Pada era digital, liberalisasi pendidikan tak dapat dihindari. Namun, Indonesia perlu menyusun konsep matang agar nilai-nilai luhur bangsa tidak terdegradasi.
Demikian benang merah diskusi “Tantangan dan Peluang Liberalisasi Pendidikan di Era Digital” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di KAHMI Center Jakarta, Rabu (8/4). Hadir sebagai pembicara, Rektor Universitas Sebelas Maret Ravik Karsidi, anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati, dan Direktur Riset Akbar Tandjung Institute Muhammad Alfan Alfian.
Ravik Karsidi mengatakan, pada abad ke-21, persaingan global tidak dapat dihindari. Pasar global berkembang cepat seiring dengan tumbuhnya internet. Sebuah negara maju dengan mudah memanfaatkan internet untuk memengaruhi dan mengeruk keuntungan dari negara lain dari beragam sektor, termasuk sektor pendidikan.
Persoalannya, menurut Ravik, ketika Indonesia tidak mampu menyaring budaya asing yang tidak sesuai karakter bangsa, nilai-nilai luhur Indonesia akan punah. Budaya bangsa, seperti gotong royong, kejujuran, kerja keras, dan keberanian, akan tergantikan dengan sikap individualistis, egois, dan ingin serba instan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita perlu menyusun peta jalan pendidikan Indonesia jangka panjang. Mungkin semacam garis besar haluan pendidikan sehingga implementasi pendidikan mengacu konsep itu. Kalau sekarang, setiap kali pergantian pemerintah, sistem pendidikan juga berubah,” kata Ravik.
Dalam kesempatan tersebut, Muhammad Alfan Alfian mengatakan, pada era digital, perubahan budaya sangat cepat. Orang-orang harus cerdas menggunakan internet agar tak terperangkap dalam keburukan. Di internet, muatan negatif dan positif sama banyaknya sehingga pengguna internet perlu menyaring dengan cermat.
“Pendidikanlah yang akan memfilter nilai-nilai yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia,” kata Muhammad Alfan Alfian.
Jasa pendidikan
Sejak 1994, Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan demikian, Indonesia tak bisa menghindar dari perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk jasa pendidikan. Reni Marlinawati mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah membuat aturan untuk memfilter budaya asing dalam pendidikan. Namun, aturan tersebut belum sepenuhnya diterapkan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sudah mengakomodasi kepentingan bangsa dalam pendidikan.
“Isi undang-undang itu mengatur tegas bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun lembaga pendidikan tersebut milik asing, muatan ajarannya tidak boleh mengesampingkan kepentingan nasional,” tutur Reni.
Dia menilai penerapan undang-undang itu tidak tegas. Padahal, Pasal 90 UU No 12/2012 menyatakan, perguruan tinggi negara lain wajib mendukung kepentingan nasional. (B04)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2015, di halaman 12 dengan judul “Liberalisasi Pendidikan Jadi Tantangan”.