Induk perusahaan Google, Alphabet Inc, memutuskan menutup bisnis pengantaran internet melalui balon udara, Loon. Dengan ditutupnya Loon, proyek balon internet di Indonesia pun tampaknya harus gembos.
Ucapkan selamat tinggal pada Loon, sebuah divisi Alphabet Inc yang terkenal dengan Project Loon. Induk perusahaan Google, Alphabet Inc, memutuskan menutup bisnis pengantaran internet melalui balon udara tersebut. Loon bertujuan menghubungkan wilayah-wilayah yang tidak terjangkau jaringan internet di seluruh dunia dengan menggunakan balon udara.
Dengan tutupnya Loon, tampaknya tidak akan ada lagi balon Google yang terbang di langit Indonesia, mengantarkan internet ke daerah-daerah terpencil. Demi memenuhi ambisi pemerintah menyediakan layanan broadband dan jaringan internet di semua wilayah Indonesia, pada 2015 ditandangani nota kesepahaman antara Google dengan Telkomsel, Indosat, serta XL Axiata dalam uji teknis penggunaan balon udara untuk transmisi sinyal telekomunikasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan di kantor Google X di Mountain View, San Francisco, Amerika Serikat, Rabu (28/10/2015). Nota kesepahaman itu memastikan tiga operator seluler itu akan menjadi rekanan Google untuk memakai dan mengembangkan ”Project Loon”. Salah seorang pendiri Google, Sergey Brin, turut hadir dalam kesempatan itu. Sergey mengatakan, Google sangat senang bisa turut ambil bagian dalam proyek tersebut (Kompas, 30 Oct 2015).
Loon dikembangkan sejak Juni 2013 di Selandia Baru. Proyek itu menerbangkan balon-balon udara ke ketinggian 20 kilometer di atas permukaan Bumi dan berfungsi seperti satelit atau BTS di lapisan stratosferik untuk mentransmisikan sinyal telekomunikasi dari ketinggian. Proyek itu mampu melayani cakupan wilayah hingga 5.000 kilometer persegi per balon.
Penggunaan balon udara tersebut diharapkan bakal memecahkan persoalan akses dan konektivitas di sebagian wilayah Indonesia. Wilayah yang selama ini relatif sulit atau bahkan tidak tercakup sinyal telekomunikasi karena kondisi geografis ataupun topografi nantinya bisa dijangkau. Proyek ini tidak lagi terdengar kabarnya hingga Alphabet memutuskan menutup Loon.
Para operator seluler di sejumlah negara, yang dibidik sebagai pengguna layanan Loon, sebelumnya memang mempertanyakan kelayakan proyek itu, baik secara bisnis, teknis, maupun politis. ”Meskipun kami telah mendapatkan sejumlah mitra, kami belum menemukan cara untuk mendapatkan biaya yang cukup rendah untuk membangun bisnis jangka panjang yang berkelanjutan,” kata Kepala Eksekutif Loon Alastair Westgarth dalam sebuah unggahan blog, dikutip Reuters.
Eksekutif Alphabet Astro Teller, yang juga mengepalai divisi X, sebuah divisi di Google yang mengelola dan mengembangkan ide-ide gila untuk diubah menjadi bisnis menguntungkan, mengatakan bahwa meskipun Loon membuat ”terobosan teknis” selama beberapa tahun terakhir, ”jalan menuju kelangsungan komersial terbukti jauh lebih lama dan lebih berisiko dari yang diharapkan”.
Loon adalah salah satu ide gila yang dilahirkan di divisi Google X. Teknologi Loon terus meningkat, dengan balon yang bertahan lebih lama di angkasa dan mampu mengirimkan sinyal langsung ke ponsel. Pada 2018, Loon ”lulus” dari X dan menjadi divisi tersendiri, yang dikenal sebagai ”Pertaruhan Lain” Alphabet. Astro merekomendasikan agar Alphabet tak lagi mendanai proyek Loon, yang artinya membiarkan proyek balon ambisius itu kempis kehabisan udaranya.
Westgarth menambahkan, warisan Loon akan mencakup teknologi balon helium yang mampu bertahan ratusan hari di langit dan mengembangkan peralatan komunikasi yang dapat menjangkau area 200 kali lebih besar dari rata-rata menara BTS. Namun, salah satu tantangan penggunaan secara komersial adalah operator seluler atau carrier membutuhkan sejumlah balon, yang setiap balon berharga puluhan ribu dollar AS, tetapi hanya mampu bertahan sekitar 5 bulan.
Loon tak sepenuhnya gagal. Pada Juli 2020, mereka meluncurkan proyek percontohan internet secara komersial di Kenya, yang terdiri dari 35 balon dengan cakupan 50.000 kilometer persegi.
Sebelumnya, pada 2017, Loon berhasil menyediakan layanan jaringan seluler ke daerah-daerah yang terkena bencana alam, menyebarkan balon ke Puerto Rico setelah Badai Maria. Mereka juga menyediakan jaringan internet di Peru setelah gempa bumi pada 2019.
Loon telah mendekati sejumlah negara dan organisasi internasional untuk membuat kontrak dengan perusahaan itu guna menyediakan balon selama keadaan darurat di masa depan, tetapi hanya sedikit yang tertarik. Mereka mengatakan, kemungkinan akan membagikan teknologinya dengan operator, pemerintah, atau kelompok nirlaba yang bertujuan untuk menghadirkan internet berkecepatan tinggi ke beberapa tempat terpencil di dunia.
Dikutip dari Reuters, perusahaan ini mempekerjakan 200 orang pada 2019. Tahun itu, mereka berhasil menarik investasi 125 juta dollar AS dari HAPSMobile SoftBank, yang memiliki proyek seluler terbang dengan drone.
Selain diragukan secara bisnis, teknis, dan politis, penggunaan balon juga mendapat persaingan dari perusahaan yang mengirimkan konstelasi satelit ke luar angkasa. Perusahaan yang didukung oleh pengusaha seperti Elon Musk, Richard Branson, dan Jeff Bezos berupaya menawarkan koneksi internet menggunakan satelit di orbit rendah Bumi.
Elon Musk, misalnya, dengan Spacex meluncurkan Starlink, yang setelah selesai akan mencakup konstelasi ribuan satelit yang sanggup memayungi seluruh Bumi dengan internet. Starlink kini telah beroperasi secara terbatas.
Bukan hanya Loon, Alphabet tahun lalu menutup Makani, yang bertujuan menggunakan turbin angin yang dipasang pada layang-layang untuk menghasilkan listrik dengan energi terbarukan. Nasib serupa terjadi pada Project Foghorn, yang meneliti cara membuat bahan bakar bersih dari air laut.
Namun, Alphabet setidaknya mempertahankan satu ”taruhan” lagi di langit, yakni Wing, yang bertujuan untuk mengomersialkan pengiriman barang dengan drone. Dengan ditutupnya Loon, proyek balon internet di Indonesia pun tampaknya harus gembos.
Oleh PRASETYO EKO P
Editor: PRASETYO EKO
Sumber: Kompas, 22 Januari 2021