MAHASISWA sering kali menjadi sasaran pengaderan partai politik tertentu. Padahal, sangat jarang mahasiswa mampu mempertahankan idealismenya kala memutuskan terjun ke dunia politik praktis. Meskipun tak sepenuhnya keliru, apa jadinya jika semua mahasiswa memiliki orientasi untuk saling berebut kekuasaan?
Itulah yang menjadi dasar bagi Maarif Institute (MI) untuk menyelenggarakan program Maarif Fellowship (MAF). Menurut panitia MAF, Khelmy K Pribadi, saat ini Indonesia masih kekurangan kaum intelektual yang mampu mengawal perubahan bangsa. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan hanya dapat berlangsung jika ada penelitian.
”Itu sebabnya kita perlu kaderisasi yang bagus dan sistematis untuk menghasilkan peneliti muda yang profesional. Salah satunya melalui program MAF,” kata Khelmy.
Dia menjelaskan, program fellowship ini merupakan yang pertama di Indonesia untuk level mahasiswa S-1. Beberapa lembaga seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyelenggarakan, tetapi hanya untuk mahasiswa pascasarjana. Program ini terinspirasi dari program kaderisasi peneliti International Institute for Asian Studies—Institute of Southeast Asian Studies (IIAS-ISEAS), Singapura.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, program yang dirancang selama enam bulan (September-Februari) ini mengambil tema keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan dalam bingkai kemajemukan (pluralitas). Setiap peserta diharapkan dapat menelurkan gagasan-gagasan cemerlangnya untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia, seperti konflik antaragama, diskriminasi, dan radikalisme.
Pada Senin (9/12), bertempat di kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta Selatan, kegiatan ini memasuki tahap wawancara. Panitia memilih enam proposal dari total 40 proposal. Mereka mempresentasikan proposalnya kepada dewan juri, antara lain Luthfi As-Syaukani, Ahmad Najib Burhani, dan Siti Ruhayati Dzuhayatin. Dua juri lain adalah Rikard Bagun (Pimpinan Redaksi Kompas) dan Sunardi Rinakit berhalangan hadir.
Peserta yang lolos adalah Irfan Ansori (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Puti Hasanatu (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta), dan Ubaidillah dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Tiga peserta lainnya adalah Pradita Davis S dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta serta Bagus Adiin A dan M Zaki Arrobi dari Bandung.
Irfan mengajukan proposal berjudul Tafsir Ulang Pluralisme Agama di Indonesia: Pemetaan Corak Pemikiran Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi’i Maarif dan M Amin Abdullah.
Sementara proposal Puti berjudul Simbol-simbol Marxisme dalam Teologi Al-Maun (Studi Lembaga Buruh Tani Nelayan hingga Majelis Pemberdayaan Petani PP Muhammadiyah).
Ubaidillah mengajukan proposal berjudul Konflik Keagamaan dalam Pandangan Media Massa di Indonesia (Studi Wacara kritis, Berita Harian Tempo, Kompas, Republika dan Media Indonesia).
Direktur Program Maarif Institute Ahmad Fuad Fanani mengatakan, selama proses menjadi fellow dalam program MAF, peserta mendapat pelatihan meneliti dan akses untuk menulis di berbagai media massa nasional.
Salah satu dewan juri memberikan supervisi pada proses riset dan penulisan fellowship mereka.
Sementara para penulis senior di Maarif Institute memberikan bimbingan dan konsultasi secara intensif kepada mereka tentang penulisan di media massa nasional.
Peserta dari UGM, Pradita Davis S, semula tidak menyangka proposalnya dapat terpilih sebagai salah satu yang terbaik. Alasannya, persaingan begitu ketat, bahkan ada peserta yang berasal dari Malaysia. Dia mengapresiasi kegiatan ini sebagai ajang pencarian bakat-bakat peneliti muda Indonesia.
”Harapan saya, semoga bisa mendapat pengalaman berharga dalam meneliti karena mendapat bimbingan langsung dari para pakar dan peneliti besar di Indonesia. Setelah itu, semoga saya dapat menularkan semangatnya kepada mahasiswa lain di kampus saya,” ujarnya.
Irfan Ansori, Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber: Kompas, 24 Desember 2013