Kecanggihan teknologi komunikasi lewat gawai menciptakan gaya hidup masyarakat perkotaan yang kian aktif berhubungan satu sama lain secara daring. Namun, saat bersamaan, sensasi dunia maya justru rentan mengasingkan dan merenggangkan keterlibatan langsung antarmanusia. Perlu siasat cerdas agar kita mampu memanfaatkan telepon pintar demi kemajuan, tanpa menghilangkan sentuhan nyata.
Gaya hidup bentukan gawai itu terlihat di ruang-ruang publik di kota besar, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Di sebuah kafe di mal di Jakarta, Selasa (14/4), misalnya, lima orang duduk di sofa. Namun, masing-masing sibuk memainkan telepon seluler (ponsel) mereka. Kok begitu? “Ini sambil nunggu teman lain,” kata ?Zmereka berkilah.
Di satu restoran di Serpong, Tangerang Selatan, satu keluarga tengah makan bersama, tetapi saat itu masing-masing juga sibuk memainkan ponsel. Jarang terlihat obrolan bersama.
“Saya harus pakai WA (WhatsApp) untuk mendapat perhatian dari anak yang sibuk dengan gawainya. Padahal, dia ada di seberang meja,” demikian curahan hati seorang ibu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat perkotaan kini seakan kecanduan gawai, terutama ponsel. Sambil jalan kaki di trotoar, bahkan sambil mengendarai sepeda motor, mereka bisa nyambi membalas pesan singkat. Begitu pula saat mereka antre di anjungan tunai mandiri (ATM) sambil pencet ponsel, di dalam mobil pencet tablet, di kamar tidur pencet laptop, di kafe pencet iPod.
“Kalau ponsel mati, rasanya seperti tidak ada kehidupan,” kata pecatur putri nasional Dita Karenza (15) menggambarkan ketika ponselnya mati saat butuh menelepon teman.
Ketidakpekaan
Kian hilangnya sentuhan sosial langsung itu biasa disebut electronic displays of insensitivity (EDI) atau “ketidakpekaan akibat layar elektronik”. Fenomena ini menggejala seiring dengan kepemilikan gawai yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Tak hanya di meja makan, EDI juga terjadi di meja pertemuan atau rapat di ruang kerja. Hampir semua orang di kota melakukan multitasking alias sibuk dengan gawai seraya mendengarkan presentasi.
Penelitian perusahaan konsultan manajemen dan layanan teknologi Accenture (yang melibatkan 3.600 profesional di 30 negara, termasuk Indonesia) mencatat, 80 persen responden melakukan multitasking terkait gawai dalam pertemuan atau konferensi. Sebanyak 66 persen mengecek surel kantor, 35 persen mengecek pesan singkat, 34 persen mengecek surel pribadi, 22 persen mengecek media sosial, serta 21 persen membaca berita dan hiburan di gawai mereka.
Menurut penelitian Joseph Grenny, pengarang buku laris New York Times: Crucial Conversations, Influencer, and Change Anything, 89 persen responden mengakui ada kerusakan hubungan akibat ketidakpekaan penggunaan teknologi. Dari studi Digital Divisiveness tahun 2014 itu, 87 persen responden mengakui EDI lebih buruk dibandingkan dengan satu tahun lalu.
Selain kerenggangan interaksi, meningkatnya penggunaan gawai juga memicu ancaman keamanan, pencurian data, peretasan, dan kejahatan maya lain.
Butuh kecerdasan
Menurut ahli ekonomi inovasi Yanuar Nugroho, budaya bentukan gawai bersifat paradoksal (bertentangan). Gawai menghubungkan individu manusia sekaligus mengasingkannya dari kenyataan di sekitarnya. Gawai memberdayakan publik dan membangun jaringan antarmanusia, tetapi juga mengurangi keterlibatan sosial yang nyata.
Dosen psikologi sosial Universitas Tarumanagara Jakarta, Bonar Hutapea, mengungkapkan, perlu pendidikan kesadaran bersama untuk penggunaan teknologi secara cerdas, bijak, dan proporsional. Dengan begitu, masyarakat menjadi kian produktif sekaligus tetap memiliki hubungan sosial yang sehat.
Pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengingatkan orangtua agar membantu anak-anak dalam memanfaatkan gawai sehingga tidak mengalami ketergantungan pada dunia digital.
“Jangan biarkan anak-anak tersesat sendiri di dunia maya. Imbangi mereka dengan kehadiran nyata orangtua,” kata Robertus Robet.(RAY/IVV/MED/B02/B04)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2015, di halaman 1 dengan judul “Manfaatkan Gawai secara Cerdas”.