Apa yang tidak mungkin menjadi kenyataan bukanlah permainan kata bagi Maharani (35). Dengan semangat, rasa ingin tahu, dan percaya diri yang besar, lelaki warga Lingkungan Tiwuasem, Kelurahan Renteng, Praya, ibu kota Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini membuat pupuk organik cair untuk tanaman pangan dan hortikultura berbahan alami yang agak tidak umum buat kalangan awam. Ia menggunakan batuan silikat.
”Jangankan masyarakat awam, kalangan intelektual pun bilang, hah… pupuk dari batuan… mimpi kali…?” begitu sementara kalangan merespons idenya.
Namun, ia berupaya merangkai mimpinya dengan fakta. Logika berpikirnya sederhana, tanah berasal dari batuan yang melapuk jutaan tahun silam. Tanah karunia Ilahi kepada manusia itu memiliki unsur hara lengkap sebagai sumber makanan dan tumbuh kembang berjenis-jenis tanaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 2005-2009, Maharani yang memiliki basis pendidikan ilmu tanah melakukan riset dan mengumpulkan batuan antara lain berasal dari gunung api di Kanada, Amerika, Gunung Merapi (Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta), Gunung Ijen (perbatasan Banyuwangi-Bondowoso, Jawa Timur), Gunung Agung (Bali), dan Gunung Rinjani (Lombok).
Batuan-batuan itu diteliti kandungan unsur hara oleh mitra kerjanya, seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Hasil penelitian menunjukkan, batuan Gunung Rinjani, selain memiliki unsur hara makro dan mikronya, juga ada plusnya, yaitu sangat banyak kandungan silika (Si)-nya. Setelah didalami, fungsi Si diketahui dipakai untuk bahan produksi kecantikan, obat-obatan, dan industri elektronik. Si juga bisa dijadikan sebagai bahan induk yang memberikan ketahanan alami, kuantitas, dan kualitas produksi tanaman.
Untuk penelitian itu, Maharani merogoh kocek untuk biaya transportasi, membuat demplot penelitian di seputar areal sawah penduduk. Uang itu didapat dari jasa membantu penelitian para dosen, juga menyisihkan uang saku dari orangtuanya.
Pupuk cair
Proses pembuatan pupuk cair sebetulnya sederhana. Dari bahan baku yang menggunakan batuan di sekitar Gunung Rinjani di Desa Akar-akar, Lombok Utara, kemudian ditumbuk menjadi tepung. Alat tumbuh yang digunakan merupakan buatan perajin di Mataram. Setelah jadi tepung, lalu menjalani proses pelarutan dengan dimasukkan ke air yang dicampur formula khusus guna melepas kandungan makanan dalam batuan itu. Campuran unsur hara batuan dan formula itu keluarannya dalam bentuk pupuk cair, setelah menjalani proses pelarutan selama dua jam.
Kunci produk pupuk itu pada formula serta proses penumbukannya memerlukan teknik khusus. Untuk menumbuk batuan itu, misalnya, diperlukan waktu 30 menit.
Pupuk bermerek dagang SiPlus itu kini dipakai untuk kalangan interen kelompok tani, dengan produk 50.000 liter setahun, dijual Rp 40.000 per liter. Pupuk itu telah lulus uji mutu oleh Kementerian Pertanian dan kini masih menunggu nomor pendaftaran produk agar bisa diedarkan di pasaran umum.
Akan tetapi, dari hasil uji coba di beberapa tempat di NTB, pupuk ini memenuhi syarat-syarat kelayakan. Indikasinya, produksi gabah di tanah garaman tanpa SiPlus bisa memproduksi 6,4 ton per hektar. Dengan SiPlus yang dikombinasi pupuk lain menghasilkan hampir 9 ton.
Dari segi efisiensi, pupuk ini menghemat pembelian sarana produksi, juga mengurangi cara boros sistem pemupukan dengan ditebar. Pasalnya, 1 kuintal pupuk urea yang ditebar hanya 20 persen diserap tanah. Sisanya terbuang percuma karena menguap ataupun larut oleh air.
”Teori pemupukan adalah pupuk ditebar ke dalam tanah, lalu diserap akar dan dibawa ke daun untuk ’digodok’. Setelah ’masak’ dan jadi makanan, pupuk itu dikirim sebagai nutrisi ke seluruh organ tanaman. Sekarang kita balik, pupuk cair itu langsung ’disuapi’ ke ’mulut’-nya (daun),” ungkap Maharani.
Dengan pupuk cair yang dikombinasi pupuk lain, misalnya pupuk urea, penggunaan pupuk urea sebanyak 4 kuintal per hektar bisa ditekan menjadi 50 kilogram. Artinya, penggunaan pupuk organik itu dapat meningkatkan produksi dan efisiensi biaya proses produksi usaha tani.
Nyaman bekerja di luar kantor, Maharani, Direktur Lombok Research Center, melepas ”baju” pegawai negeri sipil tahun 2009 sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Lahan Kering Tropika Universitas Mataram. Ia membantu dan mendorong masyarakat desa di NTB menanam gaharu atau ketimunan (sasak lombok).
Ia juga diundang ke Batam; Semarang, Jawa Tengah; dan Malang, Jawa Timur; menjadi konsultan budidaya gaharu, termasuk memasok kebutuhan bibit gaharu bagi daerah-daerah itu. Ia tidak segan menggunakan uang sendiri untuk membeli bibit gaharu, kemudian dibagikan gratis kepada petani. Ia tidak pelit dengan ilmu pengetahuan yang dimiliknya, seperti ketika ia kedatangan petani Kabupaten Sorong, Papua Barat, ke Lombok untuk menimba ilmu kepadanya.
Ia tidak sekadar berteori, tetapi juga mengimplementasikan teori dengan kondisi di lapangan. Waktunya 60 persen-70 persen tersita di lapangan untuk mendampingi petani, berdiskusi seputar usaha tani yang berkaitan dengan cara-cara bertani ramah lingkungan.
Maharani juga menyewa 1 hektar lahan di Desa Timbanuh, Lombok Timur, untuk ditanami cabai. Kemudian 1 hektar lagi di Desa Kutaraja, Lombok Timur, ditanami jeruk dan jahe. Lahan itu dikelola empat warga, sedangkan benih tanaman dibeli Maharani. Hasil penjualan cabai, misalnya, dibagi sebagian untuk pengelola dan 50 persen untuk Maharani.
MAHARANI
LAHIR:
Praya, 16 Agustus 1980
ISTRI:
Baiq Titis Tini Yulianty
ANAK:
Dafiqazzahra Almahira dan Emir Dzaki Abbas
ORANGTUA:
H Muksin-Hj Rukakyah
PEKERJAAN:
Peneliti di Lombok Research Center
PENDIDIKAN:
SDN Tiwuasem, Praya, lulus 1992
SMPN 2 Praya, lulus 1995
SMAN Praya, lulus 1998
Fakultas Pertanian Universitas Mataram Jurusan Ilmu Tanah, lulus 2005
Pendidikan S-2 Jurusan Agronomi Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, lulus 2009
PENGHARGAAN:
SATU Indonesia Award PT Astra International (Tbk), tahun 2014
KHAERUL ANWAR
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2016, di halaman 16 dengan judul “Membuat Pupuk dari Batuan Vulkanik”.