Dibutuhkan Koordinasi Lintas Lembaga
Pencemaran logam berat di perairan laut bermula dari buruknya pengolahan limbah di kawasan hulu. Dalam kasus pencemaran logam berat di Teluk Jakarta terutama disumbang oleh industri di daerah Bogor dan Tangerang. Untuk mengatasi persoalan ini butuh koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
“Dari penelitian kami, sungai-sungai penyumbang logam berat di Teluk Jakarta terutama berasal dari sungai-sungai di sisi sebelah timur, yaitu Sungai Cilincing, Cipinang, dan Cibinong yang menyatu di Kanal Timur. Tiga sungai ini berada di wilayah Bogor, dan sekitarnya ada industri kimia, pakaian, dan sejumlah industri lain,” kata Tarsoen Waryono, dosen Departemen Geografi Universitas Indonesia, dalam pertemuan di Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Jakarta, Senin (7/8).
Selain tiga sungai ini, menurut Tarsoen, pencemar utama juga berasal dari Sungai Mookervart di wilayah Tangerang. Sungai ini berujung ke Sungai Angke. “Selain industri dari Bogor dan Tangerang, kawasan industri Pulogadung (Jakarta Timur) juga berkontribusi terhadap pencemaran logam berat,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tarsoen mengatakan, pengukuran logam berat jenis merkuri (Hg), mangan (Mn), kadmium (Cd), dan seng (Zn) di sungai-sungai di Jakarta dilakukan secara berturut-turut pada 2009, 2010, 2011, dan 2013. “Kecenderungannya, tingkat pencemaran logam berat terus naik dan dugaan saya sampai sekarang,” ujarnya.
Dari data tersebut, menurut Tarsoen, yang harus dipantau adalah instalasi pengolahan air limbah sebelum masuk ke sungai, termasuk juga pengawasannya. “Ini terutama tanggung jawab di daerah-daerah,” katanya.
Pencemaran logam berat di perairan Indonesia, khususnya Teluk Jakarta, semakin mengkhawatirkan dan diindikasikan telah terakumulasi ke dalam biota laut, terutama kerang. Misalnya, riset Etty Riani dari Institut Pertanian Bogor menemukan, konsentrasi merkuri (Hg) pada kerang hijau di Teluk Jakarta pada 2014 mencapai 63,13 miligram per kilogram (mg/kg) dan timbal (Pb) 22,6 mg/kg. Padahal, batas aman Hg dan PB 1,0 mg/kg. (Kompas, 11 Juli 2017)
Kemenko Kemaritiman mengundang sejumlah kementerian, lembaga, dan perguruan tinggi guna mengatasi persoalan ini.
Asisten Deputi Lingkungan dan Mitigasi Bencana Maritim Kemenko Kemaritiman Sahat Manaor Panggabean mengatakan, “Selain limbah plastik, pencemaran logam berat di perairan ini menjadi masalah serius yang harus diperhatikan.”
Menurut Sahat, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pembangunan Berkelanjutan telah mengatur tentang pentingnya persoalan lingkungan ini. “Persoalan logam berat ini sudah sangat lama, tetapi ternyata tidak teratasi, bahkan cenderung meningkat. Kami akan mendorong kementerian dan lembaga terkait serius memperhatikan soal ini,” ujarnya.
Pendataan nasional
Dihubungi terpisah, Etty Riani mengatakan, dari berbagai penelitian yang dilakukannya, pencemaran logam berat terjadi hampir di seluruh perairan di Indonesia yang memiliki aktivitas manusia tinggi, utamanya yang ada industri besar. Selain di Teluk Jakarta, polusi logam berat juga ditemukan di Teluk Bayur (Sumatera Barat), Lampung, Surabaya, dan Banten.
“Masalahnya, data pencemaran logam berat secara nasional belum. Kami memang melakukan kajian, tetapi sifatnya sporadis di beberapa wilayah. Kalau Kemenko Kemaritiman akan membuat kebijakan, seharusnya dimulai dengan pemetaan secara nasional,” katanya.
Achmad Riyadi, Kepala Seksi Status Mutu Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, instansinya baru mulai melakukan survei cemaran logam berat di Teluk Jakarta, Teluk Semarang, dan Teluk Benoa pada 2016. Datanya masih dianalisis. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Logam Berat di Laut dari Industri”.