Pasca musibah Lion Air PK-LQP Senin (29/10/2018) lalu, Lisda Cancer (50) adalah sosok yang paling dinanti oleh keluarga penumpang dan rekan media. Melalui Lisda, penjelasan terkait perkembangan identifikasi korban disampaikan setiap sore setelah sidang rekonsiliasi.
Seusai menyampaikan hasil identifikasi jenazah kepada awak media dan anggota keluarga, Rabu (7/11/2018) malam pukul 20.00, Lisda tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia bergegas menuju Gedung Anton Soedjarwo di Rumah Sakit Polri Kramatjati, untuk menemui Nadhira (13), anak keduanya, yang dirawat karena sakit demam.
“Nadhira sakit sejak Selasa (6/11/2018) karena kelelahan menjalani kegiatan organisasi di sekolah. Karena itu, saya dan suami menginap di rumah sakit menemani Nadhira,” kata Lisda yang saat ini berpangkat komisaris besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Identifikasi jenazah penumpang Pesawat Lion Air PK-LQP selama sepuluh hari terakhir cukup menyita waktu Lisda. Ia mengemban tanggung jawab besar sebagai Kepala Bidang Disaster Victim Identification (DVI) Polri sejak 2017. Di tengah tanggung jawab itu, ia tetap meluangkan waktu untuk suami dan ketiga anaknya sebagai ibu rumah tangga.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Seusai konferensi pers identifikasi jenazah pesawat Lion Air PK-LQP, wartawan ‘Kompas’ menemui Kepala Bidang DVI Polri Kombes Lisda Cancer saat menunggui anaknya yang sedang sakit, di Gedung Anton Soedjarwo, Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I R Said Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur, Rabu (7/11/2018).
Sebagai Kepala Bidang DVI Polri, Lisda berperan penting dalam memastikan identitas setiap jenazah yang teridentifikasi. Proses yang dilakukan, baik melalui metode sidik jari, pemeriksaan gigi, maupun sampel DNA, ia awasi bersama petugas penanggung jawab identifikasi dalam rapat rekonsiliasi setiap sore.
Kabar musibah Lion Air PK-LQP menjadi fokus Lisda ketika media ramai memberitakan kejadian tersebut. Saat hari kejadian (29/10/2018), ia masih berada di Kathmandu Nepal untuk memberikan pelatihan Interpol Post Blast and DVI Course. Setelah mendengar kabar itu, ia pun langsung kembali ke Indonesia untuk segera menangani proses identifikasi jenazah.
Setibanya di Indonesia, ia mengerahkan timnya untuk mengidentifikasi seluruh jenazah penumpang. Proses itu ia nilai cukup sulit, walau bukan mustahil untuk dilakukan. Kondisi temuan jenazah yang tidak utuh mengharuskan proses identifikasi dilakukan melalui pemeriksaan sampel DNA.
Selama sepuluh hari terakhir, Lisda mengatakan, timnya tidak berhenti melakukan identifikasi sejak pagi hingga malam. “Rasa lelah seperti hilang, terutama saat ada anggota keluarga penumpang yang menyampaikan terima kasih secara langsung kepada saya.”
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Kepala Bidang Disaster Victim Identification (DVI) Polri, Komisaris Besar Lisda Cancer, saat memberikan keterangan pers identifikasi jenazah Pesawat Lion Air PK-LQP, di Kramatjati, Jakarta Timur, Rabu (7/11/2018).
Dukungan keluarga juga menjadi salah satu penyemangat dalam bekerja. Ia dan suaminya yang juga berprofesi sebagai polisi berbagi tugas untuk mengasuh anak. Ketiga anaknya pun memaklumi tuntutan profesi ibunya.
“Ketika saya muncul di berita TV, anak-anak kerap memotret dan membagikannya ke media sosial. Mereka mengerti kalau ibunya sedang bekerja,” ucap Lisda.
Tertarik forensik
Ketertarikan Lisda terhadap bidang forensik tumbuh sejak ia menjabat sebagai Kepala Odontologi Forensik pada 2003. Kasus bom yang terjadi di Kedutaan Besar Australia tahun 2004, menjadi pengalaman pertama yang membuatnya banyak belajar. Dari situ, keinginannya mempelajari bidang forensik semakin menggebu.
“Pengalaman itu memberikan banyak pelajaran berharga. Saya semakin yakin dengan profesi ini,” ujar Lisda.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Kepala Bidang Disaster Victim Identification (DVI) Polri Komisaris Besar Lisda Cancer, saat memberikan penjelasan kepada wartawan di Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018).
Tahun 2004 hingga 2005 menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi Lisda. Ia dihadapkan dengan sejumlah kasus terorisme yang membuat kemampuannya semakin terasah.
Pada tahun 2005, Lisda bergabung dalam tim untuk identifikasi jenazah dokter Azhari pada kasus Bom Bali dua. Adapun, beberapa proses identifikasi jenazah lainnya yang berhasil ditangani yaitu, kasus Bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta, Nurdin M Top dan Dulmatin, kasus teroris di Ciputat, dan kasus bom di Surabaya.
Selain itu, Lisda juga terlibat dalam proses identifikasi jenazah korban kecelakaan pesawat di Indonesia. Kasus tersebut antara lain, kecelakaan pesawat Garuda nomor penerbangan GA-200 rute Jakarta-Yogyakarta tahun 2007, kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 rute Surabaya-Singapura tahun 2014, dan kecelakaan pesawat Piper di Tual Maluku.
Awalnya, Lisda merasa tidak nyaman bekerja mengidentifikasi banyak jenazah. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan Lisda untuk membantu sesama mengalahkan perasaan ketidaknyamanan itu.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Konferensi pers identifikasi jenazah penumpang Pesawat Lion Air PK-LQP, Sabtu malam (3/11/2018) di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, dipimpin oleh Wakil Kepala Rumah Sakit Komisaris Besar Hariyanto dengan Kepala Bidang Disaster Victim Identification (DVI), Komisaris Besar Lisda Cancer.
Harapan
Kiprah Lisda dalam bidang kedokteran forensik selama empat belas tahun tidak membuatnya berpuas diri. Ia masih memiliki mimpi untuk membangun basis data antemortem yang lengkap di Indonesia.
Lisda mengacu pada pengalamannya saat melakukan studi di Australia. “Di sana, segala kebutuhan antemortem meliputi sidik jari, sampel DNA, dan rekam gigi (odontogram) telah terintegrasi di kantor kependudukan pusat.”
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Kepala Bidang Disaster Victim Identification Rumah Sakit Polri, Ajun Komisari Besar Lisda Cancer.
Kebutuhan tersebut menurut Lisda sejalan dengan kondisi Indonesia yang secara geografis rentan terhadap bencana alam. Pengumpulan data antemortem menjadi lebih mudah saat seluruh datanya terkumpul dalam satu sistem yang terintegrasi.
“Sistem tersebut akan mempersingkat waktu identifikasi jenazah. Namun, persiapannya harus benar-benar matang,” pungkasnya. (MELATI MEWANGI/ADITYA DIVERANTA)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 14 November 2018