Pemerintah bisa memanfaatkan lahan-lahan kritis pada hutan mangrove sebagai percepatan capaian perhutanan sosial. Masyarakat bisa menjalankan aktivitas budidaya perikanan dan peternakan sekaligus merehabilitasi kerusakan hutan mangrove.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, luas hutan mangrove dalam kondisi kritis mencapai 903.916,88 hektar (ha) di luar kawasan hutan dan 767.223,87 ha di dalam kawasan. Secara total ada 3.497.478,90 ha hutan mangrove di Indonesia (2014).
Jika mengandalkan program KLHK 2015-2019, setiap tahun program itu hanya mampu memulihkan 400 ha hutan mangrove. Pada periode sebelumnya, tahun 2010-2014, realisasi program rehabilitasi mangrove hanya mencapai 31.675 ha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lahan kritis di kawasan hutan itu potensial dikembangkan jadi perhutanan sosial dengan fungsi budidaya. “Rehabilitasi mangrove harus jadi aksi gerakan bersama melibatkan masyarakat. Perhutanan sosial bisa jadi solusi,” kata Cecep Kusmana, Guru Besar Ekologi Mangrove Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa (14/3), di Jakarta.
Lokasi itu hanya pada area-area hutan mangrove yang telanjur dibuka. Jadi, bukan hutan mangrove yang bagus malah dibuka untuk aktivitas budidaya.
Cecep menambahkan, berbagai teknik rehabilitasi yang disertai praktik budidaya bisa diterapkan berkelanjutan sekaligus pada area mangrove yang terdegradasi. Di Deli Serdang, Sumatera Utara, praktik itu diterapkan warga setempat dengan memakai teknik agrosylvopastural fishery. Dengan teknik itu, dalam satu hamparan terdapat peternakan, perikanan, dan pertanian secara bersamaan.
Pendapatan bertambah
Perhitungan di tempat lain menunjukkan, praktik sistem tambak atau empang tumpang sari menghasilkan pendapatan bagi warga Rp 12,641 juta per ha setiap enam bulan. “Kalau usaha ekonomi ditambah peternakan organik, pendapatan bisa lebih tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan studi di IPB, tambak bisa dilakukan pada area mangrove dengan rasio 50:50. Dengan perbandingan seperti itu, serasah mangrove tak terlalu banyak berguguran sehingga tak menurunkan keasaman air tambak. Apabila terlalu asam, pertumbuhan bandeng melambat.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto menyambut baik pemanfaatan kawasan hutan berekosistem mangrove bagi perhutanan sosial. “Sudah ada di Langsat, Sumatera Utara, yang jadi tambak dan tambang, tetapi masyarakat mengembalikannya jadi hutan mangrove dan kami beri pengelolaan hutan kepada masyarakat seluas 410 ha,” ujarnya.
Sejauh ini, KLHK telah memiliki peta indikatif area perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha di seluruh Indonesia, termasuk yang ada di ekosistem mangrove. Namun, ia membutuhkan waktu untuk menghitung luasannya.
Pihaknya siap memberi izin hak kelola perhutanan sosial bagi masyarakat yang punya kelembagaan kuat. Ciri-cirinya, permohonan pengelolaan oleh masyarakat setempat didasarkan pada kebutuhan, bukan proyek pemerintah atau donor atau organisasi nonpemerintah.
Selain itu, program yang akan dijalankan dalam skema perhutanan sosial bersifat padat karya. “Kalau ini dipenuhi, 14 hari sudah kami beri izin (hak kelola),” kata Hadi.
Ekosistem esensial
Antung Deddy Radiansyah, Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial KLHK, mengatakan, kini ada lima ekosistem esensial mangrove, yaitu Teluk Pangpang, Banyuwangi (3.174,6 ha); Jaring Halus, Sumatera Utara (53 ha); Kubu Raya, Kalimantan Barat (65.585 ha); Pemalang, Jawa Tengah (72 ha); dan Gorontalo (135 ha). Pihaknya sedang memproses usulan Pantai Cemara, Jambi (450 ha).
Pengelolaan berformat kawasan ekosistem esensial (KEE) ini baru setahun terbentuk dan berfungsi untuk memastikan pengelolaan antarpengampu kepentingan terkait lokasi hutan mangrove. Contohnya, KEE di Pohuwatu, Gorontalo, diusulkan masyarakat bersama pemerintah daerah karena ingin mendapat manfaat jasa lingkungan wisata.
“Jasa lingkungan ini membuat mangrove tak terusik. Berbeda dengan ekosistem mangrove di dekat sana yang telanjur dibersihkan untuk tambak terbuka,” katanya. (ICH)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2017, di halaman 13 dengan judul “Manfaatkan Lahan Kritis”.