Dalam hitungan belasan purnama lagi, Jakarta akan dilengkapi dengan dua jenis sarana pengangkut yang belum ada presedennya di ibukota sejak kemerdekaan: kereta layang dan kereta bawah tanah. Sekarang dan sekian puluh bulan sebelumnya macet melanda kawasan pembangunan infrastruktur kedua macam gandaran itu.
Tahun depan, 2019, besar peluang bahwa mobil dan sepeda motor akan berkurang di ruas-ruas jalan ibukota dengan beroperasinya kereta layang dan kereta bawah tanah itu. Pedagang kaki lima dan para menteri, misalnya, kita harapkan bersamaan berada di kereta itu menuju stasiun yang sama. Si pedagang tak mengendarai sepeda motor lagi dengan segala manuvernya yang sering memperparah macet ibukota.
Sang menteri tak lagi digoda para penggawanya dikawal beberapa mobil mewah berwarna hitam dengan raungan sirenenya yang memekakkan telinga dan meminggirkan kendaraan yang sudah puluhan menit tertib antre untuk bergerak setapak demi setapak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akan kita namakan apa masing-masing dari kedua moda transportasi tersebut? LRT dan MRT?
Jangan, sebab nanti lafalnya beragam. Ada yang bilang “el-ar-ti”, “el-er-ti”, “el-ar-te”, atau “el-er-te”; “em-ar-ti”, “em-er-ti”, “em-ar-te”, atau “em-er-te”. Khas orang Indonesia. Bikin pusing.
Meniru-niru Singapura dengan sebutan MRT juga tak sehat. Jauh sebelum negeri singa ini sempat dilanda macet, kereta bawah tanah sudah berkiprah di London dan Paris. Orang London menyebutnya “the Tube” atau “Underground”, kawula Paris menamakannya “Metro”. Singapura mengoarkan sebutan sendiri: MRT. Marilah kita mandiri sejak dalam istilah.
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Agustus 1988, misalnya, menyarankan tujuh langkah membentuk istilah bagi segala sesuatu yang baru di bawah langit. Di peringkat pertama disarankan “kata dalam bahasa Indonesia yang lazim dipakai”. Penerjemahan atau penyerapan dari istilah dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain berturut-turut tersua di langkah kelima dan langkah keenam.
Siapa pun dia akan selalu memilih peringkat pertama. Mengapa kita tidak, bahkan untuk benda milik sendiri? Sudah jelas, kasat mata, bahwa benda yang akan melintasi rel yang sedang dibangun di pinggir jalan tol Jakarta-Cikampek itu tak akan menimbulkan keliru setiap kepala Indonesia bila dinamakan kereta layang. Demikian halnya, benda yang akan bergerak di bawah permukaan Jalan Sudirman dari Lebakbulus itu mengangkut ratusan penumpang tak akan menciptakan salah paham bila disebut kereta bawah tanah. Itu sudah cukup!
Sebagai nama generik, kereta layang dan kereta bawah tanah–sekali lagi–sudah cukup. Nama spesifiknya seperti orang London bilang “the Tube”, itulah yang sedang disarankan di kolom ini tentang kedua moda pengangkut gandaran yang segera memanusiakan penumpang yang berlalu lalang di Jakarta dan sekitarnya untuk beragam keperluan.
Resep akronim bolehlah dipertimbangkan untuk mendapatkan nama spesifik bagi kereta layang dan kereta bawah tanah yang sudah di depan mata itu. Asalkan ditata dengan mempertimbangkan ciri-ciri kata dalam bahasa Indonesia (seperti terdiri dari 2-4 suku kata dan bunyinya lazim pada kebanyakan suku kata yang “mengindonesia”), akronim sebaiknya jangan dipantangkan. Berdikari, dari berdiri di atas kaki sendiri, adalah contoh akronim yang kiranya tak menimbulkan komplikasi tak berguna: empat suku kata, bunyi tiap suku katanya kaprah di telinga umum penduduk negeri.
Bagaimana mengakronimkan kereta layang dan kereta bawah tanah? Secara lisan kereta umumnya dilafalkan sebagai kreta dengan “e” seperti pada kata elok. Dengan mengacu pada gejala umum pembunyian itu atas nama peminimalan suku kata, kereta layang kita akronimkan sebagai kreyang dan kereta bawah tanah dengan krebata. Suku kata kre- di awal kata dasar tersua setidaknya dalam 29 lema Kamus Besar Bahasa Indonesia. Suku kata –yang di ujung kata dasar setidaknya terdapat dalam enam kata yang terdaftar pada Kamus Kata Sajak susunan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (2003). Suku kata vokal –ba dan –ta dalam bahasa Indonesia adalah trivial belaka.
Sebagai akronim, kreyang dan krebata aman dari jebakan gemuruh onomatopoeik seperti “dirjenbud depdikbud dagdigdug” yang dikeluhkan Daniel Dhakidae dalam Bahasa dan Kekuasaan (Mizan Pustaka, 1996) itu. Maka, pada 2019 nanti kita tidak lagi menetapkan LRT dan MRT sebagai calon entri dalam perkamusan Bahasa Indonesia. Catat: #2019TetapBahasaIndonesia.–SALOMO SIMANUNGKALIT
Sumber: Kompas, 19 Mei 2018