya Matahari yang dibiaskan ke arah Bulan sudah mengalami hamburan. Adapun penampakan cahaya biru banyak dihamburkan oleh atmosfer Bumi,” kata Kepala Lapan yang juga Profesor Riset Astronomi Astrofisika, Thomas Djamaluddin, di Jakarta.
Secara terpisah, astronom Institut Teknologi Bandung (ITB), Moedji Raharto, menduga, GBT di Pasuruan terlihat lebih merah dibandingkan dari tempat lain karena kandungan uap air di sana lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. ”Uap itu dipicu banyak pepohonan sehingga kelembaban air di sana lebih tinggi. Kadar kelembaban air itu menghamburkan uap air sehingga bulan terlihat lebih merah,” katanya.
Belajar astronomi
Di Sasana Budaya Ganesha Kota Bandung, selain melakukan observasi, masyarakat juga melakukan shalat Gerhana dan ceramah oleh Irfan Hakim yang merupakan dosen Astronomi ITB. Shalat Gerhana juga dilakukan umat Islam di masjid-masjid di seluruh Indonesia.
Sementara itu, selain menayangkan GBT dari layar proyektor, petugas PP Iptek Taman Mini Indonesia Indah juga memberikan penjelasan singkat kepada warga yang aktif bertanya soal GBT kali ini.
”Kami bersyukur masyarakat sekarang semakin paham tentang fenomena alam ini,” kata Direktur PP Iptek M Syachrial Annas.
Ada beberapa pendapat mengenai fenomena langka yang disebut Bulan Super Darah Biru ini. Ada pakar yang menyatakan bahwa fenomena langka ini terakhir terjadi 152 tahun lalu.
Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa data yang menyebut Bulan Super Darah Biru terjadi 152 tahun lalu dinilai hanya berlaku bagi pengamat di Amerika karena peristiwa serupa terakhir terjadi pada 31 Maret 1866. Namun, penyebutan Bulan Super Darah Biru tak tepat karena saat itu hanya GBT dan Bulan Biru, tak terjadi Bulan Super.
Terjadinya Bulan Super Darah Biru bukan siklus berulang dengan waktu sama. Bulan Super Darah Biru akan terjadi lagi di Indonesia pada 31 Januari 2037. ”Bulan Super Darah Biru terakhir di Indonesia terjadi 30 Desember 1982,” kata komunikator astronomi dan pengelola komunitas astronomi langitselatan, Avivah Yamani (Kompas, 30 Januari 2018).
Pendapat berbeda diungkapkan pakar Moedji Raharto dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati. Gerhana bulan total pertama pada 2018 bersamaan Bulan Super dan Bulan Biru ini disebut terjadi 152 tahun lalu, tetapi bukan di Indonesia. ”Dari catatan data kami, sebelumnya belum pernah ada peristiwa serupa di Indonesia,” kata Dwikorita.
Thomas Djamaluddin, dalam keterangan pers, menyatakan, tiga fenomena terkait Bulan yang terjadi bersamaan, yakni Bulan Super, Bulan Biru, dan gerhana bulan termasuk langka. Peristiwa itu terakhir diamati pada 31 Maret 1866 atau 152 tahun lalu.
Namun, Moedji yang juga Kepala Observatorium Bosscha 1999-2004 mengakui, perlu konfirmasi untuk memastikan tiga fenomena terkait bulan itu terjadi bersamaan pada 30 Desember 1982 di Indonesia. Terjadinya tiga fenomena itu 152 tahun lalu juga perlu konfirmasi. (YUN/EVY/HRS/DEA/DD17/BKY/FRN/KRN/DIM/TAM/DMU/ADY/WER/RWN/IKI)
Sumber: Kompas, 1 Februari 2018
——————
Warga Antusias Nikmati Gerhana untuk Tepis Mitos
Sebanyak 392 warga dari berbagai kalangan hadir meramaikan pengamatan gerhana bulan total di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Taman Mini Indonesia Indah. Pengalaman tidak bisa menikmati gerhana bulan karena mitos mendorong mereka untuk membuktikan kebenaran.
Salah satunya Angel Nasution (46), warga asal Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Perempuan yang lahir dan besar di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara itu mengaku belum pernah menikmati gerhana bulan dan matahari.
Orang tua dan warga di lingkungannya melarang untuk menikmati gerhana, karena dipercaya akan menimbulkan kebutaan. Angel melanjutkan, mitos itu masih ia temukan ketika ia telah merantau ke Batam, Kepulauan Riau.
“Ini pertama kalinya saya mengikuti acara untuk menyaksikan gerhana bulan,” kata Angel yang sudah empat tahun terakhir tinggal di Jakarta.
Jam18.52—awal–Kompas/Arbain Rambey (ARB)
Hal serupa dialami Rukinah (58), pedagang minuman di Museum Migas Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia mengatakan, di Yogyakarta, kampung halamannya, para orang tua melarang anak-anak melihat gerhana. Bagi ibu hamil, perlu dilakukan upacara khusus untuk menghilangkan sial setelah melihat gerhana.
“Sebelumnya, saya tidak berani melihat gerhana,” ujar Rukinah.
Baik Rukinah maupun Angel memberanikan diri untuk mengikuti pengamatan gerhana bulan total setelah melihat publikasi di berbagai tempat. Di jalan, mereka melihat spanduk-spanduk acara. Begitu pula di media massa.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY–Jam 22.29
“Tadi sore saya melihat di televisi, ada beberapa tempat yang menyelenggarakan acara untuk melihat gerhana. Lokasi TMII paling dekat dengan rumah saya, jadi saya ke sini,” kata Angel. Ia tidak mengetahui bahwa momen gerhana bulan total pertama di 2018 ini bertepatan pula dengan fenomena bulan super dan bulan biru. Baginya, yang terpenting, ia bisa keluar rumah saat gerhana berlangsung.
EBERHARD OJONG UNTUK KOMPAS–Gerhana bulan total dari kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, Rabu (31/1/2018) pukul 21.57 WIB
Berbeda dengan Rukinah dan Angel, Naia Prihallysta (13) justru sangat antusias dengan gabungan peristiwa gerhana bulan total, bulan super, dan bulan biru atau kerap disebut bulan super darah biru. Menurut murid SMP Al Izhar, Pondok Labu, Jakarta, itu, momen yang memadukan tiga kejadian sekaligus itu belum tentu terjadi lagi. Oleh karena itu, ia bersedia ikut serta saat mendapat tawaran dari sekolah.
Juliardi (23), guru SMP Al Izhar, mengatakan, sekolahnya bekerja sama dengan PP Iptek untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan berbasis sains. Menurut dia, kegiatan mengamati gerhana bulan total secara langsung amat bermanfaat dalam pembelajaran siswa.
“Biasanya kami hanya mengajarkan teori gerhana di kelas, tetapi momen ini merupakan kesempatan yang langka, karena bisa memperlihatkan contoh langsung kepada siswa,” kata Juliardi.
Oleh karena itu, sekolahnya mengirimkan 31 murid dan lima guru ke PP Iptek. Mereka juga membawa tiga teropong binokular untuk memfasilitasi murid-murid melihat gerhana bulan.
Selain rombongan SMP Al Izhar, PP Iptek juga diramaikan warga-warga lain. Mereka sudah datang ke lokasi satu jam sebelum rangkaian acara digelar.
Para pengunjung sangat aktif merespon percobaan sains yang dilaksanakan sebelum pengamatan berlangsung. Mereka mengikuti percobaan mencampur bubuk sitrun, asam sitrat, dan air yang dapat memghasilkan karbon dioksida. Karbon dioksida hang dihasilkan dalam sebuah botol kaca itu kemudiam digunakan untuk mengisi udara ke sebuah balon.
Selain itu, mereka juga melakukan percobaan menggunakan gas hexaflouride. Beberapa siswa kaget dengan efek gas hexaflouride yang dapat mengubah suara mereka selama beberapa detik setelah menelannya.
“Selain percobaan sains, kami juga memutarkan film mengenai gerhana, agar para pengunjung memahami kenapa ada gerhana bulan total, bulan super, dan bulan biru,” kata Direktur PP Iptek Mochammad Syachrial Annas.
KURNIA YUNITA RAHAYU–Tim PP IPTEK TMII melakukan tanya jawab dengan masyarakat sebelum melakukan percobaan sains tentang gas. Mereka masih menunggu waktu pengamatan gerhana bulan
Setelah dua kegiatan itu, para pengunjung memadati pelataran atas PP Iptek. Di pelataran tak beratap itu, dipasang tiga buah teleskop berukuran enam inchi, delapan inchi, dan 14 sentimeter. Koordinator kegiatan pengamatan Wahyuningsih mengatakan, teleskop berukuran delapan inchi disambungkan ke layar televisi untuk mengurangi antrean pengunjung yang ingin menikmati gerhana lewat dua teleskop lainnya.
Sejak sekitar pukul 19.00 hingga 21.30, antrean pengunjung di dua teleskop itu belum habis. Warga tetap antusias menunggu giliran walaupun gerhana bulan total tidak terlalu tampak.
Sepanjang pengamatan, bulan jarang terlihat, malah lebih sering tertutup awan. Hanya sesekali awan bergeser sehingga seperempat bagian bulan bisa terlihat.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS–Masyarakat bersiap menikmati percobaan sains tentang gas di PP IPTEK TMII, Jakarta, Rabu (31/1).
Berdasarkan perkiraan PP Iptek, puncak gerhana berlangsung pada pukul 20.00. Pada saat itu pula, penantian pengunjung sedikit terbayar. Gerhana bulan total dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Selama 15 menit, bulan tampak merah, menunjukkam dirinya yang sedang dalam posisi bulam super darah biru. Namun, jika menggunakan teleskop, fenomena itu terlihat hingga pukul 21.00.
Meski gerhana bulan total hanya terlihat dalam beberapa menit, antusiasme pengunjung sama sekali tidak surut. Setiap orang siap sedia memotret dengan telepon genggam. Tidak sedikit pula mereka yang membawa kamera profesional beserta tripod. Mereka berdiri berjajar, memenuhi sayap kanan pelataran atas PP Iptek.
Ketika mendapat kesempatan mencoba melihat gerhana bulan lewat teleskop, sekitar pukul 21.45, yang tampak hanya tiga perempat bagian bulan. Warnanya pun sudah putih terang, tidak ada lagi merah yang tersisa.
“Ini sudah masuk fase gerhana sebagian, jadi terlihatnya seperti bulan sabit biasa saja,” kata Wahyuningsih yang berlatar belakang pendidikan astronomi.
Memasuki fase itu, satu persatu pengunjung undur diri. Bulan masih bersinar terang, diiringi gerimis yang mulai turun.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Gerhana Bulan total terlihat dari kawasan Pamulang, Tagerang Selatan, Banten, Rabu (31/1). Bulan dalam konfigurasi supermoon dan bluemoon. Supermoon terjadi ketika purnama Bulan dalam jarak terdekatnya dengan Bumi sehingga ukurannya menjadi 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang daripada biasanya. Bluemoon adalah Bulan purnama yang terjadi dua kali dalam satu bulan kalender. Munculnya tiga fenomena ini merupakan kejadian langka. Peristiwa serupa terakhir terjadi pada 31 Maret 1866.
Taman Ismail Marzuki
Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan. Antusiasme mereka diwadahi pula oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta yang memasang 11 teleskop refraktor dan reflektor yang masing-masing berukur 900 mm agar warga bisa lebih jelas menyaksikan fenomena yang hanya terjadi 152 tahun sekali itu.
Berdasarkan pengamatan Kompas di Taman Ismail Marzuki, Rabu (31/1), warga sudah mulai memenuhi kawasan Taman Ismail Marzuki sejak sebelum Magrib atau sekitar pukul 18.00. Mereka datang berbondong bersama teman maupun keluarga. Ada yang membawa kamera dengan lensa cukup panjang agar bisa mendokumentasikan fenomena itu. Ada pula yang hanya datang untuk melihat atau menikmati dengan kasat mata.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Masyarakat antusias ke Taman Ismail Marzuki
Suasana di sana pun cukup semarak. Warga antusias bertanya pada para pengamat yang berasal dari Himpunan Astronomi Amatir Indonesia. Di sisi lain, mereka juga rebutan untuk bisa mengintip lewat viewfinder teleskop yang tersedia agar bisa melihat fenomena itu lebih jelas.
Salah satu pengunjung Suci Anggrayani (26) ketika ditemui mengatakan, fenomena ini sangat langkah. Bisa dibilang, hanya sekali seumur hidup bisa menyaksikannya.
Untuk itu, ia bertekad datang ke Taman Ismail Marzuki agar bisa merasakan semangat warga melihat fenomena itu dan bisa melihat lebih jelas fenomena itu lewat teleskop yang tersedia. “Namun, sayangnya, cuaca mendung sehingga penampakan bulannya tidak jelas,” ujarnya.
ANDRIAN FAJRIANSYAH–Rabu (31/1), Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan
Pengawas teleskop nomor 10 sekaligus anggota Himpunan Astronomi Amatir Indonesia Fernanda menuturkan, timnya membawa 15 teleskop refraktor dan reflektor yang disebar di halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Sebanyak 4 teleskop khusus untuk petugas pengamat, sedangkan 11 teleskop disediakan untuk warga yang ingin melihat fenomena itu.
Peralatan itu telah disiapkan sejak pukul 16.00. Adapun proses pengamatan dimulai sejak pukul 18.00.
Menurut Fernanda, fenomena kali ini sangat langkah. Sebab, terjadi pertemuan tiga fenomena dalam satu waktu bersamaan, yakni bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan. Fenomena seperti itu hanya terjadi 152 tahun sekali. “Kalau bulan purnama saja, atau bulan biru saja, atau gerhana bulan saja, bisa terjadi setiap tahun ataupun dalam rentang waktu lebih cepat. Namun, bila bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan terjadi bersamaan, itu hanya terjadi 152 tahun sekali,” ucapnya.
Atas dasar itu, para peneliti ataupun pengamat astronomi antusias mengamati fenomena itu. Dari fernomena tersebut, mereka bisa melihat warna bulan yang berbeda dari biasanya, yakni lebih merah karena cahaya matahari dibiaskan oleh atmosfer bumi. Mereka pun bisa melihat kontur bulan lebih jelas karena memang saat yang bersamaan posisi bulan dan bumi ada di jarak cukup dekat, yakni 350.000 kilometer. “Kita bisa mempelajari kondisi bulan yang banyak dari fenomena tersebut,” kata Fernanda.
Fernanda menjelaskan, fenomena itu mulai terjadi sejak pukul 18.00. Mengalami masa puncak atau bulan purnama penuh pada pukul 20.30. Dan berakhir sekitar pukul 23.00.
Pengamatan fenomena itu bisa dilakukan di hampir semua wilayah Indonesia. Tempat terbaik di dataran tinggi yang bercuaca cerah dan minim polusi cahaya. “Namun, kali ini di Jakarta, cuaca mendung dan ada polusi cahaya. Akibatnya, pengamatan tidak bisa optimal. Bulan lebih banyak tertutup awan,” terangnya. (DD01/DRI/DD09)
Sumber: Kompas, 31 Januari 2018