Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ditetapkan menjadi Pusat Konservasi Mangrove dan Studi Plasma Nutfah di Indonesia. Ekosistem mangrove di Segara Anakan menjadi hutan mangrove terbesar di Pulau Jawa. Namun, ekosistem tersebut saat ini terancam akibat kerusakan lingkungan.
”Ini layak dijadikan model penyelamatan kawasan pesisir,” kata Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya seusai peresmian Pusat Konservasi Mangrove dan Studi Plasma Nutfah Indonesia di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung laut, Cilacap, Senin (15/9).
Kegiatan itu diselenggarakan PT Pertamina Refinery Unit IV Cilacap bersama Pemerintah Kabupaten Cilacap, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Turut hadir Direktur Umum PT Pertamina (Persero) Luhur Budi Djatmiko dan Wakil Bupati Cilacap Edi Susanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Balthasar, tanaman mangrove krusial menopang ekosistem pesisir. Saking pentingnya, tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini diarahkan menyelamatkan pesisir pantai, termasuk hutan mangrove.
”Di Indonesia yang negara kepulauan, 40-50 persen penduduknya hidup di kawasan pesisir. Mereka menggantungkan kehidupan dari ekosistem pesisir. Inilah pentingnya penyelamatan mangrove,” katanya.
Seiring penyelamatan mangrove, lanjutnya, kelestarian ekosistem akan tetap terjaga baik. Tak hanya ekosistem mangrove, tetapi juga habitat binatang yang hidup di perairan sekitarnya.
Laguna Segara Anakan merupakan ekosistem muara terluas di Pulau Jawa. Dari penelitian IPB dan Unsoed, di sana terdapat 35 jenis spesies mangrove, tetapi baru 26 jenis yang ditemukan.
”Kami anggap di sini itu laboratorium mangrove. Manfaatnya, selain kelestarian lingkungan, juga ekonominya. Kalau bagus, ekosistem mangrove bisa untuk ekowisata,” ujar Balthasar.
Sayangnya, kerusakan hutan mangrove di Indonesia hampir terjadi di setiap daerah dengan jumlah penduduk padat dan masih bergantung pada lingkungan. Kerusakan mangrove di Indonesia 30-40 persen.
Pembiakan dan pemijahan
Nuning Fita, peneliti dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unsoed, mengungkapkan, habitat mangrove di Segara Anakan jadi tempat pemijahan setidaknya 45 jenis ikan. Ekosistem mangrove juga jadi sumber makanan, pembiakan, serta pembesaran alami sekitar 85 jenis burung dan beragam satwa lain.
Sejak 1984, sekitar 7.000 hektar hutan mangrove hancur di kawasan laguna. Akibatnya, beberapa spesies, seperti bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ikan sidat laut, di kawasan itu terancam punah.
Data Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan Cilacap, luas areal bakau pada 1984 mencapai 15.000 hektar, tetapi kini tersisa 8.000 hektar. Di antara lahan bakau yang menyusut, sekitar 4.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan pertanian.
Kemarin, kegiatan diisi penanaman 100.000 bibit mangrove oleh Pertamina untuk menuju 1 juta pohon. Sejak 2009, penanaman mangrove di kawasan itu dilakukan melibatkan birokrasi dan masyarakat setempat, yang sudah mencapai 900.000 pohon.
General Manager Pertamina RU IV Cilacap Edy Prabowo mengatakan, selain jadi obyek penelitian mahasiswa dan pelajar, areal mangrove di Segara Anakan juga diharapkan jadi wisata minat khusus. Jika tertata rapi, bukan tak mungkin kawasan Segara Anakan juga akan jadi kampung wisata. (GRE)
Sumber: Kompas, 16 September 2014