Selama dua tahun terakhir, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti kawasan Hitu yang berada di bagian utara Provinsi Maluku. Yang menarik dari temuan-temuan mereka adalah, sisa-sisa pemukiman kuno justru banyak ditemukan di tempat-tempat ketinggian antara 100-200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara sisa-sisa pemukiman kuno tak ditemukan di pinggir-pinggir pantai bagian bawah.
PUSLIT ARKENAS FOR KOMPAS–Peneliti Puslit Arkenas melakukan ekskavasi di Situs Tomu, Leihitu, Maluku tengah, Maluku tanggal 18 September 2018 lalu
Berdasarkan hasil ekskavasi di Situs Tomu yang lokasinya beberapa ratus meter di atas Pelabuhan Hitu Lama, hunian di Tanah Hitu rupanya sudah mulai tampak sejak abad ke-7.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pemilihan tempat hunian di daerah agak tinggi kemungkinan besar disebabkan karena pengalaman masyarakat setempat menghadapi gempa bumi dan tsunami berkali-kali. Sayangnya, setelah VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda) masuk ke Maluku abad ke-17, Belanda justru menyuruh masyarakat lokal tinggal di bawah agar mudah dikontrol,” kata arkeolog senior Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo yang biasa dipanggil Tomi, Jumat (18/1/2019) di Jakarta.
Kearifan lokal yang sudah berjalan turun-temurun itu dilanggar oleh kepentingan ekonomi perdagangan rempah di Maluku. Dan benar, seperti dicatat naturalis Georg Everhard Rumphius, gempa dahsyat disertai tsunami besar mengguncang Pulau Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674.
Tsunami setinggi tiga meter menghantam pesisir Hitu yang penuh dengan pemukiman orang-orang Belanda. Dilaporkan 36 orang tewas. Korban jiwa akibat bencana tersebut di seluruh Pulau Ambon dan Seram total mencapai 2.322 jiwa. “Belanda tidak menyadari ancaman gempa bumi dan tsunami. Kearifan lokal yang sudah ada dilanggar dan korban jiwa pun berjatuhan,” kata Tomi.
Belanda tidak menyadari ancaman gempa bumi dan tsunami. Kearifan lokal yang sudah ada dilanggar dan korban jiwa pun berjatuhan.
Belajar dari kearifan lokal leluhur masyarakat Hitu “membaca” tanda-tanda alam, khususnya bencana tsunami, Tomi meyakini ada bahasa khusus dari masyarakat lokal di sana untuk menyebut apa itu tsunami. “Sampai sekarang saya mencari apa itu bahasa lokal tsunami bagi masyarakat di Hitu daerah lainnya di Indonesia. Seperti di Pulau Simeulue, Aceh, misalnya ada tradisi Smong memperingatkan masyarakat untuk berlari ke atas bukit, bukan ke laut saat terjadi gempa besar. Karena mengenali gejala alam, maka sebagian besar dari mereka selamat,” ujarnya.
PUSLIT ARKENAS FOR KOMPAS–Kawasan Jazirah Leihitu terlihat dari Situs Tomu yang berada di daerah lebih tinggi. Jika dulu masyarakat lokal Hitu sudah terbiasa tinggal di daerah tinggi, kini justru kebiasaan itu tidak ada lagi. Pemukiman pada penduduk justru menumpuk di sepanjang pinggir pantai yang rawan diterjang tsunami jika gempa bumi besar muncul
Pusat perdagangan rempah
Peneliti memperkirakan Kawasan Hitu dihuni jauh sebelum kedatangan empat perdana atau empat kelompok masyarakat yang pertama datang di Tanah Hitu (sekitar abad ke-15) karena jejak hunian di sana tampak sekitar abad ke-7 hingga 10. Saat itu, Hitu berkembang menjadi pelabuhan dan bandar utama di Maluku. Namun, memasuki abad ke-17 Hitu tak lagi menduduki posisi penting sebagai bandar utama yang mengoordinir bandar-bandar kecil. VOC mulai menguasai perdagangan rempah dan mematikan aktivitas ekonomi Hitu dengan membuat Pelabuhan baru di Ambon.
PUSLIT ARKENAS FOR KOMPAS–Temuan fragmen keramik China di Situs Tomu yang menunjukkan adanya praktik perdagangan lintas pulau, bahkan luar negeri sejak masa lampau di Hitu
Menurut Kepala Puslit Arkenas I Made Geria, penelitian Situs Tomu di Maluku Tengah merupakan satu dari 12 penelitian terbaik yang digelar Puslit Arkenas tahun 2018. Sepanjang 2018, Puslit Arkenas melakukan total 96 penelitian yang tersebar di seluruh Indonesia. Seluruh penelitian diwajibkan memberikan kontribusi riil bagi masyarakat.
Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 19 Januari 2019