Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menargetkan hasil riset mikrobiologi bisa untuk membantu rakyat kecil. Salah satunya, riset bakteri asam laktat yang mengejar senyawa dengan kemampuan mengawetkan makanan untuk membantu nelayan mengawetkan ikan secara alami. Saat ini, peneliti LIPI sedang menguji kemampuan bakteri asam laktat yang diperoleh dari Pulau Enggano, Bengkulu.
Setelah uji laboratorium selesai, peneliti berencana mendiseminasikan hasil penelitian ke daerah-daerah. “Untuk hasil riset bakteri asam laktat, salah satu rencana kami adalah mendiseminasikan ke Banyumulek (Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat),” tutur peneliti mikrobiologi LIPI, Sulistiani, saat dihubungi pada Kamis (23/7).
Bakteri asam laktat tergolong generally recognized as safe (GRAS) atau aman dikonsumsi. Ia memiliki senyawa bioaktif bernama bakteriosin yang berfungsi sebagai pengawet pangan, antara lain pada sayuran, susu, dan serealia. Penelitian bakteri asam laktat asal Enggano menjadi awal dari upaya memenuhi kebutuhan pengawet alami masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Enggano merupakan pulau terluar Provinsi Bengkulu yang menghadap Samudra Hindia, masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, serta berjarak 175 kilometer dari Kota Bengkulu.
Sulistiani mengatakan, pengawetan ikan bisa menggunakan garam, tetapi rasa ikan akan sangat asin jika hanya menggunakan garam. Karena itu, sejumlah nelayan menyiasati dengan memanfaatkan formalin agar penggunaan garam minimal dalam pengawetan. Padahal, formalin merupakan bahan kimia pengawet mayat yang sangat berbahaya bagi kesehatan, salah satunya karena bisa memicu kanker.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sulistiani, menunjukkan koloni bakteri asam laktat yang diisolasi dari salak hutan asal Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu, Selasa (5/5), di Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Bakteri asam laktat antara lain bermanfaat untuk membuat makanan lebih mudah dicerna.
Pengembangan pengawet alami dari senyawa bakteri asam laktat menjadi upaya untuk menekan penggunaan bahan berbahaya tersebut. Sekarang, peneliti sudah mendapatkan tiga isolat bakteri unggul yang bersumber dari nira kelapa asal Enggano. Hal itu setelah bakteri asam laktat terbukti mampu menghambat perkembangan bakteri pembusuk dan patogen, yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella enterica, Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, dan Pseudomonas aeruginosa.
Menurut Sulistiani, diseminasi bakteri asam laktat nantinya bisa diintegrasikan dengan program taman-taman tekno (technoparks) yang dikembangkan di sejumlah daerah. Banyumulek merupakan salah satu lokasi pengembangan kawasan taman tekno oleh LIPI.
LIPI akan membawa indukan bakteri asam laktat unggul ke daerah-daerah dan memberi penyuluhan terkait penerapan teknologi fermentasi menggunakan bakteri itu. Setelah dinilai mampu, daerah akan menjalankan program secara mandiri, membiakkan bakteri-bakteri dari indukan dan memperluas penggunaan untuk masyarakat. Salah satu tujuannya adalah juga mengembangkan industri rumah tangga berbasis teknologi fermentasi di daerah tersebut.
Ketahanan pangan
Selain untuk mendapatkan senyawa pengawet makanan, peneliti LIPI juga meneliti potensi enzim amilase pada bakteri asam laktat asal Enggano. Enzim yang mengubah amilum menjadi maltosa dan glukosa tersebut membuat bahan pangan lebih mudah dicerna. Sayangnya, enzim amilase berjumlah sedikit pada bakteri asam laktat dari tanaman-tanaman asal Enggano.
Meski demikian, dari upaya mendapatkan potensi enzim amilase, peneliti juga menemukan bahwa Enggano kaya potensi bahan pangan alternatif tepung gandum. Ini lantaran penelitian menggunakan tepung yang dibuat dari tanaman-tanaman pangan pulau tersebut.
Pakar mikrobiologi pangan LIPI, Tatik Kusniati, menuturkan, ia antara lain membuat tepung dari jagung, beras, melinjo, dan umbi-umbian, seperti ubi kayu hutan, taka, dan talas telur. Dari pengukuran nilai nutrisi, bahan dari umbi-umbian memiliki kandungan karbohidrat di atas 80 persen. “Tepung gandum saja hanya sekitar 70 persen. Hal itu menunjukkan umbi-umbian Enggano bisa sebagai alternatif tepung gandum,” ujarnya.
Tatik menambahkan, jika masyarakat Enggano terisolasi dari Pulau Sumatera, misalnya akibat bencana, masyarakat bisa mengandalkan bahan-bahan tersebut. Saat ini, penduduk Enggano lebih terbiasa mengonsumsi beras dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 23 Juli 2015