Meski ditahbiskan sebagai ikan terbesar di dunia, hiu paus atau “whale shark” masih menyimpan misteri. Mahardika Rizqi Himawan adalah satu dari sedikit peneliti Indonesia yang berjibaku menyibak sisi gelap itu. Demi mengamati fenomena kemunculan hiu paus, ia menjelajah laut di Nusantara selama tiga tahun terakhir ini.
Jumat pagi pertengahan April lalu, mahasiswa magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat, itu bersiap-siap turun ke laut untuk melanjutkan pengamatannya di Pantai Botubarani, Bone Bolango, Gorontalo. Masker, snorkel, kamera bawah air, dan fins (kaki katak) ditentengnya menuju tepi pantai.
Dari tempatnya berdiri, sirip dan ekor hiu paus tampak menyembul berkeliling di sisi tubir yang hanya sekitar 50 meter dari tepi pantai. Dua hingga tiga hiu bertotol-totol putih (Rhincodon typus) itu tampak terus berputar-putar seakan rasa laparnya masih belum terpuaskan oleh dua perahu pengunjung yang sebelumnya memberi pakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mahardika pun bergegas memasang peralatannya dan mencelupkan badan menuju si hiu ramah ini. Sementara itu, di atas perahu kayu kecil, warga setempat dan seorang anggota TNI Angkatan Laut yang ditugaskan berjaga di perairan itu pun menuju tempat hiu bermain.
Mereka mencoba membantu Mahardika tetap menjaga hiu tak pergi ke tempat lain dengan menaburkan karapaks udang segenggam demi segenggam. Kulit udang hasil limbah pabrik itu segera diisap hiu paus.
Lalu, Mahardika meminta warga menurunkan tali rafia yang telah diberi beban ke laut. Ini dilakukan untuk memastikan pengukuran panjang ikan yang pada hari sebelumnya hanya dilakukan secara perkiraan. Tak lupa, ia mendokumentasikan setiap hiu paus yang diamatinya. Bagian sirip serta insang kelima menjadi fokus.
Motif totol-totol putih pada bagian ini dibutuhkannya untuk mengidentifikasi setiap hiu paus. Ini mirip dengan penggunaan sidik jari pada manusia atau motif titik/bulatan hitam pada perut/bagian lain sebagai pembeda individu ikan pari manta.
Data identitas hiu paus yang diamatinya-bersama tim Whale Shark Indonesia (kerja sama peneliti IPB dan World Wildlife Fund/WWF Indonesia)-itu nantinya akan diunggah dalam database www.whalesharkindonesia.org. Dalam situs yang akan diluncurkan beberapa bulan mendatang ini, siapa pun yang menemukan hiu paus dapat mengunggah data serupa.
Ini mirip dengan situs www.mantatrust.org atau www.mantamatcher.org pada jejaring ikan pari manta. “Harapan kami, Indonesia memiliki database identitas hiu paus, jenis kelamin, dan jalur migrasinya. Ini membutuhkan keterlibatan banyak orang,” kata Mahardika yang menjadi Indonesia Whale Shark Conservation Project Leader, sebuah proyek riset yang dibiayai Conservation Leadership Programme.
Situs itu nantinya juga berisi edukasi atau tata cara berinteraksi dengan hiu paus yang sejak tahun 2013 dilindungi penuh oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Tak lupa, untuk meningkatkan daya tarik, dicantumkan pula informasi ekowisata atau wisata terbatas bersama hiu paus beserta detail yang dibutuhkan wisatawan.
Informasi ini penting mengingat hiu paus tidak selalu bisa ditemukan di semua lokasi setiap bulan. Di Probolinggo, Jawa Timur, misalnya, hiu paus sering muncul pada Januari-Mei. Di Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua, hiu paus sejak lima tahun terakhir muncul tiap hari di bagan-bagan penangkap ikan setempat.
Fauna menarik
Mahardika mulai tertarik pada hiu paus saat mengerjakan skripsi tahun 2013. Waktu itu, dia bergabung dalam mahasiswa magang di WWF Indonesia untuk program di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua. Ia meneliti hiu paus di Kali Lemon, Nabire, selama dua bulan.
“Dari situ, mulailah (saya) tertarik karena di Indonesia belum banyak yang melakukan studi khusus hiu paus,” katanya.
Mahardika mengagumi ilmuwan muda Simon Pearce asal Selandia Baru yang berjasa merintis identifikasi hiu paus melalui totol-totol putih di sekitar sirip dan insang kelima.
Semakin mendalami jurnal-jurnal penelitian yang kebanyakan dari peneliti luar negeri, Mahardika semakin penasaran. Ia pun bertanya-tanya, apakah hiu Teluk Cenderawasih punya karakter sama dengan hiu paus di perairan Sumatera hingga Papua.
Hiu paus yang ditemukan umumnya berjenis kelamin jantan. Sangat sedikit hiu betina. Hiu paus yang ditemukan di perairan Nusantara pun masih berukuran anak-anak (juvenile), sepanjang 3-8 meter. Hiu paus dewasa umumnya menghabiskan waktu di kedalaman lebih dari 100 meter serta jarang ke permukaan.
Rasa penasaran ini yang terus mendorong Mahardika untuk lebih mengenal hiu paus pemakan ikan kecil dan plankton ini. Ia mengikuti sponsor Conservation Leadership Programme, sebuah organisasi yang bergerak dalam pembiayaan konservasi untuk konservasionis muda.
Proposal yang diajukannya diterima untuk didanai. Kini, sambil mengerjakan proyek itu, ia memanfaatkannya pula untuk mengejar tesis magister di IPB.
“Eksotis, menarik, dan misterius,” ujar Mahardika untuk menggambarkan keterpesonaannya pada hiu paus. Menarik karena berukuran sangat besar (hingga 12 meter saat dewasa), tetapi hiu paus termasuk perenang yang lamban serta jinak.
Ini membuat manusia bisa berada sangat dekat dengan hewan itu. Sifat ini jauh berbeda dengan fauna besar di laut lain, katakanlah seperti manta dan paus. Manta cenderung berenang cepat, sedangkan paus, meski relatif aman didekati, sulit diperkirakan kemunculannya.
Menjelajah Nusantara
Sebelum mengamati hiu paus di Gorontalo, Mahardika telah mengejar hiu paus di berbagai tempat. Pada Juli-September 2015, misalnya, ia mengamati hiu paus di Talisayan, Berau, Kalimantan Timur. Ia lantas pergi ke Pulau Weh, Aceh, pada November-Desember 2015, disusul ke Parigi Moutong dan Luwuk di Sulawesi Tengah, Desember 2015-Januari 2016. Pada pertengahan Februari sampai pertengahan Maret 2016, ia mengamati hiu paus di Probolinggo, Jawa Timur.
Di sana, ia mendapat pengalaman yang tak dapat dilupakan. Selain merasakan rekor perjumpaan hiu paus terbanyak dalam sesaat turun, yaitu 15 individu berbeda, ia pun sempat merasa dag-dig-dug dipersalahkan warga karena hiu setempat menghilang. Maklum saja, hari itu, ia dibantu warga mengambil sampel genetika hiu paus dengan cara mengambil sebagian kecil jaringan tubuhnya.
Seperti manusia yang dicubit, proses pengambilan sampel itu mengagetkan hiu paus. Fauna itu pun segera meninggalkan perairan. “Warga beranggapan, gara-gara saya, hiu paus jadi pergi. Untungnya, hiu itu kemudian muncul lagi agak jauh,” kata Mahardika yang akan menjadi pembawa presentasi riset dalam Konferensi Hiu Paus Internasional Ke-4 di Doha, Qatar, pertengahan Mei mendatang.
Dengan pengalaman ini, ia bersikap lebih hati-hati dalam mengambil sampel jaringan tubuh hiu paus. Jangan sampai pengamatannya menjadi berantakan gara-gara mendapat penolakan warga.
Selama meneliti hiu paus di daerah-daerah, Mahardika selalu menggandeng peneliti atau akademisi dari perguruan tinggi ataupun balai penelitian setempat. Selain memperluas jejaring pengamatan hiu paus di daerah, langkah ini pun diharapkan dapat menyebarkan riset dan menumbuhkan kader pelestari megafauna laut di seluruh Nusantara.
ICHWAN SUSANTO–KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
MAHARDIKA RIZQI HIMAWAN
Lahir:
29 Mei 1991
Pekerjaan:
Indonesia Whale Shark Conservation Project Leader pada Whale Shark Indonesia
Pendidikan:
S-1 Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB
S-2 di Ilmu Kelautan IPB (sedang berjalan)
Keluarga:
Anak pertama dari tiga bersaudara dari Warsono (ayah) dan Sri Hermawati (ibu)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2016, di halaman 16 dengan judul “Menyibak Misteri Hiu Paus”.