Pemanasan global diprediksi menghilangkan pengaruh siklus El Nino dan pola cuaca ekstrem ke depan bakal lebih sulit diprediksi.
—Suhu laut (biru = dingin, merah = hangat) ke depan yang disimulasikan oleh superkomputer resolusi ultratinggi (Aleph) dari Korea Selatan.
Siklus perubahan suhu permukaan air laut dari hangat ke dingin di Samudra Pafisik atau dikenal El Nino-Southern Oscillation selama ini telah memengaruhi pola musim di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Namun, pemanasan global diprediksi menghilangkan pengaruh siklus ini dan pola cuaca ekstrem ke depan bakal lebih sulit diprediksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil kajian tentang dampak krisis iklim terhadap siklus El Nino-Southern Oscillation (ENSO) ini dilaporkan para peneliti di dua jurnal terpisah, yaitu Nature Climate Change pada 26 Agustus 2021 dan Nature Reviews Earth & Environment pada 17 Agustus 2021. Kedua kajian ditulis tim ilmuwan iklim dari IBS Center for Climate Physics (ICCP) Pusan National University in South Korea; the Max Planck Institute of Meteorology, University of Hawai’i; dan sejumlah peneliti lain.
Disebutkan, siklus El Nino yang hangat dan kondisi La Nina yang dingin di Pasifik timur atau disebut ENSO telah berlangsung tanpa gangguan besar setidaknya selama 11.000 tahun terakhir. Untuk melihat siklus ini ke depan, tim peneliti kemudian melakukan serangkaian simulasi iklim global dengan resolusi spasial skala besar, yaitu 10 kilometer di lautan dan 25 km di atmosfer.
Dibantu superkomputer tercepat Korea Selatan (Aleph), simulasi model iklim resolusi tinggi ini dapat secara realistis menyimulasikan siklon tropis di atmosfer dan ketidakstabilan gelombang tropis di Samudra Pasifik. Keduanya memainkan peran mendasar dalam kemunculan El Nino dan La Nina.
”Superkomputer kami berjalan tanpa henti selama lebih dari satu tahun untuk menyelesaikan serangkaian simulasi selama satu abad yang mencakup iklim saat ini dan dua tingkat pemanasan global yang berbeda. Model ini menghasilkan 2 kuadriliun byte data, cukup untuk mengisi sekitar 2.000 hard disk,” kata Sun-Seon Lee dari Universitas Nasional Pusan.
Sebelumnya, dua generasi ilmuwan iklim telah melihat dampak pemanasan global terhadap siklus ENSO dengan hasil berbeda. Beberapa model menyimulasikan, ENSO bakal lebih lemah, tetapi yang lain memperkirakan perubahan suhu Pasifik bagian timur yang lebih besar di iklim yang lebih hangat di masa depan.
”Hasil dari simulasi komputer kami jelas, peningkatan konsentrasi CO2 akan melemahkan intensitas siklus suhu ENSO,” kata Christian Wengel, penulis pertama studi yang bekerja di Max Planck Institute of Meteorology.
Dengan menelusuri pergerakan panas di atmosfer dan sistem laut, para ilmuwan mengidentifikasi penyebab utama runtuhnya sistem ENSO. Disimpulkan, peristiwa El Nino di masa depan akan kehilangan panas ke atmosfer lebih cepat karena penguapan uap air, yang memiliki kecenderungan untuk mendinginkan laut.
Selain itu, penurunan perbedaan suhu di masa depan antara Samudra Pasifik tropis timur dan barat juga akan menghambat perkembangan suhu ekstrem selama siklus ENSO. Namun, kedua faktor ini sebagian diimbangi oleh proyeksi melemahnya gelombang ketidakstabilan tropis di masa depan.
Biasanya gelombang laut ini, yang dapat mencakup hingga 30 persen dari seluruh lingkar bumi, berkembang selama kondisi La Nina. Mereka menggantikan perairan khatulistiwa yang lebih dingin dengan air di luar khatulistiwa yang lebih hangat sehingga mempercepat hilangnya peristiwa La Nina. Simulasi komputer baru, yang menyelesaikan struktur rinci gelombang ini, menunjukkan bahwa umpan balik negatif terkait untuk ENSO akan melemah di masa depan.
”Ada tarik-menarik antara umpan balik positif dan negatif dalam sistem ENSO, yang mengarah ke sisi negatif dalam iklim yang lebih hangat. Ini berarti peristiwa El Nino dan La Nina di masa depan tidak dapat mengembangkan amplitudo penuhnya lagi,” kata Malte Stuecker, anggota tim Universitas Hawai’i.
Meskipun fluktuasi tahun ke tahun di suhu Pasifik khatulistiwa timur cenderung melemah dengan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia, menurut studi baru ini, perubahan yang sesuai dalam curah hujan ekstrem terkait El Nino dan La Nina akan terus meningkat karena intensitas hujan yang meningkat.
Implikasinya di Indonesia
Peneliti iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto, mengatakan, kajian ini sangat penting dan bisa berimplikasi pada kondisi iklim di Indonesia ke depan. ”ENSO yang bisa hilang pengaruhnya karena kuatnya pemanasan global sepertinya mulai muncul tahun ini, di mana Samudra Pasifik dan Samudra Hindia menunjukkan kondisi netral, tetapi hujan lebih banyak daripada biasanya di musim kemarau ini,” katanya.
Dengan temuan ini, menurut Siswanto, sangat mungkin variabilitas hujan dan ekstremitasnya tidak lagi mengikuti pola ENSO. ”Selama ini tahun basah dan kering di Indonesia mengikuti pola La Nina dan El Nino di Pasifik meski belakangan diketahui adanya peran signifikan dari Samudra Hindia terhadap variabilitas basah dan kering dari musim di Indonesia,” ujarnya.
Mengacu pada kajian di atas, Siswanto mengingatkan, ekstremitas iklim yang basah dan kering tidak bisa lagi mengikuti pola dari fenomena anomali atau variablitas yang selama ini sudah dikenal dan biasanya dipakai untuk pemodelan iklim. Hal ini akan menjadi tantangan ke depan dalam prediksi cuaca.
Sebelumnya, BMKG telah memprediksi, musim hujan tahun ini diperkirakan datang lebih awal di sebagian besar wilayah Indonesia sekalipun mayoritas pusat iklim di sejumlah negara memperkirakan tahun ini ENSO dalam kondisi netral. Selain itu, banyak wilayah akan mengalami intensitas hujan yang lebih tinggi dari rata-rata normalnya sehingga risiko banjir dan longsor diperkirakan bakal meningkat.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2021