Tidak tampak tanda Daoed Joesoef akan berusia 82 tahun pada 8 Agustus mendatang. Pikirannya masih kritis dan jernih melihat persoalan di negeri ini. Jalannya tegak dan kokoh. Begitu pula istrinya, Sri Sulastri, yang satu angkatan dengan Daoed Joesoef di SMA di Yogyakarta.
Kesederhanaan tercermin dari rumah di kawasan Bangka, Jakarta Selatan. Meskipun luas lahannya 8.500 meter persegi, tetapi isi rumah tetap sederhana. Tanah itu dibeli bertahap dari sebelum keluarga itu berangkat ke Perancis tahun 1964. Tetangga mereka yang orang Betawi setiap kali membutuhkan uang menawarkan tanah mereka kepada keluarga Daoed Joesoef.
Di tengah zaman yang mengagungkan materi, pasangan ini tetap memegang keyakinan awal untuk memilih hidup sebagai intelektual dan tak tergoda materi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Sebelum menerima tawaran Pak Harto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978, saya sudah punya modal materi. Punya tanah dan rumah, punya mobil yang saya bawa dari Paris,” papar Daoed Joesoef di kediamannya, Kamis (10/7).
Selain itu, Daoed Joesoef juga sudah memiliki konsep pengembangan pendidikan dan ekonomi hasil belajar ilmu ekonomi selama 8,5 tahun di Université de Paris dan Université de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis.
”Intinya, saya tidak datang dengan konsep kosong ketika menerima tawaran menjadi menteri,” kata Daoed.
Bagian dari kebudayaan
Belajar ilmu ekonomi bagi Daoed Joeseof awalnya untuk mencari tambahan penghasilan karena kehidupan sebagai dosen bergaji pas-pasan. Dia antara lain menjadi dosen terbang dan mengajar di Bank Indonesia dan Departemen Keuangan.
Ketertarikannya pada pendidikan karena kecintaannya pada pekerjaan sebagai dosen. ”Tugas dosen lebih luas dari sekadar mengajar, yaitu juga membina manusia. Apalagi banyak orangtua menyerahkan anaknya begitu saja dengan harapan sekolah akan membina anak itu,” kata Daoed Joesoef.
Dalam situasi sekarang yang tidak ada konsep, Daoed Joesoef melihat semakin pentingnya peran pendidikan karena masalah alamiah bagi manusia hanya dapat dipecahkan melalui proses pendidikan.
”Manusia bagian dari alam, ketika lahir sudah membawa kemampuan pengetahuan melalui gen yang diwarisi dari orangtua. Hewan juga begitu, tetapi anak manusia berbeda karena dilahirkan paling lemah dibandingkan hewan. Karena itu anak manusia perlu dibina, dibekali ilmu pengetahuan ekstragenetik yang tidak diwarisi dari orangtua. Kegiatan tawar-menawar dengan alam itu kita lakukan berupa kegiatan kultural yang disebut pendidikan,” kata Daoed.
”Ketika anak kita lahir, kita minta agar alam tidak mengganggu dia. Ketika kita sakit, kita meminta kepada Tuhan memperpanjang umur kita. Untuk itu diperlukan ilmu yang didapat dari pendidikan,” tambah Daoed.
Manusia juga menciptakan lembaga untuk menyimpan ilmu dalam bentuk tulisan di buku dan perpustakaan. ”Itu disebut ekstrasomatik, pengetahuan yang kita simpan di luar tubuh,” jelas Daoed Joesoef.
Konsep pendidikan yang ditawarkan Daoed Joesoef adalah pembangunan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, yaitu sistem nilai yang dihayati manusia. Di antara semua nilai yang ditangani pendidikan, ilmu pengetahuan semakin lama semakin menonjol pentingnya. Ilmu pengetahuan bukan hanya penting bagi kemampuan manusia bertahan hidup pada masa depan, tetapi lebih penting lagi adalah memampukan manusia menentukan sendiri masa depannya.
”Kita memerlukan ilmu karena ilmu menjadi basis kehidupan global, meskipun saat itu belum bicara globalisasi. Saya menyebut world economy, ekonomi mendunia. Ekonomi tidak ada batasnya, sementara negara ada batas-batasnya,” tambah Daoed.
Waktu kemudian membuktikan, konsep Daoed Joesoef itu tidak berlanjut karena dia tidak diangkat lagi sebagai menteri pada periode berikut. Soeharto dapat menangkap maksud di balik Normalisasi Kehidupan Kampus yang tak disebut eksplisit—yaitu membangun masyarakat sipil dengan menjadikan mahasiswa kader pemikir yang mampu membangun konsep— tetapi secara salah. ”Saya dikira menentang dwifungsi ABRI,” papar Daoed.
Selain itu, keterusterangannya dalam mengungkapkan ketidaksetujuan atau pendapat, mungkin dianggap tidak njawani. ”Saya dianggap menggurui,” tambahnya.
Mendahulukan manusia
Daoed Joesoef tertarik belajar ekonomi di Sorbonne karena tidak puas dengan ilmu ekonomi yang terlalu teknis dan melupakan faktor manusia.
Di Sorbonne, dia belajar filosofi yang merupakan induk segala ilmu. Konsep ekonominya diilhami perkataan Bung Hatta yang diucapkan di mana-mana dengan mengutip sosialis Perancis, yaitu ”kami ingin membangun dunia di mana seharusnya setiap orang merasa bahagia”.
”Jadi, orang yang dia utamakan, bukan produk domestik bruto. Dalam kamus ekonomi tidak ada bahagia, yang ada makmur, welfare. Sekarang bagaimana memindahkan makmur menjadi bahagia melalui filosofi, itu yang saya susun,” tambah Daoed.
Di sisi lain, banyak ekonom di Indonesia dididik sebagai teknokrat, dididik menangani hal atau benda, seperti menyusun statistik dan menyusun rumus.
”Manusia tidak dapat dirumuskan. Akibatnya, ketika menjadi pejabat mendahulukan memecahkan masalah. Ketika anggaran negara bebannya menjadi terlalu berat, itu fakta. Fakta lain, ada manusia, rakyat, yang hidupnya sebelumnya sudah sulit. Tetapi, yang dibebaskan dari beban adalah anggaran, bukan rakyat. Kalau negara diserang musuh, apakah anggaran yang akan menyelamatkan? Bukan. Rakyat, seperti ketika perang revolusi saya ke desa-desa, yang memberi makan adalah rakyat,” katanya.
Melihat situasi saat ini, Daoed Joesoef mengaku perasaannya mendua. Pada satu sisi merasa gembira karena sebagai analisis apa yang dia perkirakan benar terjadi, di sisi lain merasa sedih.
”Keadaan saat ini sudah saya bayangkan akan terjadi dan saya mengantisipasinya dengan menyiapkan konsep. Andaikata konsep saya dijalankan, saya hampir pasti keadaan sekarang tidak akan terjadi,” papar Daoed.
Dia mengutip ungkapan dalam bahasa Perancis, yaitu memerintah adalah harus mampu melihat ke depan. ”Tetapi, ada risiko, kalau kita melihat ke depan, kita berjalan lebih dulu, kita tidak dipahami orang,” tambahnya.[Ninuk Mardiana Pambudy]
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Juli 2008 | 03:00 WIB