Dua profesi, jurnalis dan peneliti, pada dasarnya memiliki kesamaan episteme, yaitu obyektivitas.
Bahwa obyektivitas selamanya memiliki dua sisi mata koin tak terpisah: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri pelaku. Artinya di satu sisi menghargai kebenaran pada obyek dan menekan kepentingan subyektif diri pada sisi lainnya. Pilpres 2014 membawa implikasi ke dua profesi ini. Jika pengabaian obyektivitas dianggap enteng, publik dihadapkan situasi krisis sebab dua profesi yang berbasis kepercayaan (credibility) dibiarkan bobrok.
Sebagai perusahaan media, televisi mungkin masih tertolong, misalnya dengan siaran sepak bola yang sangat diminati publik. Namun, siaran berita televisi dan media cetak dengan materi utama jurnalisme pada dasarnya menjebloskan diri. Seusai pilpres, sebagai institusi sosial, dia harus keluar dari lubang kuburnya dan berusaha memulihkan diri, sementara politisi yang bersaing sudah menikmati kursi masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika politisi tak menghargai obyektivitas, mudah dipahami. Pemeo populer menyatakan, dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang sama. Tak perlu akal sehat (reason) dengan kerangka ideal publik dalam komunikasi, cukup dengan kekuatan retorika dalam propaganda.
Untuk kepentingan subyektif yang bersifat pragmatis, sudah biasa segala cara dihalalkan. Apa jadinya manakala kecenderungan ini merasuk ke dunia jurnalisme dan penelitian?
Yang abadi bagi media jurnalisme dan lembaga penelitian adalah kepercayaan publik. Kepentingan pragmatis mungkin menguntungkan jangka pendek, tetapi kehilangan kepercayaan memerlukan upaya panjang membangun ulang hubungan organis dengan publik luas.
Krisis jurnalisme
Partisanship oleh media biasa terjadi. Namun, keberpihakan ini bersifat gradual, tak absolut. Biasanya karena mendukung gagasan tertentu yang berkesesuaian dengan visi media. Dukungan pada gagasan diikuti simpati, tecermin dari pemberitaan tentang kandidat bersangkutan. Namun, bukan berarti menutup sama sekali peluang pemberitaan atas kandidat lain.
Karena itu, masa pilpres senantiasa jadi ranah kajian dalam studi komunikasi, yaitu melalui analisis isi kuantitatif (content analysis) melihat komposisi pemberitaannya. Di sini diukur derajat netralitas dan keseimbangan terhadap pihak-pihak yang bersaing. Artinya setiap pihak tetap diberitakan. Media digolongkan sebagai simpatisan, bukan partisan.
Koran Tempo yang disebut-sebut berpihak, atau Jakarta Post yang eksplisit mendukung salah satu kontestan, dengan pengamatan sederhana terlihat sebagai media simpatisan. Simpati tecermin dalam pemberitaan. Namun, koran-koran ini tetap memberi tempat ke kontestan lain. Asas jurnalisme dijalankan, yaitu setiap pemberitaan dari tiap-tiap kontestan berdasarkan narasumber dari pendukung kontestan tersebut.
Krisis dalam kerja jurnalisme yang tampak dalam Pilpres 2014 lebih dari partisanship yang biasa dikenal. Belum pernah dunia jurnalisme semabuk sekarang. Media pers dijalankan tanpa rikuh sebagai partisan dengan berpihak secara mutlak kepada kontestan politik. Keberpihakan ini di satu sisi dengan memberi tempat total kepada yang dipihaki, di sisi lain tak memberi tempat ke kompetitor. Atau kalau memberitakan kompetitor secara tendensius bersifat negatif, tanpa narasumber dari pihak yang diberitakan. Karena itu, disebut kampanye gelap. Asas keseimbangan dan ketidakberpihakan yang jadi ciri netralitas dalam kerja jurnalisme tak lagi dihormati.
Apakah keberadaan media partisan masih dinilai dengan norma etika jurnalisme? Kiranya sudah tak relevan bicara etika. Etika hanya dapat berlaku pada ranah perbuatan yang bersifat relatif, antara baik dan kurang baik. Jika yang dilihat semata-mata perbuatan buruk yang absolut, bukan lagi ranah etika. Itu urusan aparat hukum karena bersifat pada pencemaran kehormatan/martabat, fitnah atau sejenisnya sebagai pidana umum.
Jika sebelumnya hitung cepat (HC) dapat jadi acuan yang menenangkan tensi kontestasi, pilpres kali ini malah dikisruhi data HC. Pada waktu lalu, biasanya kisruh pemilu adalah pada penghitungan riil universe voter dalam struktur KPU, mulai dari TPS sampai rekapitulasi di atasnya. Keterbukaan KPU sekarang adalah menyediakan hasil pemindaian data mentah dari struktur paling bawah (C1 dari PPS) secara daring. Kemudahan perangkat lunak untuk capture dari layar monitor menjadikan pengawasan pada rekap dapat ditingkatkan. Partisipasi publik melalui media daring menandai proses kerja pemilu di Indonesia.
Kisruh terjadi di antara dua set kelompok data HC: versi 1 dari empat lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta dan versi 2 dari delapan lembaga yang memenangkan Jokowi-JK. Dengan jaringan stasiun televisi lebih banyak, keberulangan tinggi data versi 1 terkesan lebih lantang. Secara masif jaringan televisi MNC Group yang pemiliknya pendukung Prabowo-Hatta menyiarkan data versi 1, dengan tak menyiarkan sama sekali data versi 2. Stasiun lain menyiarkan data versi 1 dan 2, tetapi memberi keberulangan lebih tinggi pada data versi 2. ”Perang” data HC berlangsung di layar kaca. Dengan tak memberitakan data versi 2, jaringan MNC menempatkan diri partisan absolut.
Sampel lembaga HC adalah proporsi TPS, sedangkan data universe KPU adalah seluruh TPS. Jadi publik perlu tahu bahwa keberadaan data HC sangat ditentukan oleh kesahihan (validitas) atas sampel, dari sini keterujian (reliabilitas) data ditentukan. Setiap kali HC dipublikasikan media pada dasarnya memberikan pendidikan level akademik kepada publik luas tentang kaidah metodologi penelitian. Karena itu, jika ada desakan agar lembaga-lembaga HC membuka metodologi, mungkin tak harus deskripsi detail sebaran sampel, yang penting publik kembali dididik tentang reasoning dalam penentuan proporsi sebaran sampel penelitian HC.
Membangun profesi
Fungsi HC—terutama di negara yang rentan kecurangan (fraud) dalam penyelenggaraan pemilu—adalah untuk pembanding bagi publik sehingga kalau perlu melakukan gerakan masif dengan menunggui penghitungan di semua polling station. Pengalaman NAMFREL (National Citizen Movement for Free Election) di Filipina yang mengakhiri kekuasaan Marcos jadi contoh fungsi penting HC.
Persoalan yang tersisa dari kisruh dunia jurnalisme dan penelitian akibat Pilpres 2014 adalah menegakkan standar moral dalam menjalankan profesi. Untuk profesi jurnalisme, persoalannya sederhana sebab media partisan absolut jelas tak menjalankan kaidah episteme jurnalisme. Sementara kaidah etika profesi hanya perlu diterapkan untuk melihat derajat ketidakberpihakan yang dipermasalahkan (disputed). Untuk itu organisasi profesi/majelis kehormatan dapat turun tangan memeriksa kerugian publik yang diakibatkan malapraktik sang jurnalis.
Kenyataan bersimpati pada satu pihak, dan tak menutup peluang bagi pihak lain, tuntutan etika adalah dalam menegakkan derajat obyektivitas yang paling ideal. Bersimpati atau tidak ke satu pihak merupakan hak preferensial pelaku profesi. Untuk itu harus disadari konsekuensi ke depan, bagaimana memulihkan iklim netralitas paling optimal dalam kerja keredaksian.
Mengenai HC, pertaruhannya bagi eksistensi lembaga survei adalah derajat paralelisme dengan data KPU nanti. Data palsu (sama sekali bertolak belakang dengan data real count) akan mengakhiri hidup lembaga HC yang mengeluarkan. Tantangan keberadaan lembaga HC akan berbeda jika lembaga pemilu secara relatif tak lagi dicurigai. Semoga ke depan kredibilitas kelembagaan KPU dapat dibangun dengan profesionalisme komisioner sekarang. Artinya publik tak akan dikecewakan atas kasus korupsi, atau komisioner sebenarnya diam-diam disiapkan sebagai orang partai, seperti KPU yang sudah-sudah. Dengan kredibilitas lembaga pemilu, data HC bukan lagi pembanding. Di sini peran lembaga HC yang kredibel adalah memenuhi hasrat ingin tahu publik, dengan asas media pers yang utama, yaitu kecepatan. Kemajuan teknologi informasi yang sangat mendukung kecepatan proses penelitian di satu sisi dan pemediaan (termasuk media daring) di sisi lain menuntut penampilan profesional dua ranah ini.
Ashadi Siregar, Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
Sumber: Kompas, 11 Agustus 2014