Tenggelamnya KRI Nanggala-402 membawa reflektif bagi Indonesia sebagai bangsa (yang pernah) menguasai maritim. Dari berbagai sisi riset, eksplorasi, dan industri kelautan, masih ada sejumlah pekerjaan rumah.
Lautan telah menjadi bagian dari sejarah peradaban kita dan seharusnya juga masa depan kita. Meski demikian, pengetahuan dan penguasaan kita terhadap laut yang merupakan dua pertiga dari luas wilayah kita masih sangat terbatas. Tenggelamnya KRI Nanggala-402 seharusnya menjadi refleksi untuk membenahinya.
Sejak masih di sekolah dasar, kita telah belajar tentang negara kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau. Lebih dari hafalan di sekolah, laut sebenarnya merupakan akar kebudayaan dan fondasi kehidupan manusia Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepulauan Indonesia, persisnya wilayah Wallacea yang meliputi Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara, merupakan tempat paling awal bagi Homo sapiens mengembangkan teknologi dan budaya maritim. Patrick Roberts, arkeolog dari Max Planck Institute, Jerman, di jurnal Nature Communication (2020) menemukan bukti hunian dan budaya maritim awal itu di pesisir Pulau Alor dan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, sejak 42.000 tahun lalu.
Arkeolog Sue O’Connor dan tim di jurnal Nature (2011) menyebutkan, Homo sapiens di Nusantara telah melakukan perjalanan laut jarak jauh ke Australia sejak 50.000 tahun lalu. Ini dibuktikan oleh temuan sisa-sisa spesies ikan pelagis seperti tuna dan alat pancing laut dalam berumur sekitar 42.000 tahun di situs Jerimalai di Timor Timur. Alat penangkapan ikan pelagis ini merupakan yang tertua di dunia.
Kekuatan negeri maritim, terutama membutuhkan karakter maritim yang kuat, didukung teknologi terkait kapal (termasuk kapal selam), pelabuhan, pengolahan ikan, kemampuan menjaga, hingga mengeksplorasi lautan dengan berbagai riset.
Berikutnya, kemampuan maritim manusia modern awal di Nusantara, yang menjadi leluhur orang Papua dan Aborigin-Australia ini, dimatangkan oleh kedatangan penutur Austronesia sekitar 5.000 tahun lalu. Leluhur Austronesia ini dikenal selain memiliki budaya bercocok tanam padi, juga berlayar.
Sejak sekitar 1.200 tahun lalu, kafilah berperahu dari Nusantara telah sukses mengarungi Samudra Hindia hingga mendarat di Pulau Madagaskar, Afrika. Pelayaran antarbenua sekitar 7.600 kilometer itu kemudian membentuk koloni penutur Austronesia di timur Benua Afrika.
Penelitian berbasis genetik yang dilakukan Pradiptajati Kusuma dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim di Nature Scientific Reports (2016) membuktikan, migrasi ke Madagaskar ini dilakukan Orang Banjar dari Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Orang Banjar memiliki genetika paduan Dayak Maanyan dengan pelaut Melayu.
Kemampuan bahari nenek moyang, menurut sejarawan bahari AB Lapian (2008), didukung teknologi melaut, seperti beragam jenis angkutan laut untuk pelayaran antarpulau, bahkan pelayaran samudera. Tak hanya itu, pelaut Nusantara masa lalu juga telah mahir membaca angin dan menggunakan navigasi perbintangan.
Dari pelaut Nusantara, navigator Yunani, Hippalus, tahu rahasia angin muson yang mendorong perahu layar dari Laut Arab ke pantai India, lalu ke India timur (Nusantara) pada Oktober-April. Sebaliknya, angin deras bertiup dari Nusantara ke Laut Arab pada April-Oktober.
Tradisi dan teknologi maritim masih bertahan hingga abad ke-16. Ketika Gubernur Jenderal Portugis di Goa, Afonso de Alburqueque, meninggalkan Malaka tahun 1512, ia membawa serta 60 pembuat perahu dari Jawa bagian utara.
Kemunduran
Ironisnya, armada pelayaran kita kini dikuasai asing. Sejak 1987, menurut Rokhmin Dahuri (2014), Indonesia menghamburkan devisa rata-rata 16 miliar dollar AS per tahun untuk membayar jasa armada kapal asing guna mengangkut barang ekspor dan impor. Bahkan, sebagian beroperasi antarpulau di Indonesia.
Kemunduran tradisi maritim juga terlihat dari postur ekonomi Indonesia yang bertumpu pada industri pertambangan, kehutanan, dan pertanian yang semuanya berbasis daratan. Kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya sekitar 20 persen. Padahal, lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan beragam sumber daya yang masih minim dieksplorasi.
Kita masih ingat pidato Presiden Joko Widodo saat baru terpilih di periode pertamanya untuk mewujudkan (kembali) Indonesia sebagai ”negeri maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.” Hal ini kemudian diterjemahkan dengan pembangunan tol laut, dengan membangun infrastruktur pelabuhan dan pelayaran.
Namun, kekuatan negeri maritim terutama membutuhkan karakter maritim yang kuat, didukung teknologi terkait kapal (termasuk kapal selam), pelabuhan, pengolahan ikan, kemampuan menjaga, hingga mengeksplorasi lautan dengan berbagai riset. Penguasaan teknologi dan industri maritim ini masih sangat tertinggal.
Bahkan, terkait kedaulatan perairan, pada tahun 2019 dan 2020 kita melihat kenyataan pahit pencurian ikan dan pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara oleh kapal ikan China dan pasukan pengawal pantainya. Selain itu, tiga drone bawah laut China ditemukan di perairan Indonesia pada 2019 di pulau dekat Laut China Selatan, Januari 2020 di Jawa Timur, dan Desember 2020 di perairan Selayar, Sulawesi Selatan.
Dibandingkan dengan China, armada laut kita memang tidak ada apa-apanya. China, misalnya, memiliki setidaknya 62 kapal selam, dibandingkan dengan Indonesia yang kini hanya memiliki empat kapal selam, setelah hancurnya KRI Nanggala-402. Belum lagi jumlah armada kapalnya hingga drone bawah laut, yang jauh tak sebanding. Lebih dari itu, hingga saat ini, Indonesia tak memiliki teknologi dan industri yang memadai untuk memproduksi armada sendiri sehingga harus bergantung pada negara lain.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 28 April 2021