Pulau Jawa di masa lalu adalah permata hijau di sabuk khatulistiwa yang diairi sungai-sungai nan permai. Itulah yang tergambar dalam The History of Java, buku yang ditulis Thomas Stamford Raffles saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816.
Raffles menulis, hutan mangrove tumbuh lebat di sepanjang pantai utara Jawa. Pantainya sangat indah dengan udara tropis yang hangat. Di sebelah selatannya terdapat hutan alam dan deretan gunung api nan subur.
“Kehijauannya abadi,” tulis Raffles. “Pada musim terpanas, udara masih tetap segar, sementara pada musim kering anak-anak sungai masih tetap berisi air tawar. Dari sungai inilah para petani mengairi sawah yang bertingkat-tingkat.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua abad kemudian, gambaran tentang kepermaian Pulau Jawa itu sirna.
Silang kepentingan
Dengan kepadatan penduduk yang mencapai 1.317 jiwa per kilometer, Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia, bahkan di dunia. Sebanyak 160.293.748 jiwa menyesaki daratan yang hanya seluas 126.700 kilometer persegi.
Tak hanya disesaki sekitar 60 persen penduduk Indonesia, Jawa juga menjadi pusat industri, perdagangan, dan pemerintahan. Situasi ini membuat setiap jengkal tanah dan tiap tetes air di Pulau Jawa menjadi sedemikian berharga karena diperebutkan sedemikian banyak orang dan kepentingan.
Maka, Jawa adalah juga pusat sengketa sosial. Sengketa ini kebanyakan dipicu perebutan sumber daya alam, selain karena kesenjangan sosial ekonomi. Indeks gini yang semakin melebar secara nasional, mencapai 0,413 pada tahun 2013 dan merupakan yang tertinggi sejak 1964, sebagian disumbangkan oleh kesenjangan tinggi di Jakarta dan kota-kota lain di Pulau Jawa.
Namun, di tengah keterbatasan daya dukung alamnya, pembangunan industri kelas berat dan sumber pencemar tinggi terus dipaksakan, misalnya industri semen. Karst yang merupakan tandon air terbaik di Jawa terus dibongkar demi tambang semen. Setelah Pegunungan Kendeng Utara di Rembang dan Pati, giliran karst Gombong juga akan dibongkar.
Hutan alam di Jawa yang tinggal 0,4 juta hektar (data 2005) terus dikonversi demi industri. Contohnya, izin pinjam pakai hutan untuk eksplorasi tambang di Jawa Timur saja mencapai 3.983 hektar dan di Jawa Barat 168,35 hektar. Dari aspek ekologi, Jawa jelas memasuki tahap kritis.
Indikasi krisis ekologi di Jawa bisa dilihat dari kian tingginya frekuensi bencana. Data indeks risiko bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana.
Dari 118 kabupaten atau kota di Jawa, 94 memiliki risiko banjir sangat tinggi. Banjir melanda nyaris semua kota di Jawa di setiap musim hujan, menimbulkan kerugian triliunan rupiah. Sementara itu, di musim kemarau, 110 kabupaten atau kota di Jawa berisiko mengalami kekeringan.
Pulau Jawa saat ini ibarat kapal bocor yang menuju karam. Bahkan, sebagian daratan benar-benar tenggelam oleh banjir rob, seperti terjadi di pantai utara Jakarta dan Semarang.
Sementara sungai-sungainya tergolong paling buruk kualitas airnya. Sungai Citarum dinobatkan oleh Blacksmith Institute, organisasi yang berbasis di New York, sebagai sungai paling tercemar di dunia pada 2013. Namun, sungai ini, sebagaimana sungai-sungai lain di Jawa, disesaki penduduk.
Kombinasi kehancuran ekologi dan kesenjangan sosial telah memicu ketidakadilan ganda. Mereka yang paling miskin harus menanggung dampak kehancuran lingkungan terbesar.
Pulau Jawa butuh keberpihakan dari pemimpin nasional, yang bervisi ekologis dan berkeadilan sosial, bukan pemimpin yang hanya terobsesi mimpi-mimpi industri dan infrastruktur.–AHMAD ARIF
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Masa Depan Jawa”.