Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883 telah melenyapkan segala kehidupan di atasnya. Kini, sebagian pulau di bekas Gunung Krakatau telah ditumbuhi tumbuhan. Kondisi itu menjadikan Kepulauan Krakatau sebagai satu-satunya laboratorium alam pembentukan hutan tropik tanpa campur tangan manusia.
”Krakatau pantas dijadikan sebagai alam warisan dunia (natural world heritage),” kata peneliti Pusat Penelitian (P2) Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tukirin Partomihardjo, saat membacakan orasi pengukuhannya sebagai profesor riset bidang ekologi dan evolusi di Jakarta, Rabu (29/12).
Selama ini pengetahuan tentang suksesi atau pembentukan komunitas hutan alam beserta fungsi ekosistem hutan tropiknya lebih banyak didasarkan pada pengetahuan proses suksesi sekunder. Namun, Krakatau merupakan contoh suksesi primer hutan tropik karena komunitas sebelumnya hancur tanpa menyisakan apa pun dan menjadi daerah steril.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendataan terus-menerus Kepulauan Krakatau lebih dari 125 tahun menunjukkan, proses pembentukan ekosistem hutan tropik sangat kompleks, rumit, dan membutuhkan waktu panjang. Pembentukan komunitas hutan baru itu dipengaruhi oleh hubungan timbal balik antara tumbuhan, binatang, dan dinamika lingkungan sekitarnya, seperti kondisi gunung api, perkembangan biota yang ada, serta perubahan iklim mikro.
”Komunitas tumbuhan Krakatau masih terus berkembang dan terjadi pengayaan jenis,” kata Tukirin.
Perkembangan paling matang dan lengkap berlangsung di Pulau Rakata yang hampir tidak terpengaruh oleh letusan Gunung Anak Krakatau sejak pembentukannya. Puncak Rakata dengan tinggi 700 meter banyak ditumbuhi semak belukar. Adapun beberapa meter di bawah puncak hingga tepi pantai didominasi pohon Neonauclea calycina yang sebarannya dibantu oleh angin.
Sedikit terganggu
Perkembangan komunitas tumbuhan di Pulau Sertung dan Pulau Panjang sedikit terganggu. Ketinggian pulau yang rendah membuat pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh letusan Anak Krakatau. Bentang pulau yang relatif datar dan sempit membuat lingkungan kedua pulau juga sangat dipengaruhi oleh kondisi laut.
Adapun Pulau Anak Krakatau, sebagai pulau termuda yang muncul sekitar 1930 dan memiliki kepundan aktif setinggi 400 meter, hanya sebagian kecil daratannya yang tertutup tumbuhan. Berdasarkan data 1992, hanya 17 hektar atau 7 persen luas permukaan pulau yang tertutup tumbuhan. Abu letusan sangat memengaruhi perkembangan tumbuhan di pulau itu karena suhu abu di permukaan bisa mencapai 45 derajat celsius dan 80 derajat celsius pada kedalaman 1 meter.
Profesor riset
Selain Tukirin, pada saat bersamaan juga dikukuhkan peneliti P2 Biologi LIPI, Yohanes Purwanto, sebagai profesor riset bidang etnobotani serta peneliti P2 Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Johanis Haba, sebagai profesor riset bidang antropologi.
Dengan bertambahnya tiga profesor riset, LIPI kini memiliki 84 profesor riset. Secara nasional, dari berbagai lembaga penelitian yang ada, jumlah profesor riset menjadi 329 orang.
Kepala LIPI Lukman Hakim mengingatkan agar gelar profesor riset ini menjadi pemacu bagi peneliti untuk lebih giat melakukan penelitian, bukannya justru berhenti meneliti. Penelitian yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Terkait kesejahteraan peneliti yang rendah, Lukman mengatakan, pihaknya masih mengupayakan agar peneliti LIPI dapat memperoleh tunjangan fungsional yang memadai. Tunjangan ini diperlukan agar sumber daya unggul yang dimiliki bangsa Indonesia tidak berpindah ke negara lain serta dapat dimanfaatkan untuk terus meningkatkan daya saing bangsa. (MZW)
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2010 | 04:06 WIB