Makan memang tidak cukup asal kenyang. Kesalahan memilih jenis makanan, cara mengolah dan mengonsumsinya, bisa menjadi sumber bebagai masalah kesehatan. Sebaliknya, sebagian jenis makanan juga bisa menjadi obat dan mencegah berbagai penyakit.
Jenis makanan yang selain memberikan nutrisi dan energi juga bermanfaat bagi kesehatan dan mencegah penyakit tertentu inilah yang disebut sebagai makanan fungsional (functional food). Hubungan antara makanan dan kesehatan kita sebenarnya sudah lama diketahui. Namun makanan fungsional kian populer belakangan ini karena perubahan perspektif masyarakat terhadap pangan.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Pengunjung melihat produk pangan olahan berbahan umbi porang dalam Konferensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10). Umbi porang atau iles-iles (Amorphophallus muelleri) diketahui kaya glukomanan yang baik untuk diet sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perubahan persepsi masyarakat dipicu oleh meningkatnya penyakit terkait gaya hidup dan pola makan. “Penyakit kronis seperti kanker, jantung, stroke hingga diabetes telah menjadi pembunuh utama di banyak negara, terutama negara maju. Penyakit itu diketahui terkait erat dengan pola dan ragam makanan tidak sehat,” kata Marry K. Schmidl, Presiden International Union of Food Science and Technologi (IUFoST).
Schmidl menyampaikan hal ini saat menjadi pembicara utama dalam Konferensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2019). Konfrerensi yang diikuti oleh 500 peneliti dan pelaku bisnis terkait pangan dari ASEAN dan sejumlah negara lain ini banyak membahas tentang tren pangan fungsional.
Selain kesadaran konsumen, permintaan pangan fungsional juga dipicu oleh menuanya populasi di dunia. Menurut Schmidl, industri makanan fungsional pertama kali dikenalkan di Jepang tahun 1980-an dan dikembangkan untuk mengurangi biaya kesehatan.
“Saat ini penuaan populasi terjadi di semua negara, sehingga permintaan pangan fungsional juga terus meningkat. Nilai pasar pangan fungsional dan pangan sehat diperkirakan mencapai 670 miliar dollar AS pada 2024,” ungkapnya.
Teruo Miyazawa, profesor ilmu pangan dari Universitas Tohoku Jepang mengatakan, usia harapan hidup penduduk di Jepang rata-rata 86,61 tahun untuk perempuan. Sementara untuk laki-laki 80,21 tahun. Namun, usia sehat bagi perempuan rata-rata hanya 74,21 tahun dan laki-laki 71,9 tahun.
” Kesenjangan antara usia sehat dan harapan hidup ini menyebabkan besarnya biaya kesehatan,” ungkapnya. Rata-rata sepertiga dari biaya kesehatan di Jepang dipakai untuk mengatasi penyakit terkait gaya hidup. Biaya kesehatan ini dipercaya bisa dikurangi, salah satunya jika kita bisa mendorong lebih banyak olahraga dan menyediakan makanan sehat.
Berdasarkan pertimbangan ini, menurut Miyazawa, sejak tahun 1991 pemerintah Jepang telah mengakui dan mengatur produk makanan yang memiliki fungsi kesehatan spesifik (FOSHU/Food for Specified Health Uses).
Makanan sehat atau FOSHU ini ditujukan untuk orang-orang yang ingin mengendalikan kondisi kesehatan, termasuk tekanan darah atau kolesterol darah. Produk dengan kategori FOSHU ini hanya boleh dijual setelah ada verifikasi dari pemerintah Jepang.
Berikutnya, pada tahun 2001, Jepang mengeluarkan aturan mengenai makanan yang diklaim memiliki fungsi nutrisi tambahan (Foods with Nutrient Function Claim/FNFC) dan pada 2015 mengenai makanan fungsional (Foods with Function Claims (FFC). Berbeda dengan FOSHU, klaim FFC tidak perlu diverisikasi pemerintah. Namun, klaim itu harus didukung bukti saintifik dan telah melalui uji klinik.
Saat ini ada lebih dari 1.000 ragam makanan dengan label kesehatan yang diproduksi dan diedarkan di Jepang, mulai dari beras hipoalergi, minuman probiotik, hingga minuman kalsium. Pada tahun 2019 ini, menurut Miyazawa, nilai pasar pangan sehat di Jepang mencapai 1.450 miliar yen, sedangkan makanan dengan klaim kesehatan mencapai 900 miliar yen.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Sejumlah hasil produk yang dikembangkan melalui teknologi tepat guna dengan memanfaatkan bahan pangan lokal.
Antisipasi dampak
Ahli Bioteknologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Eni Harmayani meyakini, pangan fungsional seharusnya bisa meningkatkan mutu kesehatan masyarakat di Indonesia. “Kita juga punya sejarah panjang tentang makanan fungsional, di antaranya jamu tradisional hingga tempe. Selain itu, kita punya mega-biodivesitas yang bisa jadi sumber pangan fungsional. Karena itu, penting untuk meningkatkan riset dan mendorong industri pangan fungsional,” ungkapnya.
Kolega Eni dari UGM yang juga Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Sri Raharjo, menambahkan, meski ketinggalan dibandingkan negara tetangga, jumlah riset terkait pangan fungsional di Indonesia meningkat signifikan. Berbasis data Scopus pada Oktober 2019, fokus pangan fungsional di Indonesia umumnya meliputi antioksidan, diet serat, probiotik, dan prebiotik.
Seperti di negara lain, minat terhadap pangan sehat di Indonesia saat ini amat tinggi. Namun, menurut Susana dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), industri pangan fungsional di Indonesia terkendala aturan Badan POM. Peraturan BPOM tahun 2016 menghilangkan tentang klaim tentang pangan fungsional. Padahal, peraturan BPOM tahun 2011 justru mengakui tentang pangan fungsional.
Menanggapi keluhan ini, Kepala Subdit Standardisasi Pangan Olahan Tertentu BPOM Yusra Egayanti mengatakan, regulasi akan terus diperbarui. “Ke depan kita bisa pertimbangkan merevisi aturan guna mendukung pengembangan panan fungsional ini, termasuk juga standar untuk uji klinisnya,” ujarnya.
Menurut Sri, kaitan antara pangan fungsional dan kesehatan masyarakat sudah banyak dikaji di dalam maupun luar negeri. Meski demikian, hal ini perlu diatur agar tidak terjadi klaim yang keliru, selain mengurangi risiko dampak negatif di masyarakat.
Seperti diingatkan Schmidl, sebagian produk pangan yang kerap mencantumkan label alami atau herbal, justru berdampak buruk, bahkan membahayakan. “Contohnya kasus pemain baseball dari Baltimore Orioles, Steve Bechler yang meninggal dunia pada 2003 karena diduga mengonsumsi suplemen makanan Ephedra,” ujarnya.
Ephedra termasuk suplemen herbal yang banyak digunakan untuk mengurangi berat badan dan untuk penambah energi. Namun, menurut Schimdl, produk ini belakangan memicu efek samping, mulai dari serangan jantung hingga stroke. Dari investigasi, ditemukan 15.000 keluhan dari pengguna.
Belajar dari kasus ini, sejumlah negara memperketat verifikasi terhadap klaim makanan fungsional. “Banyak pangan fungsional terbukti bermanfaat terhadap tubuh, misalnya sejumlah produk suplemen asam folat untuk ibu hamil. Namun demikian, keamanan pangan tetap yang harus menjadi utama,” kata Schimdl.
Basil Mathioudakis, konsultan legislasi pangan dari Uni Eropa mengatakan, sejauh ini baru ada 30 klaim pangan bernutrisi dan 267 pangan klaim pangan untuk kesehatan yang sudah diakui otoritas Uni Eropa. Sementara 2051 klaim dari industri ditolak, dan 2098 klaim pangan untuk kesehatan ditangguhkan.
Makanan tertentu terbukti bisa menjadi obat dan mencegah penyakit, namun demikian, perlu kontrol dan pengawasan dari pemerintah agar klaim dari industri bisa dipertanggungjawabkan.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 29 Oktober 2019