Ledakan populasi ulat bulu famili Lymantriidae di sejumlah wilayah di Indonesia terus meluas. Tanaman inang tempat tumbuh ulat pun kian beragam.
Terakhir kasus ulat bulu ditemukan di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Rabu (13/4). Sebelumnya ulat bulu ditemukan di Bekasi, Jawa Barat, sejumlah kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan daerah lain. Penyebabnya diduga, antara lain, berkurangnya musuh alami di alam.
Di Tanjung Duren, tanaman inangnya berupa pohon cemara di tepi Kali Sekretaris dan bukan tanaman buah-buahan, seperti ditemukan di daerah lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Makanan utama ulat bulu adalah dedaunan pada inang suku mangga-manggaan. Pertanyaannya, mengapa memilih inang cemara?” kata ahli serangga pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Roshicon Ubaidillah, di Tanjung Duren, kemarin.
Ulat bulu di sejumlah wilayah lain, seperti Probolinggo, Pasuruan, dan Kudus, umumnya menyerang pohon mangga. Ulat bulu menyerang pohon mindi di Banyuwangi dan pohon asem di Jombang. Di Bekasi, ulat bulu berkembang pada pohon avokad, sedangkan di Salatiga menyerang jambu air.
Di Kediri, ulat bulu juga menyerang pohon mindi yang dikenal pahit dan daunnya dijadikan obat gatal. ”Tanaman mangga, sengon, dan lainnya tak diserang. Entah kenapa,” kata Andrean, warga Desa Blaru, Kediri.
Berdasarkan hasil penelitian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ulat bulu yang berkembang di Jakarta berbeda dengan yang ada di Probolinggo. ”Kami mengambil sampel dan diidentifikasi di laboratorium. Secara fisik berbeda. Di Jakarta bulunya lebat, di Probolinggo tidak,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Ipih Ruyani.
Temuan di Jakarta Barat, populasi ulat diperkirakan 1.800 ekor karena satu pohon rata-rata terdapat 60 ulat. Jumlah itu belum masuk status waspada tinggi. Status waspada tingkat tinggi kalau populasi per pohon mencapai 800 ulat.
Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian Haryono mengatakan, ledakan populasi ulat bulu pada dasarnya disebabkan berkurangnya musuh alami di alam, seperti burung pemangsa serangga, kepik, kumbang, dan lebah kecil (parasitoid) yang tumbuh di telur, kepompong, dan tubuh ulat bulu. ”Akhirnya terjadi ledakan seperti ini,” katanya.
Berkurangnya musuh alami, selain karena ulah manusia secara langsung, juga disokong faktor curah hujan tinggi yang menaikkan kelembaban. Kondisi lembab mendorong ledakan populasi ulat bulu karena metamorfosis siklus hidup ulat bulu makin cepat dibandingkan dengan kondisi normal, 4-5 minggu.
”Yang bisa dilakukan sekarang di antaranya penyemprotan insektisida,” ujarnya. Cara lain, mengambil kepompong atau ulat, lalu membakarnya.
Guru Besar Ilmu Hama Tanaman Institut Pertanian Bogor Aunu Rauf mengatakan, apabila perlu insektisida, sebaiknya menggunakan yang berbahan aktif bakteri Bacillus thuringiensis. Insektisida ini aman terhadap lingkungan, hanya mematikan ulat, tetapi tidak musuh alaminya. Caranya, penyemprotan dilakukan saat ulat masih kecil. Insektisida yang disemprotkan akan menempel pada daun dan termakan ulat. Bakteri yang tertelan akan mengeluarkan racun dalam saluran pencernaan sehingga membunuh ulat bulu.
”Perlu diketahui, jangan semua ulat bulu dimusnahkan, hanya dikendalikan karena ulat bulu juga dibutuhkan tanaman tertentu untuk berkembang atau berbuah,” katanya.
Terus meneror warga
Ledakan populasi ulat di sejumlah daerah terus meneror warga. Di Madiun, misalnya, ulat bulu merayap di lantai dan dinding kamar mandi, juga di jemuran pakaian.
Di Kabupaten Buleleng dan Gianyar, Bali, ulat bulu memakan daun mangga, pisang, atau ubi jalar milik warga. Menurut penelitian sementara, ulat bulu itu adalah ulat lokal, bukan yang bermigrasi dari Pulau Jawa.
Selain menangani ledakan populasi secara mandiri, warga di sejumlah daerah juga meminta pemerintah turun tangan.(NAW/ARN/WIN/DIA/NIK/ODY/UTI/DEN)
Sumber: Kompas, 14 April 2011